kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Pontang-panting Nelayan di Tengah Pandemi

Pontang-panting Nelayan di Tengah Pandemi

Sabtu, 12 Desember 2020 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora/Akyar/Roni
[Dok. Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan segala sektor perekonomian. Pasar lesu, daya beli menurun drastis. Masyarakat dibatasi segala aktivitasnya hingga pergerakkan ekonomi ikut tersendat.

Dampak ini pula ikut menyelimuti nasib para nelayan. Di awal pandemi, BPS mencatat Nilai tukar nelayan (NTN) dan nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) periode Februari-April 2020 menurun hingga Mei 2020. NTN Februari 100,31, lalu Maret 100,05, April 98,48 dan Mei 98,69. Sedangkan NTPi bulan Februari 101,17, Maret 100,67, April 99,02 dan Mei 99,76. Artinya, nelayan dan pembudidaya ikan mengalami defisit pengeluaran ketimbang pendapatan.

Kondisi ini secara nasional sebagaimana mengutip Investor.id (11/7/2020), membuat berhentinya aktivitas melaut nelayan akibat tidak terserapnya kelebihan hasil tangkapan di pasar. Contohnya, di Aceh, Maluku Utara, Rawasaban Tangerang, dan Muntok Bangka Barat. Malah nelayan di Bungku Morowali, Kepualaun Tanimbar- Maluku dan Lampulo, Aceh membuang hasil tangkapannya ke laut akibat tak ada pembeli ikan.

Salah satu nelayan asal Kabupaten Kendal, Sugeng Trianto mengatakan dirinya harus tetap melaut di tengah cuaca yang kadang tak bersahabat meskipun harga jual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merosot hingga 50 persen.

"Melaut subuh pulang jam 10, tangkapan untuk makan keluarga, sebagian dijual ke TPI meski harga murah," ujar Sugeng mengutip CNN Indonesia, Senin (4/5/2020).

Bagaimana dengan Aceh?

Salah seorang nelayan Aceh, Ilyas mengatakan, perubahan drastis terhadap harga penjualan ikan hasil tangkapannya selama pandemi menghampiri dirinya. Apalagi saat ombak dan angin laut sangat kencang, keadaan akan semakin runyam dan sulit.

Ia menjelaskan, sebelum pandemi, harga ikan tongkol yang biasa dijualnya yakni Rp 20 ribu per kilogram. Namun setelah pandemi, harga ikan turun menjadi Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu.

Ikan tongkol merupakan yang paling banyak didapat Ilyas dkk. Sebab, katanya, selama pandemi penjagaan di laut juga dijaga cukup ketat sehingga nelayan tidak boleh melewati batas laut yang sudah ditentukan.

“Melaut ini seperti rejeki harimau, ketika lagi ada rejeki itu luar biasa banyak tetapi kadang-kadang bahkan kami juga pernah pulang dengan kapal kosong setelah berlayar 5 sampai 7 hari,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Sabtu (12/12/2020).

Tak hanya bagi nelayan, pandemi juga berdampak pada pendapatan penjual di pasar ikan. Mansur, salah satu pedagang ikan di Pasar Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara mengatakan, selama pandemi Covid-19, kondisi pendapatan dagangan penjual ikan di pasar menurun. Mulai dari harga jual yang murah hingga sepi pembeli.

“Misalnya modal dari 700 ribu, namun yang habis terjual hanya 300 ribu, modal saja kadang tidak kembali dan kalau ada ikan yang tinggal tidak bisa dijual lagi untuk besok langsung dibuang atau saya kasih ke orang-orang,” kata Mansur.

Namun, lanjutnya, semua itu terpaksa tetap dilakukan oleh para penjual ikan di pasar karena pekerjaan tersebut sudah menjadi mata pencahariannya.

Hal itu dibenarkan oleh Sekjen Panglima Laot Aceh, Oemardi. Ia mengatakan, lesuhnya pasar akibat pandemi Covid-19 sangat berdampak bagi para nelayan di Aceh. Pasalnya, industri perikanan di Aceh saat ini belum begitu bertumbuh sehingga tidak ada alternatif ketika harga tangkapan nelayan murah atau jatuh harga.

"Bayangkan saja, ada berapa jumlah restoran yang tutup secara global. Padahal nelayan itu hasil produksinya ikan, yang mereka tangkap dan mereka jual itu ikan. Dan penghasilan mereka cuma dari sana," ungkap Oemardi.

"Ketika harga jatuh, mereka tak ada jalan lain. Apalagi industri perikanan di Aceh belum begitu tumbuh, sehingga tidak bisa diolah lagi. Berapa harga yang dibeli ya terpaksa segitu yang harus dijual. Karena tidak ada alternatif pilihan," tambahnya.

Ia berujar, dari segi regulasi sebenarnya tidak ada yang menghambat. Namun karena lesuh pasarnya dan harga ikan menjadi murah, membuat para nelayan rugi akibat biaya operasional yang dikeluarkan lebih tinggi daripada harga jual yang mereka dapat.

"Nelayan kita itu rata-rata sudah berprofesi sebagai nelayan sejak kecil. Makanya ketika beralih ke profesi lain secara tiba-tiba seperti pandemi saat ini, tidak mudah," jelas Oemardi.

"Untungnya, mereka terbantu karena sistem sosial kita di Aceh yang masih bagus. Budaya saling bantu itu masih hidup, ada saudaranya yang saudagar, masih bisa pinjam uang dari sana, atau ada saudaranya yang PNS masih bisa dibantu," tambahnya.

Sekjen Panglima Laot itu menyarankan, kepada para nelayan agar memanfaatkan lahan pekarangan yang tersisa untuk ditanami sayur-sayuran dan juga tanaman lainnya yang bisa menghasilkan dan menopang perokonomian keluarga para nelayan.

"Karena Aceh belum sepadat Pulau Jawa. Yang bisa dipergunakan oleh istri para nelayan adalah memanfaatkan lahan sekitar rumah, menanam sayur atau usaha kecil lainnya yang masih bisa menopang hidup. Meski demikian, tidak semua nelayan juga yang punya lahan seperti ini," tambahnya.

Sekjen Panglima Laot itu berharap, kepada pemerintah agar memberikan perhatian lebih kepada nelayan. Karena menurutnya, selama ini kebijakan pemerintah belum cukup kuat untuk sektor perikanan.

"Walaupun di era Presiden Jokowi dan Menteri Susi sebelumnya ada terobosan-terobosan cukup bagus. Tapi dibandingkan dengan profesi lain, kami masih dianaktirikan. Kami terus berusaha dorong itu. Sebaba kita negara maritim, mari buat Indonesia ini berjaya di laut," ungkap Oemardi.

"Kita masih perlu mendukung bagaimana meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yakni nelayan kita. Terutama nelayan di Aceh. Kita punya tradisi dan kearifan lokal yang cukup kuat. Itu yang terus digunakan masyarakat kita dan harus terus didukung serta dibantu," tutupnya.

Solusi bagi nelayan

Sementara itu, Dekan Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof Dr Muchlisin, bercerita ada banyak nelayan yang akhirnya memutar haluan untuk mencari pendapatan di darat.

"Ada beberapa nelayan yang berjumpa dengan saya, mereka saat ini memang tidak bekerja karena ongkos atau upah yang dibayarkan tidak mencukupi, sehingga mereka harus bekerja di darat," ujar Muchlisin saat dihubungi Dialeksis.com, Selasa (8/12/2020).

Kemudian, langkah antisipasi yang umumnya dilakukan para nelayan ini untuk memaksimalkan pendapatan ialah dengan bertani dan berkebun.

Namun, permasalahannya terdapat pada tempo waktu pendapatan yang lama sehingga akan agak sulit bagi para nelayan untuk bertahan sehari-hari.

"Bertani atau berkebun itu perlu waktu untuk panen agar bisa mendatangkan income (pendapatan), sementara untuk kebutuhan sehari-hari ini jadi sulit," jelasnya.

Guru Besar Unsyiah ini mengimbau para nelayan selama pandemi untuk bisa menciptakan lapangan kerja baru, sehingga dapat membantu mereka bertahan dan dapat mendatangkan pendapatan harian.

"Di kondisi ini, para nelayan secara inovatif bisa menciptakan lapangan kerja baru, misalnya jual kue atau buah-buahan, dengan demikian bisa membantu mereka secara finansial walaupun minim," katanya.

Selain itu, bagi para nelayan yang memiliki keterampilan, boleh dimaksimalkan semaksimal mungkin agar mampu mendatangkan upah atau pendapatan harian.

"Seperti nelayan yang punya keterampilan bertukang, mereka bisa memanfaatkan keterampilan itu dengan menjadi buruh bangunan atau keterampilan-keterampilan lainnya supaya bisa menyongsong kehidupan mereka untuk bertahan di tengah pandemi," terangnya.

Selanjutnya, Muchlisin berpesan agar pemerintah mensubsidi para nelayan di saat mereka sedang dalam kondisi sulit.

"Mereka ini harus dibantu, bisa dalam bentuk sembako atau uang tunai," ungkapnya.

"Karena, ada sebagaian nelayan yang meminta pekerjaan kepada orang lain, tetapi tidak ada pekerjaan yang bisa ditawarkan kepada mereka," tambahnya.

Selanjutnya, Dekan FKP ini menjelaskan, dari hasil penelitian, sebagain besar para nelayan Aceh tidak memiliki keterampilan tambahan selain tugas pokoknya sebagai nelayan.

"Sedikit sekali yang punya keterampilan tambahan, mungkin kurang lebih hanya 15 persen saja," katanya.

"Sehingga di saat para nelayan tidak melaut, maka tidak ada sumber pendapatan lain," tambahnya.

Kemudian, Muchlisin berharap pemerintah melatih para nelayan ini dengan keterampilan lain supaya mampu mensejahterakan nelayan dengan membuka sumber pendapatan lain di saat mereka tidak melaut.

Terakhir, Prof Muchlisin berpesan kepada seluruh masyarakat agar bersama-sama mengkampanyekan prokes (protokol kesehatan) supaya dapat memutus mata rantai Covid-19.

"Dampak pandemi ini tidak hanya dialami oleh para nelayan saja, tapi seluruh masyarakat ikut terkena dampaknya. Oleh karena itu, mari sama-sama kita patuhi prokes agar pandemi berhenti, harga ikan jadi stabil dan para nelayan bisa melaut lagi," tutupnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Irpannusir mengatakan, terobosan atau solusi yang bisa pemerintah lakukan untuk mensejahterakan nelayan ialah dengan mengekspor ikan-ikan hasil tangkapan nelayan keluar daerah.

Namun, hal itu akan sangat sulit dilakukan mengingat kondisi dunia sedang dilanda pandemi.

"Bagusnya dengan mengekspor ikan, tetapi akan terganjal sama regulasi selama pandemi," ujarnya.

Ia juga menambahkan, pasokan ikan yang tidak bisa diekspor karena pandemi mengakibatkan harga ikan turun drastis. Dari kejadian ini, banyak nelayan yang akhirnya merubah pola pencahariannya dengan menerjunkan diri ke sawah.

"Banyak nelayan yang lebih memaksimalkan diri dengan jadi petani, karena harga ikan yang sedang murah," jelasnya.

Ketua Komisi II DPRA ini mengimbau agar Pemerintah Daerah serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk mau mencari solusi dari turunnya harga ikan ini. Menurutnya, solusi yang bisa ditawarkan selama pandemi ini ialah dengan mengekspor ke daerah-daerah tengah yang kekurangan ikan atau jauh dari laut.

"Solusi-solusi seperti ini yang harus dicari penyelesaiannya, agar para nelayan bergairah kembali untuk melaut," katanya.

Ia juga mengatakan, sangat sulit untuk mencari solusi dalam pendistribusian ikan di masa pandemi apalagi peredarannya yang sangat terbatas.

"Kalau bukan ke rumah-rumah makan dan masyarakat, kemana lagi?" tanyanya.

"Paling juga dikeringkan dan dijadikan ikan asin, tapi itu pun sangat terbatas," tambahnya.

Selanjutnya, Irpannusir berharap agar Pemerintah Aceh mau memikirkan ini dengan serius dan mencari solusi dari fenomena turunnya harga ikan agar harganya tetap stabil di pasaran.

Demikian sekelumit kondisi nelayan di tengah pandemi. Mulai dari pasar yang lesuh dan menyebab turun harga, sulit beralih profesi karena sudah jadi pekerjaan sejak kecil, hingga butuh rangkulan pemerintah agar bisa tetap survive, baik saat ini maupun saat pandemi berakhir nanti.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda