DIALEKSIS.COM | Indepth - Sumatera porak poranda. Seribuan nyawa meninggalkan alam fana ini. Puluhan ribu perumahan penduduk luluh lantak. Ribuan sumber penghidupan masyarakat hilang ditelan bumi. Fasilitas umum ikut disapu ganasnya alam.
Rintihan rakyat bagaikan tidak bertepi, derita panjang itu terukir. Pemerintah pusat masih setengah hati dalam menangani bencana. Rakyat, para musibah, berharap negara masih ada ketika mereka disapu prahara, bukan setengah hati.
Bencana alam besar yang menelan korban luas di Indonesia kerap mendorong pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional. Langkah ini penting agar penanganan bisa dilakukan secara terkoordinasi dengan sumber daya nasional yang maksimal. Jejak digital sejarah memberitaukan ke publik pernah kejadian bencana nasional di masa lalu, serta responsif dari pemimpin 'presiden' kala itu.
Kejadian saat terjadi gempa dan tsunami Flores 1992 (NTT) Presiden Soeharto segera menyatakan bencana alam akibat gempa bumi dan tsunami di Flores pada Desember 1992 sebagai Bencana Nasional. Penetapan melalui Keppres No. 3/1992 itu didasarkan pada besarnya korban jiwa dan kerugian, serta perlunya koordinasi terpusat untuk upaya pemulihan. Presiden Soeharto menugaskan Menteri Koordinator Kesra selaku Ketua Bakornas Penanggulangan Bencana untuk mengerahkan bantuan terpadu.
Kejadian kedua yakni musibah maha dashyat yakni gempa bumi dahsyat dan tsunami setinggi 30 meter menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, menewaskan lebih dari 170 ribu jiwa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan bencana ini sebagai Bencana Nasional (Keppres No. 112/2004) dan mengumumkan masa berkabung nasional.
SBY menyebut bahwa dengan status bencana nasional, siapa berbuat apa dan siapa bertanggung jawab atas apa menjadi jelas, termasuk penggunaan anggaran negara. Keputusan ini membuka jalan bagi mobilisasi bantuan internasional dan koordinasi pusat-daerah yang lebih efektif.
Tak sampai disitu kejadian bencana nasional terjadi juga saat dilanda pandemi COVID-19 di Indonesia tahun 2020, yang menyebabkan lebih dari 162 ribu kematian hingga 2025, ditetapkan sebagai Bencana Nasional nonalam oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres No. 12/2020.
Penetapan ini dilakukan mengingat dampak pandemi yang luas secara nasional, serta untuk mengoordinasikan respons lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah secara terpadu. Pemerintah pusat membentuk Gugus Tugas COVID-19 dan menginstruksikan kepala daerah menyesuaikan kebijakan dengan arahan pusat.
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa para pemimpin sebelumnya tidak ragu mengambil langkah penetapan status bencana nasional ketika skala bencana melampaui kapasitas daerah. Langkah itu memberi landasan hukum dan anggaran bagi pemerintah pusat untuk turun tangan penuh.
SBY, misalnya, segera terbang ke Aceh pascatsunami 2004 dan secara lisan menyatakan status bencana nasional di posko setempat agar penanganan lebih terarah dan tanggap darurat dapat segera terlaksana. Keputusan itu diikuti dengan pengerahan TNI, polisi, relawan nasional, serta penerimaan bantuan internasional secara masif.
Berbeda dengan pendahulunya, langkah Presiden Prabowo Subianto dalam merespons bencana besar di awal masa kepemimpinannya menjadi sorotan tajam. Rekam jejak penanganan bencana nasional di era sebelumnya menimbulkan ekspektasi bahwa ketika musibah besar terjadi di Sumatra tahun 2025, pemerintah pusat akan sigap mengambil alih komando.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan respons yang lebih lambat dan sikap ragu-ragu dalam menetapkan status bencana nasional, sehingga menuai kritik dari berbagai kalangan.
Banjir Bandang Sumatra 2025: Skala Nasional, Status Tetap Lokal
Pada akhir November 2025, bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda tiga provinsi di Sumatra secara bersamaan: Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Curah hujan ekstrem memicu luapan sungai dan longsor di wilayah pegunungan, menyebabkan kerusakan infrastruktur parah serta korban jiwa yang sangat besar.
Hingga awal Desember 2025, sedikitnya 770 orang dilaporkan meninggal dunia akibat bencana ini, dengan ratusan lainnya masih hilang. Korban tewas terbanyak tercatat di Sumatra Utara (299 jiwa), disusul Aceh (277 jiwa) dan Sumatra Barat (111 jiwa).
Angka tersebut terus meningkat; menjelang pertengahan Desember, total korban meninggal nyaris mencapai 1.000 jiwa, menjadikan banjir bandang Sumatra 2025 sebagai salah satu bencana paling mematikan sejak tsunami Aceh.
Dampak kerusakan akibat banjir bandang ini meluas di berbagai kabupaten. Ratusan permukiman terendam atau hancur, lahan pertanian rusak, dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Laporan WALHI Aceh menyebut 75% wilayah Aceh Tengah terdampak banjir dan longsor, hingga kini (14/12/2025) leboh dari 100 desa masih terisolasi karena seluruh akses darat terputus.
Kondisi serupa terjadi di Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Aceh Utara, Mandailing Natal, Pasaman, dan wilayah lain di sepanjang Bukit Barisan. Jaringan listrik padam total di banyak daerah, pasokan air bersih terganggu, dan sarana komunikasi lumpuh.
Jembatan putus, jalan tertimbun longsor, hingga badan jalan amblas ke jurang dilaporkan di berbagai lokasi. Jutaan warga terdampak berjuang bertahan hidup di tengah lumpur, puing, dan tumpukan gelondongan kayu sisa banjir.
Salah satu jembatan utama di Aceh putus diterjang banjir bandang, mengisolasi sejumlah wilayah terdampak. Kejadian serupa terjadi di banyak daerah bencana di Sumatra, di mana akses transportasi terputus dan lokasi terpencil sulit dijangkau tim penyelamat.
Kerusakan infrastruktur vital ini memperlambat penyaluran bantuan, sebab banyak jalan dan jembatan belum dapat difungsikan pascabanjir. Akibatnya, distribusi logistik tersendat dan beberapa komunitas korban terpaksa bertahan berhari-hari tanpa bantuan dari luar.
Lebih dari sepekan sejak bencana terjadi, penanganan darurat masih jauh dari optimal. Puluhan ribu korban selamat belum tertangani dengan layak banyak yang belum tersentuh bantuan dan bertahan dalam kondisi kelaparan serta kekurangan air bersih.
Bahkan evakuasi korban meninggal pun terhambat: hingga empat hari pascabencana, banyak jenazah belum dapat dievakuasi dan dibiarkan tergeletak di lokasi, terutama di daerah pedalaman Aceh. Kisah tragis terungkap, misalnya di Meureudu (Pidie Jaya) relawan menemukan jasad dua perempuan yang sudah berbalut lumpur di dalam rumahnya, diduga korban ini tewas karena berhari-hari terperangkap tanpa pertolongan.
Di Aceh Utara, lebih dari 40 korban tewas ditemukan dalam beberapa hari pertama dan puluhan lain masih hilang, sementara sejumlah kampung di pedalaman belum tersentuh tim penyelamat sama sekali. Situasi darurat yang berlarut-larut ini digambarkan oleh media lokal “terseok-seok seperti siput berjalan” mengindikasikan betapa lambat dan tersebarnya upaya penanganan di lapangan.
Desakan Status Bencana Nasional
Melihat skala musibah yang demikian luas dan kompleks, tuntutan agar pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional mengemuka dari berbagai pihak. Sedikitnya lima bupati di Aceh secara terbuka menyatakan tidak sanggup menangani dampak banjir bandang di daerahnya masing-masing.
Para kepala daerah (antara lain Bupati Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Selatan, Nagan Raya, dan Aceh Utara) tersebut bahkan telah menyurati Presiden Prabowo untuk memohon dukungan penuh pemerintah pusat.
Menurut para bupati itu, penanganan bencana harus cepat, menyeluruh, dan menghadirkan kekuatan besar, yang hanya mungkin jika statusnya ditingkatkan menjadi bencana nasional. Dengan status nasional, penanganan diyakini akan lebih efektif karena melibatkan semua kementerian/lembaga terkait secara terintegrasi hingga ke tingkat pusat.
Dukungan atas desakan ini juga disuarakan di tingkat nasional. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, meminta pemerintah pusat segera menetapkan banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar sebagai bencana nasional.
Ia menilai langkah tersebut krusial agar penanganan bisa lebih cepat, terkoordinasi, dan didukung sumber daya memadai dari pemerintah pusat. Abidin menegaskan bahwa kerusakan infrastruktur yang luas dan korban jiwa yang terus bertambah sudah melampaui kapasitas pemda, sehingga status nasional diperlukan demi efektivitas pemulihan.
Ia bahkan menyesalkan pernyataan Kepala BNPB yang terkesan meremehkan situasi BNPB sempat menyebut bencana Sumatra itu “terlihat mencekam hanya di media sosial”, suatu ucapan yang dinilai kurang empati terhadap warga terdampak. Bagi DPR, pemerintah pusat seharusnya tegas menetapkan bencana nasional tanpa menunggu jumlah korban lebih banyak.
