kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Petani Kopi Gayo Harus Diselamatkan

Petani Kopi Gayo Harus Diselamatkan

Minggu, 22 Maret 2020 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +



DIALEKSIS.COM - Saat dolar menguat, petani Gayo dapat menebarkan senyum. Sumber penghidupan mereka akan dihargai dengan dolar. Nilai jual sumber hidup utama di Gayo, berupa kopi, harganya akan naik, seiring dengan menguatnya dolar.

Namun kali ini, ketika dolar menguat, justru harga kopi turun di pasaran. Petani menjerit. Hanya kalangan koperasi pembeli kopi yang masih menetapkan harga standar. Sementara pedagang dan pengumpul kopi membeli dengan  relatif harga murah.

Biasanya petani menjual kopi kepada toke, untuk gelondongan merah berkisar antara Rp 90 ribu sampai dengan Rp 100 ribu perkaleng, bahkan ada yang lebih, tergantung kualitas kopi. (1 kaleng sama dengan 10 bambu, bila ditakar dengan beras 10 bambu setara dengan 16 kilogram).

Satu kaleng gelondongan merah, bila telah dikupas menjadi gabah akan menghasilkan 4 bambu (itu juga tergantung kualitas kopi). Petani di Gayo ada yang menjual kopinya dalam bentuk gelondongan ada dalam bentuk gabah.

Saat dolar naik diiringi dengan Covid-19, kopi Gayo memasuki masa penghujung panen. Buah yang siap untuk dipetik, jumlah semakin menipis. Karena saat sekarang kopi sedang berbunga lebat dan diperkirakan akan panen besar pada Oktober- hingga Desember.

Saat buah kopi sudah mulai menipis, karena sisa sisa panen besar, justru harganya turun. Petani mencurigai turunya harga kopi karena permainan dagang. Pedagang memanfaatkan moment virus corona, walau dolar menguat.

Kecurigaan petani itu dikuatkan dengan himbauan Bupati Bener Meriah Tgk H Sarkawi. Dia berharap kepada toke kopi (pengumpul) dalam pembelian kopi di petani, tidak  bermain dan memanfaatkan kondisi yang sedang terjadi saat ini.

“Harga pasar masih bagus. Para pengumpul dan petani kopi tidak perlu khawatir. Jangan ada yang memanfaatkan moment ini untuk mengeruk keuntungan dan merugikan petani. Masyarakat juga kami minta jangan panik, kemudian melakukan penimbunan barang dan membeli kebutuhan pokok secara berlebihan ,” sebut Syarkawi.

Benarkah Harga Kopi Turun?

Salah seorang pengusaha yang mengekspor kopi melalui koperasi Ketiara, mengakui harga kopi masih stabil. Harga beli dari petani kopi tidak mengalami penurunan karena virus corona atau menguatnya dolar, karena mereka sudah melakukan kontrak dengan buyer.

“Kami koperasi masih membeli kopi dengan harga standar, sama seperti biasa. Ada 19 desa binaan kami, kalau di luar desa binaan, kami tidak bisa berkomentar soal harga kopi. Yang pasti harga kopi di desa binaan kami masih normal,” sebut Rahmah Ketiara, salah seorang pengelola koperasi kopi, menjawab Dialeksis.com, Minggu (22/03/2020) sore, via selular.

Koperasi Ketiara di Takengon Aceh Tengah,  mengakui membeli kopi gabah Rp 28 ribu sampai Rp 30 ribu perbambu. Satu kaleng gelondong merah, bila dikupas kulitnya (gabah) menghasilkan antara 4 bambu gabah. Otomatis harganya bila dihitung perkaleng antara Rp 115.000 sampai Rp 120.000.

Untuk menjadikan kopi gabah, petani harus mengupas kulit merahnya, membasuh kopi, menjemur (kering air). Namun pihak ketiara tidak membeli kopi dalam bentuk gelondongan, tetapi dalam bentuk gabah.

Nilai beli yang bervariasi itu menurut Rahmah Ketiara, sesuai dengan tingkat terase kopi. Ada kopinya yang baik kualitasnya, terase sedikit, ada juga jumlah terasenya masih lumanyan. Makanya harga kopi itu bervariasi.

“Saya baru mengirim kopi, eskpornya lancar. Ada 3 kontainer yang dikirim,” sebut Rahmah. Ukuran satu kontainer mencapai 18 ton kopi siap ekspor. Pihak Ketiara juga sudah membuat kontrak dengan buyer hingga Mei 2020 untuk tetap mengirimkan kopi.

Pihak koperasi Ketiara, menurut Rahmah, sampai dengan Mei nanti akan mengirimkan beberapa kontainer lagi sesuai permintaan buyer. Di Aceh Tengah dan Bener Meriah cukup banyak koperasi yang sudah menanda tangani kontrak dan buyer. Otomatis harga kopi stabil.

Namun Rahmah mengakui, penikmat kopi di dunia, kini persentase mengalami sedikit penurunan. Adanya musibah dunia berupa corona juga turut mempengaruhi jumlah kopi yang dinikmati. Caffe dan restauran, ada yang tutup. Berkurangnya aktifitas caffe dan restaurant tentunya akan mempengaruhi penikmat kopi.

Bagaimana dengan pemeriksaan pelabuhan saat akan dilakukan ekspor ke luar negeri? “Pemeriksaannya memang kekat, sesuai aturan. Namun pemeriksaan itu tidak menjadi kendala untuk mengirim kopi. Setelah semua tahapan pemeriksaan dijalani, kopi Gayo sudah bisa dikirim, akan menuju luar negeri,” sebut Rahmah.

Pimpinan koperasi yang menaungi 19 desa ini meminta kepada semua pihak untuk melihat fakta soal harga kopi dipasaran. Harga kopi tidak turun, buktinya Ketiara tetap menjualnya dengan harga stabil, karena mereka sudah melakukan kontrak dengan buyer.

“Kalau dikatakan turun, sementara kami membelinya dengan harga standar, bisa salah penafsiran nanti jika pihak buyer melihat informasi ini. Karena disebut turun, lantas pihak buyer akan menurunkan harga, bisa rugi nantinya petani,” jelas Rahmah.

Soal harga kopi yang tetap stabil juga diakui Mohd. Amin, pelaku industri kopi di Bener Meriah. Menurutnya persoalan corona tidak berpengaruh terhadap permintaan ekspor kopi dari dataran tinggi Gayo. Para koperasi sudah menanda tangani kontrak dengan buyer.

“Permintaan kopi masih stabil. Para buyer yang sudah membuat perjanjian dengan koperasi tetap membeli kopi sesuai dengan harga dalam kontrak. Menguatnya dolar, tidak tertutup kemungkinan harga kopi akan ikut naik,” sebutnya.

Kendala dilapangan saat ini bagi para pengekspor kopi, adanya keterlambatan pengiriman, karena harus melalui proses pemeriksaan, ditambah lagi negara negara penerima kopi sedang memberlakukan lockdown.

kopi Koperasi ketiara yang siap untuk diekspor.

Siapa yang Bantu Petani?

Walau pihak koperasi yang sudah menanda tangani kontrak dengan buyer dan sudah  menjelaskan tidak ada persoalan dengan harga kopi, namun petani di Gayo menjerit. Harga kopi turun. Koperasi, seperti penjelasan Rahmah Ketiara hanya “mengurus” desa binaanya.

Demikian dengan koperasi yang lainya, juga melakukan pembelian kopi dari kawasan binaan mereka. Pihak koperasi tidak membeli kopi dari petani diluar binaan. Petani diluar binaan ini menjual kopinya kepada para pedagang.

Bahkan disaat hingar bingar corona, ada beberapa pedagang (toke) yang sudah tidak membeli kopi dari petani. Dari penjelesan beberapa petani, para pedagang beragumen, penampung kopi di Medan (toke besar) kesulitan memasarkan kopi, karena negara penerima kopi terserang wabah corona.

“Bagi pedagang yang membelinya, justru harganya murah. Turun dari harga biasa. Pedagang ini mengakui uangnya tidak berputar. Toke di Medan juga ada yang menahan, tidak membeli kopi  untuk sementara,” sebut salah seorang petani yang ditemui Dialeksis.com, mengutip keterangan toke.

Bagi toke kecil, pengumpul kopi dengan modal yang tidak banyak, melihat perkembangan dunia saat ini ada yang tidak berani membeli kopi dari petani. Selain masih sulit menjualnya dengan patokan harga dari toke Medan,  para toke takut uangnya terpendam.

“Kami lihat situasi dalam membeli kopi dari petani. Kalau masih susah dijual kepada toke “besar”, kami tidak membelinya. Kalau kami beli, lantas bagaimana kami menghidupi keluarga, uang kami tidak berputar. Menurut info, dalam pekan ini sudah ada jawaban dari pengusaha kopi di Medan. Kita doakan semuanya lancar,” sebut salah seorang pengumpul kopi yang namanya enggan disiarkan.

Petani yang tidak masuk dalam binaan koperasi saat seperti ini, bagaikan ayam kehilangan induk. Mereka harus menentukan nasib sendiri, menjual kopi sesuai dengan harga yang ditetapkan para toke. Mereka harus menjualnya demi bertahan hidup.

“Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi. Saat harga kopi anjlok, para petani dapat menyimpanya di resi gudang. Nanti ketika harga kopi sudah normal, baru dijual,” sebut Shabela Abubakar, Bupati Aceh Tengah, menjawab Dialeksis.com, Minggu sore (22/03/2020) via selular.

Bagaimana petani bisa bertahan hidup, bila kopinya tidak dijual? “Petani yang mengudangkan kopinya di resi gudang, dapat mengambil uang di Bank BRI atau Bank Aceh. Nanti ketika kopinya dijual, uang yang diambil dari bank dikembalikan,” sebut Shabela.

Untuk itu petani harus membentuk kelompok, membentuk koperasi. Aturan main harus diikuti. Ketika kopi disimpan di resi gudang dan sudah ada jaminan, tidak ada lagi istilah petani tidak dapat mengambil uang di bank.

“Kita sudah punya resi gudang. Pihak BRI sudah menyetujui system resi gudang dalam membantu petani. Penuhi persyaratanya, insya Allah harga kopi akan stabil, bila harga sudah membaik baru dijual. Demikian dengan Bank Aceh, kami juga meminta perhatianya kepada petani, jangan dibiarkan petani kopi menderita,” pinta Shabela.

“Resi gudang harus dimanfaatkan saat saat seperti ini. Petani juga harus membentuk kelompoknya dalam mengumpulkan kopi. Persyaratan untuk itu harus dipenuhi. Pihak bank harus membantu,” jelas bupati.

Selama ini petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah, masih banyak yang tidak masuk dalam koperasi. Petani yang tidak tergabung dalam koperasi , menjual kopi secara pribadi dalam bentuk kopi gelondongan merah dan gabah.

Bila bergabung dengan koperasi, penjualan gelondongan merah tidak terjadi. Pihak koperasi membeli kopi dalam bentuk gabah. Ada ada koperasi yang membelinya dalam bentuk gelondongan, kemudian menggilingnya menjadi gabah. Kopi dalam bentuk gabah dan kering gading (biji) akan bertahan lama ketika disimpan.

Pihak koperasi yang mengekspor kopi tidak ada masalah dengan harga. Mereka tetap mengirimkan kopi sesuai dengan kontrak yang sudah mereka sepakati dengan buyer masing- masing. Ketika harga kopi dunia stabil dan pihak koperasi sudah ada kontrak dengan buyer, nilai yang didapat petani tidak turun.

Kopi tetap diekspor dengan stabil. Intinya pengurus koperasi jujur dalam persoalan harga dan kompensasi lainya (fremium) kepada petani. Karena koperasi ini hidup dari kumpulan petani.

Kopi Gayo harganya sangat ditentukan dolar. Karena diekspor ke penjuru dunia, ukuran nilai tukarnya dolar. Ketika dolar menguat, harga kopi juga akan naik. Pengalaman tahun 1997-1998 ketika negeri ini dilanda krisis moneter, petani Gayo yang mengandalkan kopi justru dapat berkah.

Namun kini disaat dolar menguat, dan hiruk pikuk corona, ada yang membeli kopi dari petani dengan harga lebih murah dari biasa. Hanya petani dalam jaringan koperasi yang menjual kopi ke luar negeri, nilai belinya tetap stabil.

Petani kopi di Gayo harus diproteksi, ketika harga anjlok dipasaran mereka harus tetap bisa bertahan. Caranya dengan ikut dalam koperasi atau mendirikan kelompok tani, kemudian memanfaatkan resi gudang. Ketika normal baru dijual kembali.

Saran bupati ini, apakah mudah dijalankan? Masih banyak petani yang belum tergabung dalam kelompok atau koperasi. Kini kembali kepada petani (yang belum ada kelompok tani, atau koperasi) apakah mereka akan membentuk kelompok atau koperasi.

Buktinya mereka yang tergabung dalam koperasi pengekspor kopi, tidak ada persoalan dengan harga ketika wabah corona merayap ke penjuru dunia. Seperti dijelaskan para pimpinan koperasi pengekspor kopi. Hanya prosesnya yang sedikit membutuhkan waktu, harus menjalani pemeriksaan sesuai SOP.

Pemerintah (semua pihak, khususnya koperasi yang telah aktif) harus memberi pencerahan, agar petani di Gayo mampu bertahan saat krisis. Bila tidak bergabung dengan koperasi, minimal petani harus mampu memanfaatkan resi gudang yang sudah ada. Kekuatan kelompok petani harus dibangun, agar ketika ada persoalan mereka menjadi kuat.

Namun Apakah seluruh petani di Gayo memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan ini? Sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam memproteksi petaninya untuk mandiri. Regulasi untuk menyelamatkan petani kopi belum ada.

Bila hanya menyerahkan kepada petani untuk membentuk kelompok atau koperasi, tidak semua petani mampu melakukannya. Pemerintah harus terlibat membina mereka.

Gayo merupakan lumbungnya kopi, pemerintah harus memastikan petaninya tergabung dalam koperasi atau kelompok. Belajarlah dari pengalaman. Ketika harga kopi dunia turun, petani harus mampu diselamatkan. Cafein itu bisa disimpan, menunggu stabilnya harga.

Demikian ketika harga stabil, petani dapat menikmati hasil tetesan keringatnya. Tidak ada petani yang harus menjadi korban. Nilai jualnya seragam, seperti yang dilakukan koperasi yang sudah menanda tangani kontrak dengan para buyer.

Demikian ketika harga stabil, petani dapat menikmati hasil tetesan keringatnya. Tidak ada petani yang harus menjadi korban. Nilai jualnya seragam, seperti yang dilakukan koperasi yang sudah menanda tangani kontrak dengan para buyer.

Gayo memiliki kebun kopi mencapai mendekati angka 100.000 hektare(tersebar di Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues). Mayoritas jenis kopi arabika. Rata “rata produksinya dalam setahun 700-800 kilogram/ hektare. Kualitas kopi dari dataran tinggi dalam pelukan gunung ini sudah diakui dunia. (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda