Beranda / Liputan Khusus / Indepth / PT EMM Telah Membuat Rakyat Aceh Bangkit

PT EMM Telah Membuat Rakyat Aceh Bangkit

Minggu, 21 April 2019 11:10 WIB

Font: Ukuran: - +


BILA air di hulu keruh, sampai ke hilir akan tetap keruh. PT. Emas Mineral Murni (EMM) sudah menggores sejarah di Aceh. Perjalanan perusahaan emas ini telah melahirkan sebuah fenomena baru di Aceh, adanya perlawanan rakyat dari berbagai elemen.  Rakyat Aceh bangkit.

Proses awal izin perusahaan ini sampai adanya pemalsuan data peta lapangan, diangkat ke publik. Aksi demo bagaikan gelombang, berganti alun, hingga mencapai puncaknya. Ada juga saling tuding dan upaya membela diri. Sejarah pertambangan yang sudah diukir di Bumi Serambi Mekkah ini menarik untuk diikuti.

Ada sejarah baru yang diukir menjelang Pileg 2019. Ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru Aceh kompak melakukan unjuk rasa menentang keberadaan PT Emas Mineral Murni (EMM). Aksi itu berlangsung selama 3 hari, dari Selasa (9/4) hingga Kamis (11/4), di depan Kantor Gubernur Aceh.

Aksi tersebut terbilang fenomenal, pasalnya telah lama publik Aceh tidak menyaksikan bersatunya mahasiswa Aceh untuk mengusung isu kerakyatan setelah aksi fenomenal yang dilakukan Sentral Informasi Refendum Aceh pada tahun 1999 silam.

Demonstrasi yang awalnya diprediksi berlangsung damai itu, sempat kisruh pada hari pertama. Tak pelak sejumlah inventaris bangunan kantor Gubernur Aceh mengalami kerusakan. Seperti kaca pecah dan pot yang berhamburan. Sejumlah mahasiswa dan aparat keamanan juga dilaporkan mengalami luka luka.

Setelah massa bertahan selama tiga hari, pada hari Kamis (11/4) akhirnya Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menjumpai massa. Nova tiba di halaman kantor Gubernur Aceh didampingi unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), seperti, Kapolda Aceh Irjen Pol Rio Septianda Djambak, Kasdam IM, Kapolresta Banda Aceh serta Dandim 0101/BS.

Dihadapan ribuan mahasiswa, Nova mengatakan Pemerintah Aceh bersama bersama rakyat dan mahasiswa, terkait keberadaan perusahaan tambang PT EMM di Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya dan Pegasing, Aceh Tengah.

Pihaknya sepakat akan menggugat pemberian izin tambang yang telah dikeluarkan. "Saya sepakat dengan mahasiswa akan melakukan gugatan, tapi kita masih mencari celah untuk menggugatnya," sebutnya. Nova menambahkan, apapun hasil keputusan PTUN tentang izin operasi PT EMM, Pemerintah Aceh akan membentuk tim khusus terkait penolakan izin tambang PT EMM.

"Kalau sepakat, kita bentuk tim yang terdiri dari pemerintah Aceh, pihak akademisi kampus, mahasiswa dan lembaga terkait lainnya," ucap Nova. Pada kesempatan itu dia juga menandatangani surat pernyataan sikap yang diberikan mahasiswa terkait upaya advokasi yang harus dilakukan Pemerintah Aceh.

Sementara itu, Rektor Unsyiah, Prof. DR Ir Samsul Rizal M.Eng. meminta mahasiswa untuk cerdas dan tidak ditunggangi oleh kepentingan. "Saya berkewajiban mendidik mahasiswa untuk cerdas, bukan mahasiswa yang tidak pandai membaca keadaan. Bukan mahasiswa yang bisa dimanfaatkan pihak lain untuk kepentingannya," sebut Samsul Rizal, Kamis (11/4/2019) menjawab Dialeksis.com, via selular.

"Aceh baru dibalut konflik, mahasiswa itu harus mengetahui dulu seluk beluk apa yang mau mereka demo. Jangan sampai membela kepentingan orang lain kita menjadi korban. Demo sudah anarkis, saya tidak mendidik seperti itu," sebutnya. "Kalau untuk kepentingan Aceh, kalau untuk kepentingan nasional, saya akan berdiri di depan mahasiswa untuk melakukan protes. Namun kita harus cerdas menyikapi apa yang kita mau demo itu," jelasnya.

Akar Konflik PT EMM

Komisi II DPRA mengurai dengan panjang sejarah "kekisruhan" di PT EMM yang sampai saat ini belum ada titik temunya. Menurut komisi II DPRA Aceh, dalam laporanya, persoalan itu diawali dari proses izin. Bupati Nagan Raya ketika dijabat Zulkarnian pada tahun 2006.

Bupati Nagan mengeluarkan SK pemberian kuasa pertambangan eksplorasi melalui SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/68/KP-EKSPLORASI/2006. Kemudian, Gubernur Aceh (ketika itu dijabat Mustafa Abubakar), melalui Surat Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 545/12161 tertanggal 8 Juni 2006 mengeluarkan rekomendasi kuasa pertambangan eksplorasi kepada PT. Emas Mineral Murni.

Bagai gayung bersambut, kemudian disusul surat Direktorat Jenderal Minerba, Batubara dan Panas Bumi, Nomor 1053/30/DJB/200 tertanggal 23 maret 2009. Selanjutnya, Bupati Kabupaten Nagan Raya mengeluarkan SK persetujuan izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT. EMM, tertanggal 11 Januari 2010.

Pada tanggal 3 Desember 2012, pengumuman AMDAL dilakukan. Luas arenya mencapai 3.620 hektar yang berlokasi di Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya. Seharusnya AMDAL diumumkan, namun komisi AMDAL Nagan Raya tidak melakukanya.

Pada tanggal 15 April 2013 Bupati Nagan Raya mengeluarkan SK Nomor 545/143/Rev.IUP-Eksplorasi/2013 tentang perubahan atas keputusan Bupati Nagan Raya Nomor 545/22/SK/IUP-Ekspl/2010. Selanjutnya, pemerintah pusat mengeluarkan izin prinsip penanaman modal dengan Nomor 333/I/IP/I/PMA/2011 tanggal 11 Juni 2011.

Kerangka acuan AMDAL disetujui pada tanggal 24 Juli 2013, melalui keputusan komisi penilai AMDAL Nagan Raya Nomor 660/009/2013. Pada tanggal 21 Agustus 2014, Bupati Nagan Raya mengeluarkan pengumuman permohonan izin lingkungan, untuk lokasi kegiatan di Beutong Ateuh Banggalang.

Menurut Komisi II DPRA, kejanggalan itu diawali dengan pengumuman pemasangan tanda batas wilayah pada izin usaha pertambangan PT EMM. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengumumkanya melalui SK Kepala BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 pada tanggal 19 Desember 2017. Luas areanya mengejutkan, bukan 3.620 hektar, tetapi sudah mencapai 10.000 hektar.

Lokasinya bukan hanya di kabupaten Nagan Raya, namun sudah masuk ke kabupaten Aceh Tengah. Dokumen AMDAL hanya 3.620 hektar, namun izin yang dikeluarkan Kementrian ESDM mencapai 10.000 hektar. Mengapa bisa terjadi?

Menurut komisi II DPRA, PT. EMM tidak pernah melaporkan hasil atau kemajuan terkait hasil eksplorasi yang mereka lakukan kepada Gubernur Aceh. Padahal salah satu syarat untuk meningkatkan izin eksplorasi produksi harus melaporkan hasil kemajuan eksplorasi.

Namun PT. EMM secara sengaja tidak menghargai kekhususan Pemerintah Aceh sesuai dengan UUPA pasal 156 dan 165, werta Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara dan Qanun nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan.

Saling Tuding

Muncul tudingan dan saling menyalahkan tentang siapa yang mengeluarkan izin pertambangan di PT yang di demo mahasiswa ini. Ada yang mempersoalkan tentang siapa yang mengeluarkan rekomendasi PT EMM di Aceh pertama sekali.

Kadis ESDM Aceh Ir. Mahdinur, mengatakan bahwa rekomendasi izin operasi PT EMM diberikan pada masa pemerintahan Pj. Mustafa Abu Bakar tahun 2006. "Itu tahun 2006, masa pak Mustafa Abu Bakar," ujarnya singkat kepada Dialeksis, Sabtu, (20/4).

Mantan Gubernur Aceh yang disebut mengeluarkan izin ini, justru menyatakan dirinya tidak tahu menahu tentang persoalan itu. Dirinya membantah yang menanda tangani izin operasi PT EMM. Menurut Mustafa Abu Bakar mantan Pj. Gubernur Aceh periode 2004-2007 Mustafa Abubakar, dia tidak tahu menahu perihal permasalahan PT EMM.

"Waduh, saya tidak tahu itu. Gak tahu itu. Saya kan 2006 disana, saya kira gak ada itu. Gak ada sama sekali, " ucapnya berulang-ulang saat diwawancara Dialeksis.com, Sabtu, (20/4), terkait tudingan perizinan operasi PT EMM yang dilakukan pada masa pemerintahannya.

Disisi lain, Komisi II DPRA melalui laporannya menemukan adanya kejanggalan terkait dengan proses perizinan, sejak tahapan eksplorasi hingga keluarnya izin produksi PT Emas Mineral Murni di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang.

Menurut Komisi II DPRA, persoalan itu dapat dilihat dari SK Menteri Badan Koordinasi Penanaman Modal nomor 66/1/IUP/PMA/2017. Izin yang diberikan mencapai 10.000 hektar mencakup dua Kapupaten( Aceh Tengah dan Nagan Raya). Sedangkan dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Kabupaten Nagan Raya, luas izin itu hanya 3,620 hektar.

PT Emas Mineral Murni telah berupaya untuk mengelabui masyarakat dan bahkan Pemerintah Aceh sendiri, seolah-olah segala prosesnya termasuk penyusunan ANDAL dibuat dengan sebenar-benarnya.

Berdasarkan kajian Komisi II bahwa terdapat perbedaan antara area konsesi yang termuat di dalam peta yang disuguhkan oleh PT Emas Mineral Murni. Berdasarkan garis polygon yang ditarik berdasarkan titik koordinat, area wilayah usaha pertambangan PT Emas Mineral Murni hanya masuk pada satu areal atau kabupaten saja, yaitu Kabupaten Nagan Raya. Sedangkan hasil overlay, peta areal tersebut ternyata masuk ke dalam dua kabupaten.

Di Kabupaten Nagan Raya, terdiri dari dua kecamatan, Beutong dan Beutong Ateuh Banggalang, dan Kabupaten Aceh Tengah juga masuk dalam dua kecamatan, Celala dan Kecamatan Pegasing.

Menurut Komisi II DPRA , PT Emas Mineral Murni dengan sengaja menggeser area wilayah pertambangannya, dengan tujuan agar seolah-olah wilayah pertambangannya berada di 1 (satu) kabupaten saja. Upaya itu seperti menghindari wilayah administrasi Kabupaten Aceh Tengah maupun kewenangan Provinsi Aceh.

PT Emas Mineral Murni diindikasikan kuat telah dengan sengaja mengaburkan peta lokasi pertambangan, yang bertujuan untuk memanipulasi perizinan sehingga tidak melewati banyak kelembagaan dan menitikfokuskan pada kewenangan Kabupaten Nagan Raya saja, untuk menerbitkan segala jenis perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten saat itu.

Saat ini, keberadaan PT Emas Mineral Murni dinilai telah meresahkan masyarakat dengan segala aktivitasnya. Hal ini telah memicu gerakan masyarakat untuk meminta kepada pemerintah daerah dalam hal ini Pemkap Nagan Raya, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk menghentikan kegiatan PT Emas Mineral Murni dan mencabut seluruh izin PT. Emas Mineral Murni.

Menurut Komisi II DPRA yang diketuai Nurzahri, dalam laporanya kimisinya pada persidangan di DPRA menyebutkan, DPR Aceh tidak pernah memberikan persetujuan untuk penetapan wilayah izin usaha pertambangan di Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya, dan Celala dan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah yang berada dalam kawasan hutan lindung. Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 6 Qanun Aceh No 15 Tahun 2013 tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara.

Selain itu, DPR Aceh tidak pernah menerima laporan dari Gubernur Aceh terkait penggunaan kawasan hutan di Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya, dan Celala dan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah untuk kegiatan diluar kegiatan kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 54 ayat 2 Qanun Aceh No 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Komisi II DPRA berkeyakinan, izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal No.66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Untuk itu komisi II meminta Gubernur Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPR Aceh, untuk melakukan upaya hukum terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal No.66/1/IUP/PMA/2017.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRK Nagan Raya, Samsuardi atau yang akrab disapa Juragan kepada Dialeksis.com, Jumat, (19/4), mengatakan Persoalan PT EMM sebaiknya di tunda dulu, sampai semua pihak terkait duduk bersama, sehingga dapat mengambil keputusan terbaik bagi masyarakat.

"Kita duduk dulu semua, bupati, DPR, Bupati, kita duduk dulu semua. Itu persoalan kecil, kalau kita mau duduk semua," sebut Juragan. Dia menerangkan, tidak mengetahui persis bagaimana polemik yang terjadi terhadap permasalahan PT EMM. Sebelum dirinya menjadi ketua DPRK, perusahaan tambang PT EMM itu sudah ada di Nagan Raya.

"Sebelum saya jadi ketua DPRK, perusahaan itu sudah berdiri. Saya belum paham itu, apa persoalan yang sebenarnya," ucapnya. Juragan mengaku belum paham terkait izin PT EMM. Tapi menurutnya, apa yang ada di Beutong merupakan rezeki bagi masyarakat Beutong.

"Soal kebijakan Plt, kita tinjau dululah. Ada apa yang sebenarnya ini. Apa ada permainan. Lokasinya di Beutong, kawasan itu tertinggal sekali. Itu rezeki orang-orang Beutong. Barangnya sudah ada, tinggal dinikmati. Tetapi dalam bentuk izin, saya belum tahu. Sejak perusahaan itu berdiri, saya belum pernah kesana. Saya gak ikut campur bidang itu, karena izinnya saya gak ngerti," tuturnya.

Juragan mengatakan, semuanya terserah kepada masyarakat Beutong sendiri. Kalau masyarakat tidak menghendaki, sambungnya, maka kehadiran perusahaan tersebut harus dihentikan.

"Keinginan saya pending dulu, lagi pemilu ini. Nanti kalau orang Beutong gak mau, ya gak usah, ngapain ribut-ribut. Yang penting, jangan jadi provokator. Semua pihak, baik di Indonesia atau di Aceh jangan jadi provokator. Kita lihat dulu kedepan," ucap Samsuardi.

Bagaimana dengan tanggapan pihak lainya? Praktisi hukum, Mustiqal Syahputra, SH terkait polemik PT EMM kepada Dialeksis.com, Jumat, (19/4) menjelasakan, Pemerintah Aceh, khususnya Plt Gubernur, harus membangun komunikasi dengan Jakarta untuk mencabut izin tersebut. Pemerintah Aceh harus membentuk tim kerja (taskforce) yang khusus tentang PT EMM.

"Harus bentuk tim task force atau tim kerja yang terdiri dari masyarakat, mahasiswa, akademisi, aktifis lingkungan dan pihak terkait lainnya. Tim itu kemudian yang akan memastikan tindak lanjut terhadap permasalahan PT EMM," ucap. Menurutnya, hal tersebut akan menjadi pintu masuk bagi Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi segala bentuk perizinan, khususnya izin tambang dan perkebunan.

Di lain sisi, gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama masyarakat Beutong Ateuh Banggalang untuk membatalkan izin operasional PT PT EMM, ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Walhi menilai putusan tersebut melukai keadilan masyarakat. Meski telah dihadirkan berbagai fakta, Putusan ini menjadi catatan dan melukai rasa keadilan masyarakat, ketika korporasi dibiarkan melanggar hukum, merusak lingkungan, dan mengorbankan hak-hak masyarakat, kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh M. Nur dalam keterangan tertulisnya.

Walhi Aceh mengaku akan menempuh jalur banding pasca gugatannya ditolak PTUN Jakarta. Seperti dikutip RRI, Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur pada Kamis siang (11/4/2019) mengatakan, pihaknya akan mengajukan banding dalam 14 hari pasca putusan PTUN. Dirinya menyinggung salah satu alasan penolakan gugatan Walhi Aceh oleh PTUN lantaran PT EMM mengantongi izin lingkungan. Namun kata Muhammad Nur, majelis hakim tidak menunjukkan dokumen izin lingkungan tersebut dipersidangan.

Investasi

Aceh sangat terbuka dengan pihak yang akan menanamkan modalnya di Aceh. Berbagai bentuk investasi yang akan bergulir di Aceh mendapat dukungan. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dalam berbagai kegiatan sangat mengharapkan investasi bermunculan di Bumi Aceh.

Namun Nova mengakui, Investasi luar yang diharapkan untuk mendongkrak perekonomian Aceh, tak kunjung datang. Investor menunda untuk menanamkan modal trilyunan di Aceh.

"Terlalu susah jika kita berharap pada investasi besar di Aceh. Ada rencana pabrik Semen Laweung, tapi berhenti. Ada penambangan batu bara di Nagan Raya juga bermasalah dan seterusnya," katanya.

Namun Aceh juga memiliki potensi yang lain yang dapat dilirik oleh para investor. Potensi alam Aceh sebenarnya merupakan tempat berinvestasi, bukan hanya mengandalkan pertambangan. Banyak sumber lainya yang membuka peluang untuk hadirnya para investor.

Bagaimana memanfaatkan sumber laut Aceh misalnya, memanfaatkan potensi alam Aceh untuk pariwisata. Bila para investor ingin menanamkan modalnya di Aceh, negeri paling ujung barat Sumatra ini, menyimpan segudang potensi untuk dikembangkan, khususnya untuk jangka pendek dan menengah.

Investor tidak harus "selamanya" melirik sektor pertambangan yang kerap menuai masalah. Perjalanan panjang yang sudah dilukis PT EMM salah satu dari secuil kisah yang menyisakan persoalan, sampai kini masih belum terselesaikan dengan baik.

Persoalan pertambangan kerap menuai persoalan. Sejarah sudah mencatat PT EMM telah membuat rakyat bangkit dan bersatu. Bagaimana kisah dari perjalan panjang PT EMM di Bumi Aceh, kita ikuti saja goresen tinta apa lagi yang akan hadir. (Pondek)

Keyword:


Editor :
Bahtiar Gayo

riset-JSI
Komentar Anda