Di tingkat masyarakat sipil, jaringan relawan dan LSM lingkungan juga mengecam lambatnya respons. Tim relawan yang telah berada di Aceh sejak awal Desember menyebut mitigasi maupun penanganan pascabencana berjalan lambat dan minim langkah teknis signifikan.
Koordinator relawan, Resqi, mengungkapkan bahwa tenda-tenda darurat BNPB baru dipasang pagi hari ketika Presiden Prabowo datang ke Aceh menunjukkan lambannya aksi sebelum ada kunjungan pejabat.
Ia menilai belum ada langkah konkret dalam perbaikan dan pemulihan, serta distribusi bantuan masih jauh dari kebutuhan harian warga terdampak. Banyak wilayah masih terisolir hingga dua minggu pascabencana; beberapa bantuan hanya bisa dikirim melalui udara dengan biaya mahal, misalnya dari Bandara Kualanamu Medan ke Bandara Rembele di Aceh Tengah.
Situasi ini membuat suplai bantuan tersendat sementara masyarakat sangat membutuhkan pasokan cepat. Para relawan dan warga pun mendesak pemerintah pusat segera menetapkan status bencana nasional agar mobilisasi bantuan bisa lebih masif melibatkan lembaga nasional maupun internasional.
Tokoh-tokoh Aceh turut angkat suara. Farhan Hamid, mantan Wakil Ketua DPR asal Aceh, secara tegas menyebut sikap Presiden Prabowo yang tidak menjadikan banjir Sumatra sebagai bencana nasional sebagai sesuatu yang “aneh”.
Padahal, ujar Farhan, kerusakan besar yang sulit ditangani pemda sudah sepatutnya berstatus nasional, bukan semata soal “naik status” tetapi agar penanganan lebih cepat, efektif, dan serius.
Ia menguraikan keterbatasan kapasitas tiga provinsi terdampak, bahkan evakuasi jenazah saja belum tuntas hingga hari keempat, banyak korban masih bergelimpangan; upaya menyelamatkan yang selamat pun terkendala putusnya transportasi, minimnya personel dan alat berat, serta ketiadaan transportasi udara lokal.
Sementara itu, krisis baru mulai muncul berupa kelangkaan bahan makanan dan BBM pasar kosong, harga melonjak “ yang berpotensi menimbulkan kelaparan massal dan penjarahan jika dibiarkan.
Farhan memperingatkan jangan sampai keterlambatan penanganan memicu kerusuhan sosial. Ia mendorong para gubernur dan DPRD di Sumatra kompak mendesak pemerintah pusat memberlakukan status bencana nasional sesegera mungkin, mengingat anggaran pemda jelas tidak akan cukup untuk rehabilitasi-rekonstruksi pascabencana.
"Kalau hanya kedatangan pejabat pusat sekadar menyerahkan satu dua miliar rupiah, itu bukan penanganan namanya. Aceh saja butuh puluhan triliun rupiah," kritik Farhan, menyoroti ketimpangan antara skala kerusakan dan bantuan yang diberikan.
Sikap Pemerintah Prabowo: Dinilai Lamban dan Enggan Turun Tangan
Di tengah kuatnya tuntutan agar pusat mengambil alih komando, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto tetap mempertahankan penanganan pada status darurat tingkat daerah. Hingga pertengahan Desember 2025, tidak ada deklarasi bencana nasional untuk banjir Sumatra, meskipun luasnya dampak memenuhi kriteria empirik maupun regulasi untuk status tersebut. Apa respons Presiden Prabowo?
Prabowo memang telah melakukan serangkaian kunjungan ke lokasi bencana. Tercatat, Presiden tiga kali terjun meninjau wilayah terdampak dalam dua pekan: pada 1 Desember, 7 Desember, dan 12 Desember 2025.
Dalam kunjungan pertama ke Tapanuli (Sumut) pada 1 Desember, Prabowo menyampaikan pandangannya bahwa situasi sudah membaik dan status darurat yang ada “sudah cukup”, sehingga tak perlu dinaikkan menjadi bencana nasional. “Kita monitor terus. Saya kira situasi membaik, kondisi yang sekarang ini sudah cukup,” ujarnya kepada pers usai meninjau lokasi banjir di Tapanuli Tengah.
Sejalan dengan itu, Prabowo tidak memberikan instruksi khusus tambahan kepada BNPB atau Basarnas, berdalih bahwa kedua lembaga tersebut “sudah punya SOP, protap; apa yang dibutuhkan, kita kerahkan”. Dalam pandangan Presiden, penanganan sudah berjalan cukup baik secara prosedural oleh aparat yang ada, sehingga ia tinggal memastikan kebutuhan mendesak terpenuhi.
Fokus Presiden saat itu adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan prioritas warga terdampak, terutama pemulihan aliran listrik dan distribusi BBM (bahan bakar minyak) yang sempat terhenti akibat banjir.
“Prioritas bagaimana bisa segera kirim bantuan-bantuan yang diperlukan, terutama BBM yang sangat penting. Ada beberapa desa terisolasi, insyaAllah kita bisa tembus,” jelas Prabowo, seraya menambahkan bahwa perbaikan jaringan listrik sedang dipercepat dan cuaca buruk terparah sudah lewat.
Pada kunjungan kedua tanggal 7 Desember, Presiden memimpin rapat terbatas di Aceh Tamiang bersama sejumlah menteri, menegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah prioritas dan bantuan harus tiba tepat waktu.
Ia juga memerintahkan pemulihan infrastruktur energi “ aliran listrik, BBM, dan LPG di Aceh, Sumut, Sumbar agar dipercepat, dengan target dalam hitungan hari harus normal kembali. Pada kunjungan ketiga (12 Desember) di Aceh Tengah, Prabowo menyerukan masyarakat untuk “menjaga lingkungan dan tidak menebang pohon sembarangan”, mengaitkan bencana ini dengan kerusakan hutan.
Selain itu, ia menyampaikan komitmen menindak tegas praktik pembalakan liar yang diduga memperparah banjir dan longsor.
“Pembalakan liar akan kita tertibkan. Sudah kita mulai dan kita rencanakan dengan baik,” tegasnya dalam konferensi pers di Langkat, Sumut. Ia mengapresiasi jajaran TNI/Polri, relawan dan pihak lain yang telah bekerja di lapangan lebih dari dua pekan tanpa lelah, serta berharap sinergi semua elemen terus meringankan beban rakyat yang tertimpa musibah.
Pernyataan dan langkah Presiden di atas sayangnya belum meredakan kritik. Banyak pihak menilai respons Prabowo cenderung lambat, reaktif, dan kurang menunjukkan sense of crisis. Kunjungan Presiden ke area bencana, alih-alih disambut positif, justru ditanggapi sinis oleh sebagian pengamat karena dianggap lebih bersifat simbolis/performatif ketimbang membawa solusi nyata.
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari STH Jentera, mengamati bahwa meski Prabowo sudah tiga kali mengunjungi wilayah terdampak, kunjungan-kunjungan tersebut belum menghasilkan instruksi jelas untuk mempercepat penanganan bencana.
Ia menyebut gestur Presiden di lokasi lebih menonjol ke pencitraan misalnya pada kunjungan kedua, Prabowo ikut mencicipi makanan pengungsi di depan kamera tanpa diiringi tindakan substantif yang dibutuhkan korban.
Bahkan pada kunjungan ketiga, fokus pernyataan Presiden yang mengimbau soal lingkungan dinilai “tidak relevan dengan kebutuhan mendesak korban bencana yang butuh langkah konkret pemerintah pusat”, kritik Bivitri.
Bivitri menegaskan pemerintah semestinya segera menetapkan status bencana nasional mengingat skala bencana meliputi banyak wilayah dan perlu komando tunggal dari pemerintah pusat. Status tersebut bukan sekadar simbolis; dengan status nasional, arah koordinasi lebih jelas dan efektivitas distribusi bantuan dapat terjamin.
“Komando pusat itu penting untuk memastikan jalur distribusi jelas, evakuasi tertib, serta penyaluran bantuan tidak terhambat,” ujarnya. Ia mengaku mendapat laporan bahwa bantuan menumpuk di bandara karena tidak ada arahan distribusi yang terstruktur sejauh ini.
Tanpa komando terpadu, bantuan berjalan tersendat dan tidak efektif situasi ini sangat merugikan korban di lapangan. Pendapat Bivitri selaras dengan kritik banyak relawan di Aceh yang melihat koordinasi pusat kurang hadir: posko-posko bantuan kewalahan, sementara sebagian bantuan dari luar daerah tidak terdistribusi optimal akibat ketiadaan pos komando nasional.
Banjir bandang juga memorak-porandakan permukiman di Sumatra Barat. Foto udara ini memperlihatkan sejumlah rumah hanyut dan hancur di kawasan Gunung Nago, Padang, setelah terjangan air bah.
Ratusan rumah di berbagai daerah Sumatra rusak atau hilang terseret banjir, sementara infrastruktur seperti jalan dan jembatan banyak yang lumpuh total. Kondisi ini menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan sangat bergantung pada bantuan dari luar daerah untuk bertahan hidup.
Sorotan lain tertuju pada komunikasi publik pemerintah yang dinilai kurang empatik. Di tengah penderitaan warga, pernyataan pejabat pusat cenderung meremehkan keadaan. Selain ucapan Kepala BNPB yang menuai kecaman tadi, pemerintah pusat awalnya tampak enggan mengakui kegawatan situasi.
Baru setelah tekanan publik menguat, sejumlah langkah korektif dilakukan: pemerintah mengerahkan 30 ribu personel TNI ke Sumatra untuk membantu evakuasi dan distribusi, memerintahkan percepatan pemulihan listrik paling lambat 7 Desember malam untuk wilayah terdampak, serta mengirim bantuan logistik melalui udara ke kantong-kantong terisolir.
Walau begitu, langkah-langkah tersebut dianggap terlambat datang. Ulama Aceh bahkan mengungkapkan kekecewaan mendalam, mengatakan "penanganan bencana oleh pemerintah pusat membuat Aceh serasa seperti daerah tak bertuan" satu ungkapan kekecewaan bahwa Aceh merasa ditelantarkan pada saat genting (Dialeksis, 8 Desember 2025).
Tanda tanya besar muncul dibenak semua masyarakat Indonesia, mengapa Presiden Prabowo begitu lama dan enggan menetapkan bencana nasional? Padahal, secara historis maupun yuridis, bencana Sumatra 2025 jelas memenuhi kriteria bencana nasional.
Publik pun membandingkan dengan ketegasan para pendahulu Soeharto, SBY, Jokowi yang berani mengambil keputusan cepat demi kemanusiaan. Untuk memahami hal ini, perlu menelaah konteks kebijakan pemerintahan Prabowo serta kemungkinan pertimbangan di balik sikapnya.
Sentralisasi Kekuasaan vs. Desentralisasi Tanggung Jawab
Salah satu ironi yang dirasakan dalam penanganan bencana Sumatra 2025 adalah diskrepansi antara gaya pemerintah pusat yang terkesan tersentralisasi dengan beban penanganan bencana yang didesentralisasikan ke daerah.
Pemerintahan Presiden Prabowo sejak awal dilantik (akhir 2024) menunjukkan kecenderungan memperkuat kendali pusat terhadap daerah. Misalnya, dalam kebijakan fiskal, pemerintah pusat melakukan pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) secara signifikan pada tahun 2025 sebagai bagian dari program efisiensi anggaran negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas alokasi TKD 2025 sebesar Rp50,59 triliun melalui instruksi Presiden Prabowo untuk penghematan APBN. Pemotongan ini mencakup berbagai pos, dari Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Otsus (termasuk Dana Otonomi Khusus Aceh yang turut dipangkas), hingga Dana Desa.
Kebijakan tersebut membuat banyak kepala daerah khawatir karena mengurangi kapasitas fiskal daerah untuk membiayai pembangunan maupun tanggap darurat. Sejumlah gubernur/wali kota sempat memprotes, menyebut pemotongan TKD akan memberatkan ekonomi daerah dan menyulitkan pemda menangani kebutuhan publik.
Dalam situasi normal, pemerintahan yang lebih terpusat mungkin bertujuan baik untuk efektivitas program nasional. Namun, ketika bencana besar terjadi, pola pikir sentralistik justru tidak tampak dalam aksi nyata.
Alih-alih segera mengambil alih komando dengan sumber daya pusat, pemerintah terkesan menyerahkan beban awal penanganan kepada pemerintah daerah yang notabene sedang dalam posisi lemah.
Daerah-daerah terdampak di Sumatra umumnya berpendapatan asli daerah (PAD) kecil, tingkat kemiskinan relatif tinggi, dan kini anggaran mereka diperparah oleh pemotongan transfer pusat serta tekanan inflasi daerah.
Banyak dari provinsi di luar Jawa tidak memiliki cadangan fiskal memadai untuk menghadapi bencana luar biasa. Sebagai contoh, Aceh yang ekonominya bertumpu pada dana otonomi khusus justru mengalami pemangkasan Dana Otsus pada 2025, sehingga ruang fiskalnya kian sempit.
Ketika banjir bandang melumpuhkan provinsi tersebut, pemerintah Aceh langsung mengaku kewalahan secara sumber daya.Kondisi ini diperburuk oleh aturan desentralisasi dalam penanggulangan bencana. Selama status tanggap darurat bencana masih level provinsi, pemerintah pusat cenderung berperan sebagai pendukung (supporting) dan bukan leading sector.
Artinya, tanggung jawab utama ada di kepala daerah, sementara pusat menunggu permintaan bantuan secara spesifik. Skema ini menyisakan “vakum” komando pada kasus bencana Sumatra: di atas kertas daerah memimpin, namun faktanya daerah sudah kolaps dan membutuhkan uluran tangan penuh.
Tanpa deklarasi bencana nasional, instansi pusat tidak leluasa memobilisasi sumber daya lintas sektor secara masif. Hal ini diamini oleh Bivitri Susanti yang menekankan perlunya komando tunggal pusat demi kelancaran operasi kemanusiaan.
Begitu juga Farhan Hamid yang menyebut “pemerintah lokal sangat tidak sanggup mengeluarkan korban dari persoalan besar ini” dan bahwa hanya kekuatan nasional yang bisa mengatasinya.
Para pengamat di Aceh melihat gejala diskoneksi informasi antara pusat dan daerah. Aryos Nivada, pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan akademisi Unsyiah, mengungkapkan keprihatinannya bahwa Presiden mungkin menerima laporan yang tidak utuh mengenai parahnya kondisi di lapangan.
"Jangan Bohongi Presiden soal Aceh," tulis Dialeksis dalam satu tajuknya, mengisyaratkan adanya filter informasi “asal bapak senang” di lingkaran Istana. Disebutkan, Presiden diberi laporan seolah kondisi sudah terkendali , misalnya dilaporkan listrik Aceh pulih 97% padahal faktanya lebih dari separuh wilayah masih gelap gulita.
Basarnas mengklaim tak ada daerah terisolir, padahal kenyataannya sejumlah daerah pedalaman masih putus akses hingga hari ke-7. Jika informasi yang sampai ke Jakarta sudah “dimaniskan”, tidak heran keputusan yang diambil pun keliru.
Aryos Nivada mengingatkan Presiden Prabowo agar menegaskan tiga hal: bangun saluran informasi independen dari lapangan, tuntut transparansi data dari aparat, dan instruksikan Kantor Staf Presiden (KSP) agar tidak menyaring kabar buruk.
“Bencana bukan isu politik, melainkan soal hati nurani,” tegas Aryos, memperingatkan agar jangan ada yang menutup-nutupi kenyataan demi citra. Ia bahkan menyebut Presiden kini “dikelilingi para penipu yang berpegang prinsip asal bapak senang”, sehingga jika terus begitu, “keputusan Presiden akan terus jauh dari harapan rakyat”.
Pernyataan pedas ini menggambarkan betapa krisis informasi internal bisa berakibat fatal: Presiden beranggapan situasi terkendali, padahal rakyat di daerah menjerit butuh pertolongan.
Mengapa Prabowo Enggan Tetapkan Bencana Nasional?
Melihat semua faktor di atas, muncul sejumlah spekulasi mengenai alasan Presiden Prabowo enggan menetapkan banjir Sumatra 2025 sebagai bencana nasional. Berikut beberapa kemungkinan yang didiskusikan para pengamat dan publik:
1. Pertimbangan Beban Anggaran dan Program Pemerintah: Status bencana nasional otomatis mengharuskan pemerintah pusat menggelontorkan dana besar untuk penanganan darurat dan rehabilitasi.
Ini bisa berarti realokasi anggaran dari pos-pos pembangunan lain, serta potensi mengganggu program prioritas Presiden. Prabowo memiliki visi dan misi yang ambisius di bidang lain (pertahanan, infrastruktur, dll), sehingga mungkin ada kekhawatiran bahwa menetapkan bencana nasional akan menyedot fokus dan anggaran dari agenda tersebut.
Apalagi, tahun 2025 APBN sudah terbebani target penghematan belanja negara hingga Rp306 triliun. Menambah belanja tak terduga untuk bencana skala nasional bisa dianggap mengancam pencapaian target ekonomi pemerintah. Singkatnya, Prabowo bisa jadi terbebani secara politis, dimana di satu sisi tanggung jawab kemanusiaan, di sisi lain disiplin anggaran dan janji program.
Namun perlu diingat, dana on-call BNPB dan pos cadangan APBN memang disediakan untuk situasi luar biasa seperti ini; tinggal keberanian pemerintah memanfaatkannya secara maksimal.
2. Pengaruh Elit dan Implikasi Korporasi: Sejumlah analis menunjuk kemungkinan faktor politis-oligarkis di balik lambannya respons. Banjir dan longsor Sumatra diduga kuat diperparah oleh kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar dan alih fungsi hutan.
Fakta di lapangan menunjukkan banyaknya kayu gelondongan yang terbawa banjir, menandakan maraknya penebangan di daerah hulu. Penetapan bencana nasional berpotensi membuka penyelidikan lebih luas terhadap akar masalah ini, yang bisa menyeret korporasi besar pemegang konsesi hutan atau oknum elit setempat. Prabowo mungkin berhati-hati karena di dalam koalisi pemerintahannya terdapat figur-figur atau kelompok bisnis yang berkepentingan di sektor sumber daya alam.
Andai penyebab bencana mengarah kekelalaian atau keserakahan korporasi tertentu, status bencana nasional akan menarik perhatian publik dan media nasional/internasional terhadap hal tersebut, yang bisa menjadi skandal politik. Meski Prabowo sendiri telah berikrar akan menindak tegas pembalakan liar, publik Aceh dan Sumut kadung curiga bahwa pemerintah pusat setengah hati karena “tersandera” oleh kepentingan para pemilik modal di balik kerusakan lingkungan.
Selain itu, ada pula spekulasi bahwa Prabowo ingin menghindari keterlibatan bantuan asing. Menetapkan status bencana nasional biasanya membuka peluang masuknya bantuan internasional. Mengingat posisi politik Prabowo yang nasionalis garis keras, bisa jadi ada kebengkokan ego untuk tidak segera meminta bantuan luar negeri, demi menunjukkan Indonesia mampu menangani sendiri. Alasan ini pernah muncul di awal pandemi COVID-19, misalnya, ketika pemerintah ragu menetapkan bencana nasional karena konsekuensi membuka akses pihak asing.
3. Perhitungan Citra Politik: Setiap langkah besar pemerintah pasti dihitung dampak citranya. Bisa jadi ada kekhawatiran bahwa menetapkan bencana nasional akan diartikan publik sebagai pengakuan kegagalan pemerintah dalam mencegah atau menangani bencana.
Pemerintahan Prabowo baru berjalan satu tahun; citra tegas dan sigap yang ingin dibangun bisa ternoda jika di awal masa jabatannya sudah dihadapkan “krisis nasional”. Dengan mempertahankan status daerah, barangkali tim komunikasi politik berharap menampilkan kesan situasi tidak sampai genting nasional dan masih mampu diatasi.
Strategi semacam ini tentu berisiko tinggi, karena justru diperbesar oleh media dan lawan politik. Faktanya, memang muncul kritik tajam di media arus utama maupun media sosial menyebut Prabowo “Presiden paling lambat merespon bencana”.Bahkan, di Sumatra sendiri tersiar kekecewaan mendalam terhadap pemerintah pusat.
Dalam percakapan sehari-hari warga, mulai timbul label bahwa "mungkin karena Prabowo kalah suara di Sumatra, makanya daerah kami dianaktirikan. "Isu ini mengemuka mengingat dalam Pemilu 2024 lalu, provinsi Aceh dan Sumatra Utara bukan basis pendukung utama Prabowo (kalah suara di sana), sehingga muncul tudingan emosional bahwa presiden tak berempati pada wilayah yang bukan lumbung politiknya.
Tentu saja, asumsi semacam ini berbahaya jika dibiarkan meluas karena dapat merusak persatuan nasional. Namun fakta kekecewaan tak bisa diingkari perwakilan masyarakat Sumut dan Aceh terang-terangan menyatakan rasa “iri” melihat perhatian presiden lebih lambat dibanding ketika bencana di Jawa, misalnya. Tantangan bagi Prabowo adalah mematahkan kesan tersebut melalui aksi nyata, bukan sekadar penjelasan verbal.
4. Minimnya Sense of Urgency dan Masalah Informasi: Alasan terakhir yang paling mendasar adalah faktor kepemimpinan dan informasi. Seorang pemimpin di masa krisis dituntut peka dan cepat bertindak dengan informasi yang akurat.
Hal ini membuat Presiden tidak merasa perlu turun tangan ekstra. Selain itu, kepribadian Prabowo yang berlatar militer keras mungkin mengedepankan disiplin struktur (menunggu proposal resmi dari daerah) daripada inisiatif mendahului.
Ditambah lagi, Prabowo relatif baru menjabat dan belum pernah menghadapi bencana sebesar ini langsung sebagai kepala negara, sehingga ada kurva pembelajaran dalam memahami mekanisme cepat tanggap bencana.
Kurangnya pengalaman bisa berpengaruh pada kecepatan pengambilan keputusan. Di sinilah pentingnya ia mendengar masukan dari banyak pihak, termasuk kritik publik.
Aryos menekankan, Presiden harus membuka mata hati nurani dalam melihat penderitaan rakyat. “Tanpa itu, keputusan Presiden akan terus jauh dari harapan rakyat,” ujarnya mengingatkan. Artinya, jika sense of crisis dan empati tidak ditingkatkan, maka wibawa dan legitimasi kepemimpinan akan tergerus.
Ujian Kepemimpinan di Tengah Bencana
Bencana banjir bandang Sumatra 2025 menjadi ujian berat bagi kepemimpinan nasional di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo. Perbandingan dengan era sebelumnya dari Soeharto, SBY, hingga Jokowi “ mau tak mau muncul di benak publik, apalagi mengingat para pendahulu itu pernah mengambil langkah cepat menetapkan bencana nasional demi menyelamatkan rakyatnya.
Tentu, setiap era punya konteks berbeda. Soeharto berkuasa penuh secara sentralistik ketika menangani tsunami Flores 1992; SBY menghadapi tantangan GAM saat tsunami Aceh 2004 namun mampu memimpin dengan baik hingga berbuah perdamaian Aceh.
Jokowi berhadapan dengan pandemi global yang membutuhkan koordinasi lintas sektor yang belum pernah ada presedennya. Kini Prabowo menghadapi kombinasi bencana alam dan tantangan struktural desentralisasi.
Harapan masyarakat jelas: pemerintah pusat hadir melindungi segenap rakyat saat musibah melanda, di mana pun lokasinya. Kekecewaan masyarakat Aceh, Sumut, Sumbar menjadi pembelajaran berharga bahwa komunikasi dan aksi pemerintah di lapangan tidak boleh tertinggal dari derasnya berita di media.
Jika rakyat di pelosok negeri merasa diabaikan, semangat persatuan nasional bisa luntur. Untuk itu, langkah korektif masih ditunggu. Penetapan bencana nasional hingga pertengahan Desember 2025 mungkin sudah kurang relevan karena fase tanggap darurat hampir lewat; tetapi hal itu penting sebagai sinyal politik kepedulian.
Walau terlambat, sejumlah tokoh terus mendesak agar Presiden mempertimbangkan kembali status bencana nasional demi mempercepat pemulihan. Bahkan tokoh oposisi Anies Baswedan turut menyuarakan desakan serupa, barangkali sebagai fungsi kontrol sekaligus tekanan politik (Acehsiana, 13 Desember 2025).
Di sisi lain, Prabowo perlu membuktikan janjinya menertibkan akar masalah bencana seperti illegal logging dengan tindakan nyata pascabencana. Penegakan hukum lingkungan dan rehabilitasi hutan di Sumatra akan menjadi tolok ukur keseriusan pemerintah agar bencana serupa tak terulang.
Begitu pula dari sisi manajemen bencana, pemerintah pusat mungkin perlu meninjau ulang protokol penetapan status bencana. Pedoman BNPB 2016 memang memberi kewenangan Presiden menetapkan status nasional bukan semata berdasarkan jumlah korban, tapi juga kompleksitas penanganan dan kemampuan daerah.
Kasus ini menunjukkan kriteria tersebut terpenuhi, namun keputusan politik bisa berbeda. Evaluasi menyeluruh patut dilakukan agar di masa depan tidak ada keraguan dalam menyelamatkan rakyat.
Akhir kata, Aryos Nivada mengingatkan bahwa hal paling esensial dalam penanganan bencana adalah ketulusan nurani. Pemerintah jangan terjebak pencitraan atau perhitungan politis berlebihan ketika nyawa rakyat dipertaruhkan.
"Bencana ini akan sirna jika Presiden diberi akses penuh terkait keadaan kebencanaan yang jujur dan apa adanya," tulisnya. Artinya, transparansi dan empati harus menjadi dasar tiap kebijakan.
Respons Presiden Prabowo terhadap bencana Sumatra 2025 mungkin tercatat lambat dan penuh tanda tanya, tetapi masih ada kesempatan memperbaiki persepsi dengan kerja nyata pada fase pemulihan.
Pada akhirnya, rakyat menilai pemimpinnya dari kecepatan dan ketegasan bertindak di saat krisis. Semoga kritik dan dialektika yang muncul dari peristiwa ini dapat mendorong perbaikan sistem penanggulangan bencana nasional ke depan, sehingga di mana pun bencana terjadi, negara tidak absen dan masyarakat segera tertolong secara maksimal.
Sumatera porak poranda. Rintihan rakyat bagaikan tidak bertepi, perih tertindih-tindih. Kehadiran negara sepenuh hati sangat mereka harapkan. Jangan biarkan rakyat bagaikan tidak bertuan, ketika mereka didera prahara, mereka butuh Bapak yang berjuang sepenuh hati.