Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Perdagangan Orang Membuat Aceh Riuh

Perdagangan Orang Membuat Aceh Riuh

Jum`at, 10 Januari 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Ilustrasi perdagangan orang, TPPO. [Foto: kompas]

DIALEKSIS.COM | Indepth - Rakyat Aceh jadi incaran perdagangan manusia? Rasanya tidak mungkin, tapi faktanya ada rakyat Aceh yang dijadikan sebagai lahan bisnis untuk diperdagangkan.

Terselamatkan seorang anak Aceh di Bandara Soekarno Hatta yang akan terbang ke Balik Papan, membuat pembahasan tentang perdagangan orang menghangat di ujung barat Pulau Sumatera ini.

Anak dari Aceh Besar yang baru berusia 13 tahun ini terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Balik Papan, namun kesigapan polisi diwaktu yang tepat, berhasil menyelamatkannya.

Sebelumnya, warga Aceh juga menjadi korban TPPO di Malaysia. Aceh juga dijadikan sebagai kawasan transit TPPO dari pengungsi Rohingnya. Ramainya kasus TPPO membuat banyak pihak menaruh perhatian dan memberikan pernyataan.

Bagaimana dan mengapa kasus ini terjadi, apa yang harus dilakukan agar kasus yang sama tidak terulang kembali? Dialeksis.com meminta keterangan sejumlah pihak, apa dan bagaimana Aceh ke depan dalam menangani TPPO.

TPPO Anak di bawah Umur

Kasus ini mencuat kepermukaan setelah Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Aceh berhasil menggagalkan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan korban anak di bawah umur.

Pihak polisi melakukan operasi di Digital Airport Hotel, Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, pada Selasa, 7 Januari 2025. Sebelumnya, Polda Aceh bekerja sama dengan Polresta Banda Aceh telah berhasil menyelamatkan seorang anak korban TPPO yang berada di Malaysia.

Menurut Dirreskrimum Polda Aceh, Kombes Ade Harianto menjelaskan, korban adalah seorang anak berusia 13 tahun yang berasal dari Aceh Besar. Berdasarkan informasi awal, korban diketahui telah berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Aceh Besar, menuju Balikpapan. Tiket peswat korban dipesan olah pihak tak dikenal.

"Keluarga korban datang ke SPKT Polda Aceh melaporkan kehilangan korban pada Senin, 6 Januari 2025,” jelas Kombes Ade Harianto kepada media.

Menurutnya, Ibu korban yang membuat laporan sempat pingsan karena cemas memikirkan keberadaan anaknya yang tidak diketahui usai jam pulang sekolah. 

"Setelah menerima laporan, penyidik segera bergerak cepat untuk melacak keberadaan korban," kata Ade Harianto, dalam keterangannya.

Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, keberadaan korban upaya perdagangan anak berhasil dilacak di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Polisi bergerak cepat. Tanggap dan langkah cepat penyidik, korban berhasil ditemukan di Digital Airport Hotel Soekarno Hatta, Jakarta (Capsule Hotel), saat menunggu arahan untuk diberangkatkan ke provinsi lain," ujar Ade Harianto.

Dalam penjelasanya ke penyidik, korban dihubungi oleh seseorang yang tidak dikenalnya untuk melakukan perjalanan ke Balikpapan. Orang tersebut telah memesan tiket pesawat dan penginapan serta memberikan arahan terkait keberangkatan korban.

"Penyidik berhasil menemukan korban tepat waktu. Jika terlambat beberapa saat saja, kemungkinan besar korban akan sulit dilacak keberadaannya," jelas Ade.

Korban TPPO ini telah dibawa kembali ke Aceh melalui Bandara Soekarno-Hatta. Penyelidik sedang mendalami dan mengembangkan kasus ini, khususnya keterlibatan jaringan TPPO yang mengatur perjalanan korban ke Balikpapan.

Sebagai langkah preventif, Kombes Ade Harianto mengimbau kepada masyarakat Aceh, terutama para orang tua, agar selalu meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Hal ini penting untuk melindungi mereka dari berbagai tindak kejahatan, khususnya kasus perdagangan orang yang semakin marak terjadi.

Perdagangan Etnis Rohingya

Bumi Aceh kembali menjadi sasaran sebagai tempat transit perdagangan orang. Keberadaan imigran etnis Rohingya Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada Oktober 2024 merupakan kejahatan TPPO.

"Keberadaan imigran etnis Rohingya di perairan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, murni tindak pidana perdagangan manusia," kata Kepala Bidang Humas Polda Aceh Kombes Pol. Joko Krisdiyanto dalam keterangnya kepada media.

Menurutnya, tindak pidana perdagangan orang ini diperkuat dengan ditangkapnya tiga terduga pelaku penyelundupan manusia berinisial F (35), A (33), dan I (32). Selain itu, delapan orang lainnya juga masih dalam pengejaran petugas.

Joko Krisdiyanto mengatakan, pengungkapan kasus tersebut bermula dari ditemukannya mayat perempuan di sekitar perairan Pelabuhan Labuhan Haji, pada Kamis (17/10/2024). Sehari setelahnya ada laporan masyarakat, bahwa satu unit kapal motor yang terombang-ambing sekitar empat mil laut dari pantai Labuhan Haji.

"Setelah diselidiki, ternyata ada 150 orang imigran etnis Rohingya di kapal tersebut, di mana tiga orang di antaranya meninggal dunia," kata Joko Krisdiyanto.

Setelah penyelidikan mendalam, jelasnya, imigran etnis Rohingya tersebut diketahui berangkat antara 9 hingga 12 Oktober 2024 dari Cox's Bazar, tempat pengungsian di Bangladesh, ke Laut Andaman.

"Kemudian, mereka berlayar dari Laut Andaman menuju perairan Labuhan Haji setelah dilansir ke kapal nelayan KM Bintang Raseuki," kata Joko Krisdiyanto.

Penjelasan secara mendetil tentang imigran Rohingnya ini disampaikan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Kombes Pol Ade Harianto. Dijelaskan, KM Bintang Raseuki dibeli oleh terduga pelaku dengan harga Rp580 juta.

Kapal motor kayu pengangkut imigran Rohingnya ini milik warga Labuhan Haji, Aceh Selatan, berinisial H. di dalam kapal ada 216 orang. Mereka diduga membayar sejumlah uang sebagai biaya untuk keberangkatan ke negara tertentu.

"50 orang di antaranya diduga berhasil menuju ke Pekanbaru, Riau, dengan biaya Rp20 juta Mereka dilansir dari Laut Andaman untuk dibawa ke daratan. Ini mempertegas bahwa ini murni tindak pidana perdagangan orang atau manusia," kata Ade Harianto.

Jadi Persoalan Serius

Fenomena Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Aceh kembali mencuat ke permukaan, membuat berbagai pihak bukan hanya sekedar prihatin. Namun mereka berharap dan memberikan solusi agar kasus ini tidak terulang kembali di masa mendatang.

Apa pendapat para pengambil kebijakan dan pemerhati persoalan di Aceh dalam menyikapi persoalan ini? Dialeksis.com meminta keterangan berbagai pihak.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, Akmil Husen SE MSi, mengatakan pihaknya terus bekerja sama dengan BP3MI Aceh (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) di Aceh untuk mengatasi masalah ini.

“Kami selalu berkolaborasi dengan BP3MI Aceh untuk melakukan advokasi terkait kasus TPPO, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bahaya bekerja diluar negeri secara unprosedural,” ujarnya kepada Dialeksis.

Akmil menjelaskan bahwa selain melalui sosialisasi Disnakermobduk Aceh juga berfokus pada penyiapan dan peningkatan keterampilan masyarakat agar tidak bergantung pada migrasi ke luar negeri.

“Kami memberikan pelatihan keterampilan untuk membantu masyarakat membuka usaha atau bekerja secara mandiri, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Melalui pelatihan dan pemagangan, kami ingin agar mereka bisa bekerja di Aceh atau di luar Aceh sesuai dengan skill yang dibutuhkan perusahaan,” tambahnya.

Dalam upaya menciptakan lapangan kerja yang aman, Dinas Tenaga Kerja Aceh juga berperan aktif memfasilitasi akses kepada perusahaan yang memenuhi standar ketenagakerjaan yang sehat dan legal.

Akmil berharap, dengan langkah-langkah tersebut, TPPO di Aceh bisa ditekan dan masyarakat lebih mandiri secara ekonomi, tanpa harus terjebak dalam jebakan perdagangan manusia.

Bagaimana pendapat Muhammad Fahry, Manager Program Katahati Institute/Sahabat Saksi Korban (SSK) Aceh. Pihak sangat prihatin atas semakin banyaknya kasus yang melibatkan anak-anak, khususnya di Aceh.

“Kasus seperti ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap pergerakan warga, tetapi juga menunjukkan betapa rentannya anak-anak kita menjadi korban sindikat kejahatan transaksional. Kita harus mendesak adanya upaya yang lebih serius dalam pencegahan dan penanganan TPPO di tingkat lokal dan nasional,” ujar Fahry.

Menurut Fahry, fenomena TPPO di Aceh sering kali berkaitan dengan faktor ekonomi dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang ancaman yang mengintai.

“Banyak warga yang tertarik dengan janji pekerjaan menggiurkan di luar negeri atau kota besar, namun tidak memahami risiko yang mereka hadapi. Oleh karena itu, edukasi dan kesadaran tentang bahaya TPPO perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah yang rawan,” tambahnya.

Fahry juga menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk memberantas TPPO.

"Pencegahan lebih efektif jika melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari keluarga hingga instansi terkait. Kita harus memastikan bahwa anak-anak dan orang dewasa tidak jatuh ke dalam jebakan sindikat perdagangan orang," ungkapnya.

“Kejadian TPPO di Aceh menjadi pengingat bagi kita semua tentang urgensi melawan TPPO yang terus mengintai, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak. Penanganan kasus ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi upaya pemberantasan perdagangan orang di Indonesia,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala UPT Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Wilayah Aceh, Siti Rolijah, mengungkapkan bahwa maraknya kasus TPPO yang melibatkan anak di bawah umur disebabkan oleh beberapa faktor.

“Pengawasan orang tua sebagai penyebab utama. Anak-anak yang menjadi korban TPPO, baik di dalam maupun luar negeri, sering berasal dari keluarga yang kurang harmonis, sehingga mereka mudah dibujuk rayu oleh calo ilegal," ujar Siti kepada Dialeksis, Kamis (9/1/2025).

Ia juga menambahkan bahwa ketidaktahuan masyarakat tentang persyaratan yang telah diatur pemerintah, seperti persyaratan usia minimal 18 tahun untuk bekerja ke luar negeri, turut memperburuk situasi.

Selain itu, kata dia, faktor kesulitan ekonomi yang berlarut-larut dan tuntutan gaya hidup yang tinggi membuat anak-anak di bawah umur mudah tergiur oleh iming-iming gaji besar dari pekerjaan di luar negeri.

Kondisi ini semakin memperburuk rentannya anak-anak yang menjadi target sindikat perdagangan manusia.

BP3MI Aceh, sebutnya, terus melakukan upaya preventif untuk menangani kasus TPPO, terutama yang melibatkan anak-anak. BP3MI secara masif memberikan sosialisasi dan edukasi melalui media daring dan luring kepada lembaga pemerintah, swasta, serta lembaga pendidikan terkait peluang dan prosedur bekerja ke luar negeri.

"Kami memberikan informasi akurat kepada masyarakat, khususnya siswa SMA/SMK, mengenai prosedur dan persyaratan untuk bekerja ke luar negeri, sebagai bentuk pencegahan dini agar mereka tidak menjadi korban TPPO," jelasnya.

BP3MI juga aktif menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi terkait prosedur bekerja ke luar negeri.

Dalam upaya penanggulangan TPPO, BP3MI Aceh bekerja sama dengan berbagai instansi dan stakeholder terkait, seperti DP3A Aceh, Dinas Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, Polda Aceh, Imigrasi, Yayasan Geutanyoe, dan lembaga lainnya, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

BP3MI Aceh juga menjadi bagian dari Gugus Tugas TPPO Aceh, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 260/936/2022. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, menurutnya, sangat penting dalam memerangi TPPO dan memastikan perlindungan pekerja migran Indonesia, khususnya dari Aceh.

Sementara itu,Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh, Habibi Inseun, menjelaskan beberapa faktor utama yang mendorong maraknya TPPO di Aceh, terutama yang melibatkan anak di bawah umur.

"Pertama, rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu penyebab utama. Banyak masyarakat yang belum memahami isu-isu terkait TPPO. Ketika mereka menerima tawaran atau rayuan, dengan mudah mereka terjerumus dalam jebakan perdagangan manusia," ujar Habibi kepada Dialeksis, Rabu (8/1/2025).

Selain itu, kata dia, faktor ekonomi turut berperan penting dalam maraknya fenomena ini. Masyarakat, terutama yang kurang mampu, mudah tergiur dengan tawaran-tawaran yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama sejak usia sekolah menengah atas (SMA). Anak-anak perlu diberikan edukasi yang jelas tentang pekerjaan dan potensi risiko yang mengintai," jelasnya.

Selain itu, upaya peningkatan lapangan pekerjaan juga menjadi solusi yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Jika lapangan kerja tersedia, maka mereka tidak akan mudah tergiur dengan janji-janji manis dari pihak yang tidak bertanggung jawab," kata Habibi.

Penting juga, menurutnya, untuk meningkatkan pengawasan terhadap pintu-pintu keluar masuk wilayah Aceh. Semua perjalanan yang melibatkan warga harus jelas tujuannya, untuk meminimalisir adanya praktik TPPO.

"Pastikan tujuan bekerja jelas dan terjamin. Kedua, penting adanya perlindungan dari pemerintah terhadap tenaga kerja, serta perhatian terhadap kehidupan mereka di luar negeri. Negara harus memastikan bahwa orang yang menganggur tetap diberi kompensasi agar bisa bertahan hidup," sebut Habibi .

Regulasi yang dibangun oleh negara maju bisa menjadi contoh bagi Aceh. "Jika kita meniru ketentuan dan regulasi yang sudah teruji di negara maju, kita dapat menciptakan sistem yang lebih baik dalam mencegah kasus TPPO," kata Habibi.

Ulama

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali, turut angkat bicara terkait fenomena yang terus meresahkan masyarakat ini. Ia menilai, masalah TPPO harus ditangani dengan pendekatan yang menyeluruh, baik dari sisi hukum, sosial, maupun agama.

“Perdagangan orang adalah kejahatan kemanusiaan yang melanggar ajaran Islam dan nilai-nilai moral. Ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga cerminan lemahnya kesadaran agama dan pengawasan sosial di tengah masyarakat kita,” ujar Tgk. Faisal Ali kepada media Dialeksis, Rabu (8/1/2025).

Menurutnya, faktor utama yang mendorong terjadinya TPPO di Aceh, yaitu kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lemahnya pengetahuan masyarakat tentang modus operandi sindikat perdagangan orang.

“Banyak warga tergiur dengan janji pekerjaan di luar negeri atau kota besar, tetapi mereka tidak menyadari ancaman yang mengintai. Inilah yang harus menjadi fokus perhatian kita bersama,” tegasnya.

Tgk. Faisal Ali juga menyerukan pentingnya sinergi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan tokoh agama untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Ia menekankan bahwa pencegahan TPPO harus dimulai dari penguatan pendidikan agama dan moral di keluarga serta komunitas. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pemberdayaan dan penguatan ekonomi, memperkuat basis data administrasi dan musyawarah pada tingkat gampong dan keluarga.

“Ulama harus lebih aktif memberikan nasihat kepada masyarakat, terutama di pedesaan yang sering menjadi target para pelaku TPPO. Kita juga perlu melibatkan masjid dan lembaga pendidikan dalam memberikan edukasi tentang bahaya TPPO,” katanya.

Lebih lanjut, Tgk. Faisal Ali mendorong pemerintah Aceh untuk memperkuat regulasi dan kebijakan terkait pemberantasan TPPO.

“Kita butuh langkah tegas dan nyata, termasuk memberikan sanksi berat kepada para pelaku agar ada efek jera. Selain itu, koordinasi lintas lembaga harus diperkuat untuk melacak dan membongkar jaringan perdagangan orang yang ada di Aceh,” tambahnya.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk lebih waspada dan segera melapor jika menemukan indikasi adanya praktik TPPO di sekitar mereka.

“Ini adalah tanggung jawab bersama. Jangan sampai anak-anak kita, generasi penerus Aceh, menjadi korban kejahatan keji seperti ini,” tutup Ketua MPU Aceh Tgk. Faisal Ali.

Persoalan perdagangan manusia, khususnya di Aceh harus diantisipasi. Jangan setelah adanya kejadian baru semua pihak “sibuk” mencari jurus. Persoalan anak bangsa adalah persoalan bersama. Untuk itu seperti harapan semua pihak, mari membentengi diri dan masyarakat, agar kasus serupa tidak terulang kembali. [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI