Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Pengakuan Seorang Teroris Asal Bireuen (bagian 2)

Pengakuan Seorang Teroris Asal Bireuen (bagian 2)

Sabtu, 26 Mei 2018 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Aznawi - facebook


Apa itu teroris? Baik, sekarang saya bagikan sedikit pengalaman yang pernah saya alami (berkaitan dengan teroris, tsb). Nama saya Azwani. Saya berasal dari sebuah desa di Kabupaten Bireuen, provinsi Aceh. Saya akan membagikan informasi mengenai sepak terjang kelompok teroris di Indonesia.

Pada tahun 2009 saya pernah bergabung dengan salah satu kelompok teroris. Jadi, saya banyak mendapatkan pelajaran yang mesti saya sampaikan kepada saudara-saudara semua. Pesan saya, janganlah saudara-saudara bergabung dengan kelompok yang menamakan diri kelompok Jihad Islamiah atau kelompok sejenis yang berkaitan dengan teroris karena itu merupakan jebakan yang nyata.

Berdasarkan pengalaman saya, selama bergabung dengan kelompok teroris tersebut, jelas terlihat bagaimana doktrin "ideologi" teror tersebut disebarluaskan. Paham tersebut sesungguhnya sangat kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Namun, akibat iming-iming dikirim ke sana-kemari dan khayalan tentang imbalan surga, sebagian orang untuk tertarik untuk bergabung. Meskipun, sekali lagi, semua itu hanyalah proyek orang-orang besar yang ingin mengambil keuntungan.  

Setelah bergabung barulah saya mengetahui bahwa yang merekrut kami adalah anggota Korps Brigade Mobil (Brimob) yaitu Sofyan Atsuri. Saat itu sering diadakan latihan militer dalam komplek Mako Brimob di kawasan Kelapa Dua, Depok yang membuat kami mahir dalam menembak, baik jarak dekat maupun jauh.

Sepulang latihan, kami biasanya pulang ke rumah kontrakan. Kadang-kadang kami pulang ke rumahnya (kemungkinan yang dimaksud di sini adalah rumah Sofyan Atsuri-red) yang letaknya tidak begitu jauh dari Mako Brimob. Hanya saya yang pulang searah dengan rumah Sofyan.

Sebelum bercerita lebih jauh, perlu saudara-saudara ketahui, kami pada dasarnya adalah korban. Sama halnya dengan para teroris yang baru-baru ini melakukan bom bunuh diri sebagai amaliah istisyhadiyah (amalan syahid versi penganut paham teroris).

Saya lanjutkan kisah saya. Setelah mengetahui bahwa Sofyan merupakan anggota Brimob, saya menyampaikan kepada saudara-saudara semua baik di Aceh maupun wilayah lainnya (baik yang sudah terlibat kegiatan teroris maupun bagi yang baru berminat untuk bergabung) agar berhenti mengikuti jebakan ini. (Yaitu) jebakan dari para penguasa yang haus akan materi (dengan mengajak orang-orang bergabung ke dalam kelompok teroris tersebut).

Setelah saya menyampaikan pesan tersebut, sebagian besar teman saya dari Aceh maupun daerah lainnya memutuskan keluar dari kelompok teroris tersebut. Namun, ada juga yang tak ingin keluar dengan alasan khawatir dianggap munafik karena membelot dan keluar dari kelompok/jamaah.

Meskipun demikian, saya tetap berusaha meyakinkan mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Bahkan saya katakan kepada mereka agar tidak usah menghiraukan nasib dan keselamatan saya. Bagi saya, yang terpenting adalah mereka tidak boleh terus-menerus terjebak dalam kelompok berpaham teroris tersebut.

Setelah sekian lama, saya turut pulang ke Aceh menyusul rekan-rekan saya yang sudah lebih dulu pulang ke Aceh. Tak lama kemudian, saya dipanggil ke daerah Lhokseumawe untuk bertemu dengan Sofyan. Ternyata kedatangan Sofyan adalah untuk membujuk saya agar mau melatih para kader teroris baru dari pulau Jawa dan Sumatera. Saya berulang kali menolak, namun akhirnya saya terpaksa mengiyakan.

Diam-diam saya selalu berusaha menyampaikan tipu muslihat Sofyan dkk serta mengajak para peserta pelatihan untuk keluar dari kelompok tsb. Ternyata, para peserta tidak mempercayai cerita saya. Ini menguatkan dugaan saya bahwa sebelum datang ke Aceh mereka sudah terlebih dulu didoktrin sehingga mereka hanya taat dan percaya kepada Sofyan yang telah didaulat sebagai imam/pimpinan mereka. Saya memahami hal ini karena saya dulunya juga korban (indoktrinasi paham teroris) seperti mereka. Seminggu kemudian, saya kembali ke kampung halaman saya.

Tidak berapa lama setelah peristiwa tersebut, saya dipanggil kembali ke Lhokseumawe dan diangkat menjadi Panglima Al-Qaida untuk wilayah Batee Iliek yang termasuk wilayah Kabupaten Bireuen. Jadi, saya diangkat menjadi semacam Bupati-lah di organisasi terlarang tersebut.

Setelah pelantikan itu, saya kembali ke kampung halaman saya di Bireuen. Kemudian datanglah beberapa orang teman yang ingin bergabung (dengan kelompok teroris tsb). Saya menghardik mereka sambil menanyakan bahwa apakah mereka ingin mati konyol. Setengah mengancam, saya katakan jika saya temukan mereka di atas (lokasi pelatihan), maka merekan akan saya usir.

Tentu saja para "anggota" baru ini kebingungan terhadap sikap saya. Saya menerangkan kepada mereka bahwa keberadaan saya yang memutuskan tetap berada di kelompok tersebut adalah untuk mencegah orang-orang yang ingin bergabung dengan kelompok teroris tersebut. Saya rela menjadi korban asalkan orang-orang terselamatkan. Syukur alhamdulillah, akhirnya mereka tidak jadi bergabung dengan kelompok teroris tsb.

Tidak begitu lama berselang, Sofyan kembali datang dari Kramat Jati untuk mengajak kami melihat-lihat tempat pelatihan baru yang sudah dibuka di daerah Sarah, Jantho, Aceh Besar. Di sana saya melihat ada

Dulmatin, Sofyan dan Abdurrahman. Ada pula yang ahli granat, dll. Jadi, didoktrinlah para peserta/laskar dengan doktrin-doktrin ekstrimis yang menurut saya sangat jauh menyimpang dari ajaran Islam. Saya semakin pusing melihat peristiwa tersebut dan mengajak teman-teman yang lain untuk meninggalkan kelompok tersebut.

Sekitar 12 orang kawan-kawan dari Aceh yang bersama-sama dengan saya bersedia mengikuti jejak langkah saya. Latar belakang saya yang lulusan pesantren membuat teman-teman tersebut mempercayai saya. Kami bermusyawarah dan sepakat untuk memisahkan diri dari kelompok. Adapun lokasi persembunyian kami letaknya kira-kira 200 km dari lokasi kami pada mulanya dan 40 km dari Jalan Raya Banda Aceh-Medan. Kami mendirikan kamp di tempat tersebut.

Setelah shalat Ashar ketika, kami kembali bermusyawarah untuk menentukan langkah selanjutnya. Kami bersepakat untuk melawan apabila kami ditemukan oleh kelompok teroris tersebut. Meskipun mengatasnamakan jihad, namun jihad yang diajarkan oleh kelompok teroris tersebut sangat biadab, tidak berperikemanusiaan.

Setelah dua hari kami mengasingkan diri di hutan belantara tersebut, tiba-tiba kami dikejutkan oleh Sofyan bersama-sama dengan tujuh orang temannya yang menyatakan ingin bergabung bersama kami. Kami mempersilakan saja sambil tetap waspada dan memperingatkan mereka untuk tidak berkelakuan seperti saat masih di lokasi pelatihan.

Usut punya usut, dari penjelasan salah seorang pengikutnya, Sofyan ketika itu bermasalah dengan Dulmatin. Kalau tidak salah, pengikutnya ini berasal dari Padang. Selain dia, ada pula pengikut Sofyan yang mengaku sepupu dari Shireen Sungkar, istri Teuku Wisnu yang juga pemeran sinetron Cinta Fitri. Ada pula di antara pengikut Sofyan yang mengaku lulusan perang Moro.

Tidak lama kami berbincang-bincang, Sofyan dan pengikutnya mengajak kami membongkar makam 8 syuhada pahlawan Aceh saat berperang melawan Belanda yang sudah dipugar. Hal ini menyebabkan kami secara spontan untuk memberontak terhadap ajakan tersebut, apalagi secara persenjataan kami lebih unggul. Kelompok kami berbekal 11 pucuk senjata laras panjang jenis AK 47 dan AK 56, sedangkan Sofyan dan pengikutnya hanya membawa 3 pucuk pistol col.

Setelah insiden pemberontakan tersebut, tiba-tiba si Sofyan menghilang bersama seorang pengikutnya. Atas bantuan informasi dari masyarakat, tahulah kami bahwa ternyata Sofyan diam-diam melaporkan keberadaan lokasi persembunyian kami kepada kantor Polsek setempat.

Keesokan harinya, kami diserang oleh aparat tapi alhamdulillah di antara kami hanya luka biasa saja bukan luka bekas tembakan hingga akhirnya kami 12 orang seluruhnya keluar dari lokasi tersebut dalam keadaan selamat. Namun anehnya saat sampai di jalan raya, hanya tersisa saya dan seorang teman dari Aceh Timur. Sementara 10 orang lainnya tidak diketahui bahkan tidak saya peroleh kabarnya hingga sekarang.

Sekitar dua minggu setelah penyergapan tersebut, saya kembali ditangkap oleh aparat. Kebetulan penyidiknya bersama-sama dengan Kapolres yang menurut saya sangat baik. Lagipula, penyidik adalah orang kampung saya.

Setelah selesai pemeriksaan Bapak Penyidik memutar video tentang si Sofyan yang ternyata membuktikan ucapan saya bahwa Sofyan adalah intelejen/intel yang mengurusi bidang terorisme. Makanya, tidak heran, jika Sofyan yang merekrut semua teroris tersebut. Hal ini sama halnya dengan bunyi peribahasa maling teriak maling. Di samping itu, Sofyan juga tampaknya sangat membenci saya karena saya banyak melarang orang-orang untuk bergabung dengan kelompok teroris.

Singkat cerita, saya kemudian dijerat bukan dengan pasal terorisme tapi atas dasar mencoba menyimpan dan menguasai senjata api dan bahan peledak lainnya. (Semua tuntutan tersebut sebagai konsekuensi dari sikap saya) karena saya berbicara atas kejujuran.

Hingga 2 tahun yang lalu, tepatnya pada malam 12 Ramadhan datang orang-orang dari Mabes Polri untuk meminta keterangan dari saya. Tetapi saya, sebagaimana sikap saya sejak dulu, tetap bersikeras bahwa kami merupakan (korban) yang dijebak oleh si Sofyan. Atas sikap saya ini saya pun tidak jadi dipanggil kembali ke Jakarta.

Demikianlah. Hanya ini yang dapat saya informasikan kepada kawan-kawan semua agar jangan sampai terjebak dalam kolom terorisme karena kita diperalat oleh orang yang ingin menghancurkan Islam dengan cara merekrut orang-orang Islam yang sedikit pengetahuannya (ke dalam kelompok teroris).

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang saya dapat dicari di situs mesin pencari google dengan kata kunci pencarian "azwani teroris". (Sumber)


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda