Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Pro Kontra Standarisasi Warung Kopi Di Bireun

Pro Kontra Standarisasi Warung Kopi Di Bireun

Jum`at, 07 September 2018 15:20 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi: istock

Pemerintah Kabupaten Bireun mengeluarkan selebaran pada  pada 30 Agustus 2018 itu  tentang standarisasi pelayanan di warung kopi dan cafe/restoran. Seleberan yang beredar luas di grup whastapp dan media sosial tersebut kemudian menuai reaksi dari publik. tidak sedikit juga yang mengecam kebijakan standarisasi warkop yang ditandatangani oleh Bupati Bireun Saifunnar itu.. Pemkab dinilai tidak bijak dan terkesan memaksakan untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah membangun Bireuen.

 Dalam selebaran berupa imbauan yang mengandung 14 poin itu,  setidaknya memiliki tiga poin yang dinilai kontroversi, pertama poin lima tentang: pramusaji wanita tidak dibenarkan bekerja di atas pukul 21.00 WIB. Kedua, point tujuh: Pelayanan cafe dan restoran dibuka pukul 06.00 dan ditutup pukul 24.00 WIB, dan ketiga point 13: Haram hukumnya laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja, kecuali dengan mahram.


Ragam Reaksi

Menanggapi terbitnya selebaran Bupati Bireuen tersebut, sejumlah pemilik warung kopi menyambut selebaran tersebut dengan tawaan terpingkal pingkal. Sebagai kabupaten yang dilintasi oleh pelintas (kota transit), apa yang diatur oleh Saifannur dianggap lucu-lucuan dan tidak mungkin diikuti.

Pun demikian, para pedagang tetap mengaku resah dengan lahirnya imbauan tersebut, karena beberapa point memang terlampau dipaksankan oleh Pemkab Bureuen, tanpa melakukan riset yang mendalam.

Dikutip dari aceHTrend, keluhan pedagang yaitu, pertama, pada poin kelima berbunyi: Pramusaji wanita tidak dibenarkan bekerja di atas pukul 21.00 WIB.
Kedua, pada poin tujuh berbunyi: Dilarang melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00 WIB kecuali bersama mahramnya. Ketiga, pada poin 13 yang berbunyi: Haram hukumnya laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali dengan mahramnya.

Menurut sejumlah pedagang akan tidak bisa diikuti oleh mereka secara penuh, karena Bireuen sebagai kota transit tak mungkin membuka dan menutup warung pada pukul 06.00-24.00 WIB. Juga tidak mungkin melarang konsumen perempuan yang tidak didampingi mahram untuk belanja makanan dan minuman.

"Seperti di Matangglumpangdua, Geurugok, Kota Bireuen dan sejumlah warung kampung yang hidup dari kunjungan pelintas yang singgah untuk membeli makanan di malam hari di atas pukul 00.00 WIB. Itu tempat yang berdenyut 24 jam, bahkan hanya tutup sementara pada pukul 05.00 WIB. Kemudian pukul 08.00 WIB sudah beraktivitas kembali," ujar beberapa pedagang secara terpisah. Mereka menolak menyebut nama karena rentan diperkusi oleh pihak-pihak yang akan menumpang tenar.

Para pedagang sepakat bila Bireuen menerapkan Syariat Islam, karena itu amanah Undang-undang dan bentuk keistimewaan Aceh, tapi mereka meminta bupati dan perangkatnya untuk bijak membuat peraturan, walau sejatinya tidak berimplikasi hukum.

"Kebajikan harus ditegakkan dengan cara-cara bijak, kalau tak bijak kesannya nanti hanya pencitraan dan itu merugikan daerah, ekonomi Bireuen ikut bertumpu pada sektor kuliner, denyutannya sangat terasa," ujar seorang pedagang warung nasi dan sate.



Dampak Ke Perempuan

Aktivis perempuan Aceh asal Bireuen, Muazzinah Yacoub, juga menyampaikan kritiknya terhadap imbauan yang dinilai dikriminatif. Ia menduga keputusan tersebut dicetuskan secara sepihak.

"Atas dasar apa Bupati Bireun mengeluarkan matlumat tersebut? Apakah sudah ada kajian bahwa pembeli perempuan poin 7 dan 13 tanpa mahram menimbulkan keresahan sosial?," ujar Muazzinah, Rabu (5/9/2018) siang.
 
Muazzinah menilai  aturan yang ditanda tangani Bupati Bireun pada tanggal 30 Agustus 2018 merugikan kaum perempuan.

"Jangan sampai ini hanya menjadi kebijakan sensasional," ungkapnya.
Menurut Muazzinah, syariat Islam adalah rahmatan Lil alaminl bukan menjadi "ajang" pengambilan kebijakan sepihak oleh penguasa, tanpa melihat kajian menyeluruh untuk kemaslahatan umat.

Anggota DPRA Kautsar yang meeupakan politisi Partai Aceh, juga ikut memberikan tanggapannya tentang terbitnya imbauan tersebut. Di laman facebooknya, ia menulis:
"Mahunya Pemerintah Kabupaten Bireuen memfokuskan diri memikirkan penyediaan tanah bagi pembangunan IPDN dan Rumah Sakit Regional yang mana bisa menaikkan jumlah orang datang ke Bireuen. Pembangunan dua hal ini terkendala karena belum ada kejelasan tanah dari pemerintah kabupaten. "

Selanjutnya juga memikirkan bagaimana mengatasi tunggakan rumah sakit serta tidak menahan gaji pegawai honorer dengan alasan belum tersedia dana karena dalam Islam upah buruh harus dibayar sebelum keringat mereka kering. Kebijakan surat edaran ini hanya akan membuat kehebohan di tingkat nasional dan internasional saja dan merugikan citra kabupaten Bireuen yang kosmopolit.
 
Ketua Ikatan Masyarakat Kabupaten Bireuen (IMKB) Dr. Amri, kepada media, Rabu malam (4/9/2018) mengatakan, peraturan yang diterbitkan Bupati Bireuen dinilai dapat mematikan usaha kecil yang digarap oleh masyarakat.
"Dalam membuat aturan atau himbauan hendaknya Bupati mendiskusikan dulu dengan berbagai tokoh masyarakat, sehingga tidak melahirkan polemik dan konstroversi . Buatlah aturan – aturan yang berdampak pada pertumbuhan perekonomian rakyat yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat," ujar akademisi Universitas Syiah Kuala itu.

Ia melanjutkan, aturan berupa larangan warung kopi buka hingga jam 24.00 Wib dinilai menghambat pertukaran dan peredaran uang di kabupaten Bireuen bagi masyarakat menengah ke bawah. Bireuen merupakan kota transit yang ada di provinsi Aceh yang menghubungkan ibukota provinsi Aceh dengan provinsi Sumatera Utara. Rata – rata warung kopi sepanjang Bireuen dan Matang Geulumpangdua buka 24 jam.

Ekonomi Aceh hidup lewat warung kopi, melalui perputaran uang dalam skala kecil. Sementara dalam skala besar berputaran uang Aceh terjadi di Medan dan Jakarta bahkan sekarang sudah mulai berputar di Malaysia.

Akademisi UIN Ar-raniry, Farid Wajdi mengatakan bahwa kebijakan standarisasi warung kopi tersebut harus dilihat secara komprehensif. Yang dilarang tegas dalam Qanun Syariat Islam menurutnya adalah khalwat. Kebijakan tersebut harus disertai dengan adanya  solusi dalam rangka mengurangi dampak ekonomi bagi masyarakat kecil.

"Kita harus melihat dari beberapa aspek. Terutama dilihat dari aspek Syariat Islam. Dalam Qanun SI yang dilarang adalah khalwat. Yaitu berduaan dengan muhrim di tempat sunyi sehingga berpotensi melakukan maksiat. kalau itu standarnya itu tidak masalah. apabila duduk di kafe/warung kopi, kalau secara syariat Islam sebenarnya tidak dilarang secara konkrit.

Yang dilarang tegas adalah khalwat , bersepian dengan non muhrim di tempat sunyi. sedangkan  kafe/warung kopi di Aceh kan bukan tempat yang dikatakan sunyi. Pane na jeut peugot maksiat di warung kupi. keunong ie suum gob" ujar mantan rektor UIN Ar-Raniry tersebut.

Dirinya kemudian melanjutkan bahwa pada intinya paham niat awal pembkab baik dalam rangka mencegah terjadinya percampuran antara perempuan dan pria di tempat umum.

"Namun perlu juga diperhatikan dampak dari aturan ini terutama dari sisi ekonomi Bireun. Bireun itu adalah wilayah perlintasan yang dilewati mobil/bus yang mau ke Banda Aceh maupun ke Medan. Kemungkinan dampak aturan ini adalah penumpang tidak akan berhenti lagi di wilayah bireun. Dalam surat tersebut terutama dalam hal larangan makan minum bukan non muhrim. tidak disebutkan berapa orang. katakanlah ada mahasiswa pulang duduk di kantin dengan teman temannya. akhirnya mereka menghindari warung kopi atau restoran sehingga berdampak pada pemasukan warung kopi dan restoran di Bireun. Jadi intinya kita setuju dengan adanya standarisasi warung kopi dan restoran sesuai syariat Islam, namun perlu adanya solusi dalam rangka mengurangi dampak ekonomi bagi masyarakat kecil." ujar farid wajdi.

Terkait sejumlah kritik tersebut Kadis Syariat Islam Kabupaten Bireuen, Jufliwan, Rabu (5/9/2018) menyebutkan bahwa selebaran yang diterbitkan berupa imbauan dan bisa disesuaikan dengan kondisi. "Tujuan diterbitkannya imbauan tersebut untul kebaikan. Tinggal disesuaikan saja," katanya.

Sebelumnya di sejumlah daerah di Aceh sendiri sempat beberapa kali muncul kebijakan kontroversi dengan dalih penegakan syariat Islam. Seperti kebijakan wajib rok di Aceh Barat semasa bupati Ramli MS Menjabat dan dilarang duduk ngangkang bagi perempuan ketika duduk di sepeda motor. sejumlah kalangan baik lokal maupun nasional menilai kebijakan kebijakan bernuansa syariat tersebut hanyalah menyasar kalangan perempuan.

(HH/AP)

Keyword:


Editor :
AMPONDEK

riset-JSI
Komentar Anda