Senin, 03 November 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tata Kelola HGU Bermasalah di Aceh: Pemerintah Bergerak, Lahan Terlantar Diusut

Tata Kelola HGU Bermasalah di Aceh: Pemerintah Bergerak, Lahan Terlantar Diusut

Minggu, 02 November 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi pengelolaan HGU di Aceh. Foto: Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto


DIALEKSIS.COM | Indepth - Pemerintah Aceh kini bergerak menata ulang pengelolaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) bermasalah sebagai langkah menegakkan keadilan agraria. Langkah ini diawali dengan Instruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 8 Tahun 2025, yang memandatkan penertiban dan pengukuran ulang HGU yang diduga bermasalah.

Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, menjelaskan fokus pemerintah adalah pada HGU aktif yang “nakal” bukan HGU yang sudah mati atau habis izinnya. “Yang kita tata adalah HGU bermasalah, bukan HGU mati,” tegas Sekda Nasir.

Nasir memaparkan tiga kriteria HGU bermasalah yang menjadi sasaran. Pertama, perusahaan yang mengelola lahan melebihi luas izin atau mengklaim area di luar batas HGU yang diberikan. Kedua, perusahaan yang belum menunaikan kewajiban membangun kebun plasma untuk masyarakat sekitar sesuai regulasi. Ketiga, lahan HGU yang sengaja ditelantarkan hingga tidak berproduksi. Kasus-kasus inilah yang telah memicu konflik agraria di berbagai daerah Aceh, karena warga kerap mendapati lahan garapan turun-temurun mereka diklaim perusahaan sebagai bagian konsesi HGU.

Untuk menjalankan penertiban ini, Pemerintah Aceh menggandeng Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh. Tim terpadu akan dibentuk guna mengukur ulang HGU bermasalah, menentukan lokasi persis dan perusahaan mana saja yang terindikasi melanggar izin.

“Kita sedang mencari payung hukumnya supaya proses penataan betul-betul dapat kita pertanggungjawabkan secara hukum dan administratif,” ujar Nasir, mengisyaratkan langkah ini akan didasarkan pada landasan hukum kuat.

BPN Aceh sendiri menyambut baik rencana pengukuran ulang, bahkan menegaskan pemegang HGU akan dilibatkan langsung demi transparansi hasilnya. “Nanti akan ada produk hukum dari hasil pengukuran ini. Kita juga akan melihat integritas pemegang HGU, apakah mereka mendukung kebijakan Pemerintah Aceh atau tidak,” kata Kepala BPN Aceh, Dr. Arinaldi.

Sebagai bagian dari kebijakan ini, Pemerintah Aceh juga menyoroti HGU yang sudah habis masa izinnya. Menurut data BPN Aceh, sedikitnya 23 HGU di Aceh telah berakhir masa berlakunya. Lahan-lahan “HGU mati” tersebut akan diproses sesuai mekanisme hukum “ sebagian diusulkan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang nantinya akan didistribusikan secara berkeadilan kepada masyarakat. Langkah ini sejalan dengan visi pemerintahan Aceh untuk mengembalikan lahan tidur kepada rakyat demi keberlanjutan ekologis dan peningkatan ekonomi lokal.

Lahan Terlantar dan Konflik Agraria

Inisiatif penataan ulang HGU muncul di tengah maraknya konflik lahan dan banyaknya areal perkebunan besar yang terlantar di Aceh. Data menunjukkan Aceh memiliki sekitar 1,1 juta hektare lahan perkebunan, dan 237.769 hektare di antaranya adalah kebun kelapa sawit. Dari luasan sawit itu, sekitar 385 ribu hektare dikelola perusahaan-perusahaan besar.

Ironisnya, alih-alih membawa kemakmuran, ekspansi perkebunan skala besar ini acap memicu konflik agraria dan ketimpangan akses lahan. “Selama ini konflik lahan terjadi hampir di semua wilayah HGU. Banyak perusahaan berkantor di luar Aceh mengeruk keuntungan besar dari tanah Aceh, tapi masyarakat sekitar lahan justru hidup miskin dan tanpa kebun plasma,” kata Muhammad Nur, S.H., Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina).

Forbina kelompok masyarakat sipil yang fokus pada investasi berkeadilan menyambut baik langkah Pemprov Aceh mengulas ulang seluruh HGU sawit. Muhammad Nur menilai ini momentum penting untuk menegakkan keadilan agraria, mengingat selama ini transparansi data sektor sawit di Aceh lemah. Hingga kini tidak pernah ada publikasi resmi berapa sebenarnya pendapatan daerah atau pajak yang disetor dari perkebunan HGU, maupun seberapa besar dana CSR perusahaan yang benar-benar dirasakan masyarakat.

Di lapangan, potret kemiskinan masih menghantui komunitas di sekitar perkebunan. “Banyak rumah rakyat di pinggir kebun sawit justru tidak layak huni, sementara perusahaan-perusahaan itu untung besar tiap tahun,” ujarnya miris.

Sejumlah contoh konflik agraria di Aceh menunjukkan akutnya persoalan tata kelola HGU. Di Aceh Selatan, sekitar 165 hektare lahan transmigran lokal di Trumon Timur diduga dicaplok oleh PT Agro Sinergi Nusantara.

Kasus lain, PT Asdal Prima Lestari pemegang HGU sawit di sana bahkan mendapat rapor merah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Februari 2025 akibat dugaan pelanggaran lingkungan dan sosial.

Di Aceh Utara dan Aceh Timur, konflik juga tak kalah sengit, seperti masyarakat di Kecamatan Cot Girek dan Pirak Timu bertahun-tahun bersengketa lahan dengan PTPN IV, sementara di Aceh Timur ada sederet perusahaan PT. Bumi Flora, PT. Parama Agro Sejahtra, PT. Atakana Kompeni, PT. Pattria Kamo, PT. Tualang Raya, PT. Beurata Maju, PT. Bayu Peuga Sawit yang terlibat konflik dengan warga. “Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pengelolaan HGU sawit di Aceh masih jauh dari prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial,” tegas Muhammad Nur.

Tak jarang, perusahaan besar dituding abai terhadap kewajiban plasma dan malah memperluas garapan melebihi izin. Forbina menyoroti dua konglomerat kebun sawit yang kerap dikeluhkan warga: PT. Fajar Baizury & Brothers di Nagan Raya dan PT. Dua Perkasa Lestari. PT Fajar Baizury mengempit HGU seluas 9.311 hektare sejak 1991 (diperbarui 2007), namun sampai kini masyarakat sekitar masih menuntut penyelesaian dugaan penyerobotan lahan garapan rakyat. Sementara PT Dua Perkasa Lestari diduga belum merealisasikan 20% kebun plasma untuk warga, padahal hal itu diwajibkan Permentan Nomor 18 Tahun 2021.

Banyak lahan HGU yang dibiarkan terlantar turut menjadi sorotan. Di Aceh Barat, investigasi Panitia Khusus (Pansus) Perkebunan DPRK menemukan ada perusahaan ber-HGU yang tidak beroperasi sejak lama, tanpa manajemen dan karyawan aktif. Artinya, ribuan hektar konsesi HGU di Aceh Barat hanya ditelantarkan bertahun-tahun.

Temuan ini membuat DPRK Aceh Barat mengirim surat resmi kepada Kementerian ATR/BPN di Jakarta, meminta audiensi untuk melaporkan HGU yang diduga terlantar tersebut.

“Surat tersebut bagian dari pengawasan Tim Pansus. Dari hasil pansus, dilakukan koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN,” kata Agam Rahmatillah, Kabag Hukum dan Humas Sekretariat DPRK Aceh Barat. DPRK setempat berharap pemerintah pusat menindaklanjuti dengan tegas pakah izin HGU yang mangkrak itu akan dibiarkan hingga habis masa berlakunya, atau dicabut lebih awal demi kemaslahatan publik. Pj Bupati Aceh Barat pun dilibatkan dalam upaya advokasi ini, mengingat izin HGU diterbitkan pemerintah pusat dan pencabutannya harus melalui kewenangan yang sama.

Kasus di Aceh Barat ini sejalan dengan agenda nasional. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pasca 2024 memang berkomitmen menertibkan HGU perusahaan yang terlantar atau tidak dikelola. Aceh menjadi salah satu daerah pertama yang merespons dengan mengidentifikasi HGU tak tergarap. “HGU terlantar tersebut mencapai ribuan hektar,” ungkap Ketua Tim Pansus DPRK Aceh Barat, Ahmad Yani, merujuk luasan konsesi tidur yang terkuak di daerahnya. Kondisi ini tak hanya merugikan negara karena lahan produktif menganggur tetapi juga menyimpan persoalan hukum dan tata kelola aset negara di tingkat daerah.

Celah Pengawasan dan “Permainan” HGU

Fenomena lahan HGU melanggar aturan dan ditelantarkan perusahaan selama ini tak lepas dari lemahya pengawasan. Rahman, S.H., pemerhati hukum dan kebijakan agraria di Banda Aceh, mengkritik bahwa janji pemerintah Aceh untuk mengukur ulang seluruh HGU mestinya sudah sejak dulu direalisasikan, bukan hanya retorika politik. “Selama ini banyak HGU perusahaan besar di Aceh menyimpang dari izin yang berlaku, melampaui batas wilayah, bahkan menelantarkan lahan tanpa sanksi,” ujarnya.

Ia menilai kondisi tersebut terjadi karena pengawasan negara lemah, sehingga penyalahgunaan izin oleh korporasi dibiarkan berlarut dan menjadi sumber konflik agraria berkepanjangan.

Rahman mengungkapkan ketegangan antara warga lokal dan perusahaan perkebunan terus terjadi di Aceh Singkil, Nagan Raya, Aceh Timur, dan wilayah lain. Sementara, penyelesaian adil atas sengketa lahan itu tak kunjung tampak. Ia menegaskan pengukuran ulang HGU tidak boleh sekadar formalitas administratif belaka, tapi harus menjadi langkah hukum nyata untuk menegakkan keadilan agraria.

“Sudah terlalu lama masyarakat menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Janji pengukuran ulang ini harus diwujudkan secara terbuka, dengan dasar hukum kuat dan melibatkan masyarakat adat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Rahman mendorong Pemerintah Aceh membentuk tim independen lintas sektor untuk audit HGU, melibatkan unsur pemerintah daerah, akademisi, lembaga adat, hingga organisasi HAM. Dengan demikian prosesnya bisa dipantau objektif dan akuntabel. Hasil pengukuran ulang pun semestinya diumumkan terbuka agar publik tahu status dan batas tiap-tiap lahan yang selama ini dikuasai perusahaan. “Keterbukaan informasi menjadi kunci untuk menghindari manipulasi data dan penyalahgunaan kewenangan di lapangan,” ujarnya.

Rahman mengingatkan, bila janji ini kembali tak membuahkan hasil nyata, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan runtuh Gubernur Aceh bisa dinilai gagal menjawab tuntutan rakyat atas hak tanah ulayat mereka sendiri.

Kasus penyalahgunaan HGU juga tampak dalam modus operandi sejumlah investor. Di Aceh Selatan, misalnya, terungkap bahwa PT Aceh Lestari Indo Sawita (ALIS) sudah mulai menggarap lahan kelapa sawit seluas 1.357 hektare di Kecamatan Trumon meski izin HGU-nya belum terbit. Secara hukum agraria, mengelola perkebunan tanpa HGU resmi di atas tanah negara jelas melanggar hukum.

Ketika dikritik, pihak perusahaan beralasan lahan yang digarap baru 40 hektare dan itu pun untuk persemaian bibit, sebagai persiapan operasional sambil menunggu proses penerbitan HGU selesai.

“Dokumen sudah kami lengkapi, tinggal tunggu HGU keluar. Selama setahun lebih ini kan tak mungkin lahan dibiarkan kembali jadi hutan belantara,” kilah Budi Harjo, Staf Direktur PT. ALIS, dalam temu pers di Tapaktuan, 17 Juli 2025. Pihak perusahaan bersikeras merasa punya “dasar hukum kuat” karena sudah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Rencana Kerja Pembukaan/Pengolahan Lahan (RKPLP) dari Pemerintah Aceh. Dengan kata lain, mereka menganggap ada kelonggaran untuk mulai bekerja meski sertifikat HGU belum di tangan, apalagi kegiatan awal baru sebatas pembibitan.

Kasus PT. ALIS ini menunjukkan grey area dalam tata kelola perizinan. Meski perusahaan berargumen semua dokumen perizinan lain lengkap, fakta di lapangan mereka telah memanfaatkan lahan negara tanpa hak yang sah. Uniknya, konsesi PT. ALIS berlokasi berdampingan dengan Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil bahkan hanya terpaut jarak 20 hingga 50 meter dari kawasan lindung tersebut. Ini menimbulkan kekhawatiran dampak ekologis, walau perusahaan menyatakan kawasan itu sudah ditinjau pihak BKSDA dan tidak termasuk area konservasi yang dilindungi. PT. ALIS juga menjanjikan akan menyerahkan 20% dari luas kebun (sekitar 271 hektare) sebagai kebun plasma untuk warga Gampong Teungoh dan Kuta Padang, sesuai kewajiban CSR. Namun, warga penerima plasma nantinya diwajibkan menanggung biaya pengelolaan kebun tersebut yang sebelumnya telah dikeluarkan perusahaan. Bagi pegiat agraria, skema semacam ini rawan menimbulkan ketergantungan baru dan belum tentu menguntungkan masyarakat secara jangka panjang.

Menuju Tata Kelola Berkeadilan

Beragam persoalan di atas menegaskan bahwa tata kelola HGU di Aceh perlu pembenahan menyeluruh. Dari sisi kebijakan, langkah Pemprov Aceh melakukan moratorium perluasan HGU bermasalah dan mengaudit konsesi yang ada mendapat dukungan luas. Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si., IPU, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, menilai transparansi data dan kolaborasi antar pemangku kepentingan adalah kunci.

“Perlu segera ditindaklanjuti proses inventarisasi dan pembaruan data HGU, sehingga ada kejelasan antara lahan HGU milik perusahaan dan lahan sawit rakyat,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Minggu 2/1/2025.

Menurut Agussabti, pemetaan ulang ini akan membantu pemerintah mengetahui pasti berapa luas HGU aktif di Aceh, siapa pemegang izinnya, di mana lokasi dan batasnya, serta apakah kewajiban seperti pajak dan plasma sudah dipenuhi. Data itu penting agar langkah penataan didasarkan fakta akurat di lapangan.

Para pakar dan aktivis sepakat, investasi perkebunan di Aceh harus berpihak pada rakyat, bukan semata menguntungkan korporasi.

“Kita ingin investasi yang berkeadilan. Kalau lahan rakyat diambil, maka rakyat harus sejahtera. Jangan sampai perusahaan kaya, tapi masyarakat di sekitarnya tetap miskin,” tutur Muhammad Nur, Direktur Forbina. Pemerintah Aceh didorong melakukan audit komprehensif atas seluruh HGU aktif, melibatkan BPN, dinas terkait, akademisi, dan masyarakat sipil.

Audit ini mencakup verifikasi luasan lahan, legalitas kepemilikan, kepatuhan pada aturan (termasuk kontribusi pajak daerah), hingga realisasi pembangunan kebun plasma. Hasil audit diharapkan menjadi dasar tindakan tegas: HGU yang melanggar bisa dicabut atau dikurangi arealnya untuk redistribusi, dan perusahaan “nakal” diberi sanksi agar ada efek jera.

Dari sisi regulasi, pemerintah pusat pun tengah memperketat aturan. Menteri ATR/BPN yang baru menegaskan bahwa tanah ber-HGU yang tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu bisa dikategorikan tanah terlantar dan diambil kembali oleh negara. Proses penetapan tanah telantar memang panjang butuh peringatan berjenjang hingga 587 hari tanpa perubahan pemanfaatan namun Aceh telah menunjukkan bahwa hal itu bukan mustahil. Di Kabupaten Bireuen, misalnya, bekas HGU PT. Peudada Jaya Indah seluas 1.096 hektare resmi ditetapkan sebagai tanah terlantar oleh Kementerian ATR/BPN pada tahun 2023. Lahan yang sudah bertahun tak digarap itu kemudian diambil alih negara untuk program reforma agraria, dengan sekitar 700 hektare diinventarisasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Bireuen guna redistribusi kepada masyarakat penggarap. Contoh ini memberikan preseden bahwa Aceh mampu memperjuangkan hak rakyat atas tanah dari konsesi yang disia-siakan investor.

Upaya penataan ulang HGU bermasalah di Aceh masih berada di tahap awal, namun ekspektasi publik sangat tinggi. Di bawah pemerintahan Gubernur Muzakir Manaf (Mualem), janji untuk mengukur ulang semua HGU sawit dan mengalokasikan kelebihan lahan untuk masyarakat menjadi harapan baru bagi penyelesaian konflik agraria.

“Ini agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri,” ujar Mualem. Harapan tersebut senada dengan amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan kekayaan alam harus dipergunakan sebesar - besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pada akhirnya, tata kelola HGU yang berkeadilan menuntut transparansi, penegakan hukum, dan partisipasi publik. Aceh, dengan berbagai kisah pilu konflik lahan dan ketimpangan, tengah berusaha membalik keadaan. Langkah tegas pemerintah menertibkan HGU “nakal” memberi sinyal bahwa monopoli lahan tanpa kepedulian pada rakyat tak lagi ditolerir.

Namun, pekerjaan rumahnya tidak kecil untuk memastikan perusahaan patuh pada aturan, mengoptimalkan lahan terlantar untuk kesejahteraan masyarakat, serta menjaga kelestarian lingkungan di tengah geliat investasi. Jika konsisten dijalankan, penataan ulang HGU di Aceh bisa menjadi model penyelesaian konflik agraria di Indonesia di mana kepemilikan lahan besar harus seimbang dengan tanggung jawab sosial dan ekologis. Aceh pun berpeluang mewujudkan visi investasi yang berkeadilan berprinsip tanah untuk kemakmuran bersama, bukan segelintir penguasa semata.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI