Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Upaya Pemerintah Aceh Pengentaskan Stunting (Bagian 1)

Upaya Pemerintah Aceh Pengentaskan Stunting (Bagian 1)

Minggu, 03 Maret 2019 15:42 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi : Gilas audi/Jatimnet

DIALEKSIS.COM | Pencapaian Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan belum diikuti dengan peningkatan status kesehatan terutama pada balita, ibu hamil, dan remaja putri. Masalah gizi seperti gizi buruk dan stunting masih menjadi persoalan besar yang perlu diatasi segera.

Berbicara pengertian Stunting (kerdil) adalah bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi kekurangan asupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan, merupakan salah satu permasalahan gizi yang dihadapi di dunia saat ini khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.

Mirisnya lagi masalah gizi kronis pada balita ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO.

Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

Berdasarkan riset medis, anak menderita stunting relatif lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.

Sejumlah studi menunjukkan risiko yang diakibatkan stunting yaitu penurunan prestasi akademik (Picauly & Toy, 2013), meningkatkan risiko obesitas (Hoffman et al, 2000;Timaeus, 2012) lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (Unicef Indonesia, 2013) dan peningkatan risiko penyakit degeneratif (Picauly & Toy, 2013, WHO, 2013, Crookston et al 2013).

Padahal di satu sisi Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang jika saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting. Dipastikan bangsa ini kelak tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan global. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai.

Meneropong kondisi stunting skala global, Pada tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Meski angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Namun untuk konteks Asia, angka balita stunting masih tinggi.

Di tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).

Angka stunting di Indonesia ada pada tahap mengkhawatirkan tercermin dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 37% anak berumur di bawah lima tahun di Indonesia, atau hampir sembilan juta anak, mengalami stunting.

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).

Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. Masalah ini menjadi genting, karena stunting dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang berat bila prevalensi stunting berada pada rentang 30-39 persen.

Hal ini menunjukkan Indonesia kini sedang mengalami masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius, untuk tak dikatakan berat, dalam kasus balita stunting.

Dampak dari stunting juga merugikan secara ekonomi. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jika tidak diatasi, kerugian akibat stunting bisa mencapai 2-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan PDB pada 2017 sebesar Rp 13.000 triliun, kerugian akibat stunting diperkirakan mencapai sekitar Rp 300 triliun. Jumlah itu mencakup biaya mengatasi stunting dan hilangnya potensi pendapatan akibat rendahnya produktivitas anak yang tumbuh dengan kondisi stunting.


Gentingnya Kondisi Balita Stunting di Aceh

Miris mencermati kondisi di Aceh, data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, prevalensi (faktor risko-red) balita stunting pada 2017, Aceh berada di atas nasional yaitu 34,5%, sedangkan nasional 29,6 persen.

Kabupaten yang memiliki angka prevalensi stunting di atas rata-rata provinsi, yaitu Simeulue, Aceh Utara, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Jaya, Gayo Lues, Singkil, Aceh Timur, Pidie, Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam.

Mengacu pada Survei Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh 2017 yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Aceh bekerjasama dengan Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh, ditemukan fakta menyedihkan. Fakta konsumsi kecukupan energi pada anak balita untuk Provinsi Aceh berada pada posisi terendah dari seluruh Indonesia. 

Secara nasional rerata kecukupan konsumsi energi pada anak balita sebesar 83,2%, sedangkan untuk provinsi Aceh sebesar 72,4% atau posisi Aceh berada pada posisi terendah dari seluruh Indonesia.

Lebih lanjut terjadi peningkatan stunting di Aceh bila melihat dari indikator Tinggi Badan menurut Umur yang mengambarkan status gizi masa lampau (kronis) atau menilai pertumbuhan linier.

Terdapat 35,7% Balita Aceh mengalami stunting atau Tinggi badan dalam kategori pendek dan Sangat pendek, Keadaan ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi peningkatan prevalensi stunting sebesar 8,9% atau mendekati prevalensi stunting hasil PSG tahun 2014.

Adapun kabupaten/kota yang paling tinggi status gizi sangat pendeknya Kota Subulussalam (21,3%) dan Aceh Selatan (16,7%). sedangkan yang paling kecil prevalensi sangat pendeknya adalah kota Banda Aceh (7,4%) dan Kabupaten Nagan Raya (7,7%).

Jika dilihat berdasarkan kelompok umur didapatkan hasil bahwa persentase stunting pada kelompok balita (35,7%) lebih tinggi dibandingkan pada kelompok anak usia dibawah dua tahun (baduta) sebesar 23,9%

(bersambung)


Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda