Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Nasib Petani Kopi Gayo Disaat Pandemi, Dimana Pemerintah?

Nasib Petani Kopi Gayo Disaat Pandemi, Dimana Pemerintah?

Kamis, 10 September 2020 10:45 WIB

Font: Ukuran: - +


Banyak keunggulan Kopi Gayo sehingga digemari dunia. Bukan hanya persoalan biji, namun di dalam kopi yang tumbuh di pengunungan wilayah tengah Aceh ini ada persoalan citarasa dan aroma. Rasanya khas, sulit dicari bandinganya. Persoalan aroma dan cita rasa inilah menjadikan kopi Gayo diincar dunia.

Namun dalam masa pertarungan dengan corona ini, nasib petani kopi Gayo memprihatinkan. Harga jual rendah. Tidak semua kopi Gayo yang dihasilkan petani terjual. Hasil panen tahun lalu misalnya (2019), diperkirakan masih ada 30 persen kopi yang menumpuk di gudang.

Menurut perkiraan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, ada 16.500 ton kopi yang menumpuk di gudang masyarakat, belum dipasarkan. Jumlah itu akan semakin menumpuk di tahun ini, karena negeri di atas awan itu akan memasuki panen panen raya.

Panen raya kopi akan berlangsung Oktober sampai Desember 2020. Kemana akan dipasarkan buah berkapein ini? Para buyer di sejumlah negara sudah menahan pembelian kopi Gayo, argument mereka karena persoalan wabah dan adanya kopi yang mengandung glyposhat.

Apa upaya yang harus dilakukan, agar kopi berkualitas dari Gayo dapat dipasarkan, sehingga petani di negeri berhawa sejuk ini terbantu. Bagaimana andil pemerintah, apalagi Presiden Jokowi sudah menjanjikan menyiapkan dana Rp 1 triliun untuk membantu pembelian kopi.

Harapan

Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) provinsi Aceh, Armia, menjawab Dialeksis.com, mengakui situasi global saat ini dimana dunia sedang dilanda wabah corona, membuat pihaknya tidak berdaya. Dia berharap situasi wabah ini cepat mereda.

Menurut Armia, selama ini pihaknya sudah sering mengikuti pertemuan dengan Pemda, Dinas Pertanian, perdagangan. Pembahasan tentang tawaran Presiden Jokowi untuk menanggulangi sementara soal kopi hingga situasi membaik, perlu dijawab dengan melakukan kegiatan di lapangan.

Presdien sudah menjanjikan ada dana Rp 1 triliun untuk membantu petani kopi. Upaya pemerintah ini kiranya bisa membantu petani. Jangan sampai hasil panen kopi tidak terjual, eksportir kewalahan, karena stok kopi menumpuk di gudang gudang.

“Apakah dengan mempergunakan system resi gudang dan memberikan dana talangan, itu tehnis pihak pemerintah yang mengaturnya, untuk membantu sementara keadaan kembali normal, agar kopi bisa kembali dijual,” jelas Armia.

Namun Armia mengakui, pasar Eropa dan Australia, kopi dari Aceh saat ini tidak bisa masuk ke sana, karena sebelum pandemi corona sudah ada persoalan gliposat. Kopi di petani sudah tercemar gliposat diambang batas, sehingga sulit dipasarkan ke sana, sebut Armia.

Persoalan gliposat sudah menggegarkan petani di Gayo. Berita gliposat menjadi bahan pembahasan. Penggunaan pestisida untuk membasmi gulma, sangat berpengaruh pada kualitas kopi. Sejumlah negara konsumen menolak kopi Gayo, karena mengandung gliposat.

Kini persoalan gliposat masih “menghantui” negara konsumen. Seperti disebutkan Armia, ketua AEKI, negera konsumen enggan membeli kopi Gayo karena kadar gliposatnya diambang batas.

Petani kopi di Gayo juga harus mengubah pola perawatan kopi, bila gliposat sempat menjadi pembahasan, kiranya petani dapat memperbaiki cara perawatan. Beralih ke kopi organic tanpa menggunakan pestisida adalah langkah yang baik, demi menyelamatkan kopi Gayo dan tetap mendapat pasar di belahan dunia.

Soal anjloknya harga kopi dan mandeknya pemasaran di negara konsumen, bagaimana penilaian T. Saiful Bahri, SP. M.P, salah seorang pemerhati komiditi kopi? Menurutnya, menjawab Dialeksis.com, keadaan petani dilapangan masih memprihatinkan, belum sejahtera. Saat pandemi ini petani semakin mengalami kesulitan.

“Panen besar tahun ini akan mempengaruhi kesejahtraan petani. Saat awal Maret, awal pandemi harga pembelian kopi dari petani turun 50 persen. Tentunya nilai ini sudah mengurangi kesejahtraan petani,” sebut Saiful Bahri.

Menurut Saiful, dari pengamatanya penurunan harga kopi itu bukan penurunan harga pasar dunia. Tetapi para buyer yang membeli kopi, walau sudah menanda tangani kontrak, menunda pembelian kopi, pengirimanya ditunda.

Dampaknya, kopi banyak distok di gudang gudang. Sementara itu kolektor yang membeli kopi langsung ke petani tidak memiliki modal yang cukup. Tidak kuatnya modal ini telah memunculkan siasat penurunan harga.

Ketika pasarnya tidak ada uang tidak berputar, para kolektor tidak mampu membelinya, karena keterbatasan modal. Ketika konsumen berkurang, sementara stok barang cukup banyak, otomatis harganya turun.

Menurut Saiful, untuk menjawab persoalan petani kopi, Pemerintah harus mendorong agar adanya resi gudang untuk kopi. Sehingga harga yang dibeli petani itu masih sesuai dengan harga kontak luar negeri. Memang di resi gudang kapasitasnya tidak terlalu besar.Tidak sanggup menampung 60 persen total produksi bulan 10 sampai Desember nanti.

Selain itu, sebut Saiful, pemerintah memfungsikan para kolektor untuk memanfaatkan resi gudang. Berbagai aturan untuk resi gudang mampu mereka penuhi, agar mereka dapat masuk dalam resi gudang.

Karena persoalan petani kopi bukan hanya persoalan produksi, namun persoalan harga di pasar. Untuk itu, Pemerintah harus membuat kebijakan agar ada dana talangan memberi gabah. Pemerintah punya tanggungjawab membeli dan menjual kembali.

“Pemerintah tidak harus membeli langsung, namun memberikan talangan kepada sikolektor. Apakah dengan janji khusus tanpa bunga, jasanya lebih kecil, sehingga mereka punya modal kerja yang cukup,” sebutnya.

Nasih petani memang memprihatikan, kata Saiful. Pada saat panen petani harus menjual. Mungkin sebelum panen juga sudah yang menjualnya, karena keperluan mendesak, ada hutang atau lainya. Ketika petani ada keperluan, mereka membutuhkan, mereka akan menjualnya berapapun harganya, walau tidak rasional.

Selian itu, kata Saiful, pemerintah juga harus menggerakan perbankan, minimal bank daerah. Untuk mempermudah bagi kolektor dan petani mendapatkan bantuan. Petani harus memiliki nilai ekonomi dari usahanya yang dilakukanya.


Resi Gudang

Soal resi gudang kopi, negeri penghasil kopi arabika terbaik dunia ini sudah memilikinya. Setiap kabupaten sudah memiliki resi gudang, Gayo lues juga sudah berancang-ancang akan memiliki resi gudang. Bahkan Aceh Tengah menambah jumlah resi gudang dari yang telah ada.

“Kita sudah punya resi gudang. Bahkan ditambah dua lagi. Pihak BRI sudah menyetujui system resi gudang dalam membantu petani. Penuhi persyaratanya, Insya Allah harga kopi akan stabil, bila harga sudah membaik baru dijual. Demikian dengan Bank Aceh, kami juga meminta perhatianya kepada petani, jangan dibiarkan petani kopi menderita,” pinta Shabela.

“Resi gudang harus dimanfaatkan saat saat seperti ini. Petani juga harus membentuk kelompoknya dalam mengumpulkan kopi. Persyaratan untuk itu harus dipenuhi. Pihak bank harus membantu,” jelas bupati, menjawab Dialeksis.com.

Demikian dengan Bener Meriah, Pemda disana sudah menyiapkan resi gudang. Untuk membantu petani disaat harga kopi dipasaran menurun, untuk sementara waktu sembari menunggu harga normal, resi gudang adalah pilihan terbaik, sebut Sarkawi, Bupati Bener Meriah, menjawab Dialeksis.com.

Bercerita soal resi gudang, Rahmah Ketiara, salah seorang pimpinan koperasi kopi yang ada di negeri dingin ini memiliki pengalaman. Ada sejumlah persyaratan untuk bisa memasukan kopi ke resi gudang. Dia sudah melakukan upaya resi gudang kepada sejumlah kolektor (toke) dalam memanfaatkan resi gudang.

Namun, Rahmah hanya mengurus dan membina para toke dibawah naungan koperasi yang dipimpinnya. Ada 19 desa binaan dibawah coordinator Rahmah. Para toke ini memanfaatkan resi gudang, saat harga pasaran turun.

“Persyaratan untuk resi gudang misalnya kualitas kopi yang memenuhi syarat, adminsitrasi yang ditetapkan pihak bank, ada ketentuan pembayaran bunga bank, serta sejumlah persyaratan lainya, semuanya harus dipenuhi,” sebut Rahmah.

Pihak bank juga dalam menetapkan siapa yang boleh mengambil pinjaman uang untuk menempatkan barangnya di resi gudang, juga punya kriteria. Ada kepercayaan disana. Artinya para toke yang menempatkan kopinya diresi gudang, bukan hanya memenuhi persyaratan, namun jujur dan bisa dipercaya.

Tidak semua para toke walau sudah membentuk kelompok, dapat memanfaatkan resi gudang. Mereka harus ikut aturan main yang ditetapkan oleh bank. Dampaknya, tidak seluruhnya para kolektor mampu memanfaatkan resi gudang. Resi gudang belum efektif membantu petani.

Menyangkut pembinaan petani, masing masing koperasi yang ada di sana membina desa binaanya. Mereka tidak melakukan pembinaan kepada desa yang bukan masuk dalam organisasinya. Desa yang sudah masuk dalam pembinaan koperasi (tentu petani masuk di dalamnya) akan merasa terayomi oleh koperasi masing-masing.

Apa Upaya Pemerintah Aceh?

Lahan kopi arabika terluas di Indonesia berada di Gayo. Hamparan kopi di sana mencapai 101.855 hektar. Setiap hektar rata-rata produksinya antara 700 sampai 800 kilogram. Menurut data tahun 2018 hasil kopi dari Gayo mencapai 64.121 ton.

“Dari data AEKI Aceh, ada 15.000 ton kopi yang tidak terserap. Terjadi penurunan permintaan pasar akibat wabah corona,” sebut Mohd Tanwier, Kadis Perindustrian dan Perdagangan Aceh, menjawab Dialeksis.com.

Menurut Baong, panggilan akrabnya, dari data kondisi 29 Juli 2020, untuk Aceh Tengah dan Bener Meriah masing masing 3000 ton tidak terserap, sementara untuk Gayo Lues ada 1500 ton. Sementara di eksportir Medan, angkanya mencapai 7.500 ton.

Kini sentra kopi arabika Indonesia ini akan memasuki panen raya. Sementara hasil panen sebelumnya masih banyak menumpuk digudang-gudang. Angka stok yang belum terserap itu akan bertambah di saat panen raya nanti.

Negara konsumen yang selama ini menjadikan kopi Gayo sebagai idola sedang wabah dunia, corona. Para buyer menunda pembelian kopi. Mereka masih disibukan dengan persoalan Covid-19.

Melihat persoalan yang urgen ini, Plt Gubernur Aceh sudah melobi dan menyurati Presiden Jokowi. Mereka sudah bertemu dan membahasa persoalan kopi Gayo. Menurut Nova, Presdien Jokowi sudah menjanjikan akan membeli kopi Gayo.

Presiden akan menyiapkan dana Rp 1 triliun untuk membeli kopi. Nova berharap janji presiden itu dapat terealisasi. Bila janji itu diwujudkan, akan sangat membantu petani kopi yang kini penghidupanya dalam lingkaran susah, harga kopi anjlok di pasaran. Gudang gudang masih banyak menyimpan kopi.

Menurut Baong, Kadis Perindag Aceh, Pemerintah Aceh yang sudah menyurati Presiden dan sudah bertemu membahas untuk mengatasi persoalan kopi. Dari beberapa pertemuan itu sedang diupayakan solusi penjualan kopi Gayo untuk dimanfaatkan di dalam negeri.

“Kami dari Indag (Industri dan perdagangan) sudah dua kali zoom dengan kementrian perindustrian dan perdagangan, menindak lanjuti surat Presiden. Kami juga sudah menjajaki dengan negara Australi, agar kopi kita bisa dipasarkan di sana,” sebut Baong.

Menurut Baong, pihak perdagangan Aceh melihat peluang kopi di dalam negeri cukup potensial. Kalau eskportir kopi permainanya di kopi berupa green bean (biji mentah). Namun soal kopi bukan hanya green bean. Masih banyak peluang home industry, bisa dimainkan diroasting coffe. Kebutuhan pasar dalam negeri untuk kopi masih besar, kita juga harus melihat peluang ini, sebutnya.

Di Aceh saja, masih kekurangan kopi. Bagaimana kita mensiasati kebutuhan ini. Disaat permintaan pasar luar berkurang, kita mengupayakan peningkatan pasar dalam negeri. Kita tidak jual green ben. Namun harapan kita kopi olahan dapat dipasarkan dalam negeri, jelasnya.

“Di Banda Aceh saja kadang kala kita kekurangan kopi roasting. Ini peluang yang harus dimanfaatkan. Demikian dengan home indsutri baru. Namun kita terkendala dengan Permen kemendagri 90. Tidak ada nomen klatur, yang bisa membantu usaha ini. Tidak bisa diberikan bantuan,” sebutnya.

Baong berharap adanya regulasi tentang bantuan peralatan roasting coffe. Karena sejumlah home industry sangat membutuhkanya. Namun dengan musibah Covid-19 ini, sudah merupakan dari bencana alam, kiranya pemerintah pusat ada kebijakan dalam persoalan ini.

Kiranya pengadan langsung roasting coffe dapat diwujudkan. Apalagi kini menjelang memasuki masa panen raya kopi hingga Desember nanti. Pemerintah pusat kiranya dapat mengambil kebijakan untuk membantu sejumlah home industry kopi.

Baong mengakui persoalan itu telah disampaikan pihaknya ke Menteri Perindustrian. Kiranya pemerintah pusat mempertimbangkan kebijakan ini, karena upaya ini adalah merupakan salah satu cara untuk mengatasi persoalan kopi.

Selain mengusulkan agar adanya regulasi tentang bantuan home industry kopi, pihak Perindustrian dan perdagangan melihat peluang pasaran dalam negeri merupakan salah satu solusi. Bila pasar dalam negeri mampu menyerap kopi Gayo, tentunya peredaran kopi di dalam negeri akan membantu, sehingga stok kopi yang ada akan berputar.

Baong mengakui pemasaran kopi tidak bisa dilakukan melalui zoom, atau video confren, karena persoalan kopi Gayo bukan hanya melihat dalam bentuk biji. Namun menjual kopi Gayo itu ada ciri khasnya. Ada persoalan aroma dan cita rasa yang tidak dimiliki kopi di daerah lain.

“Misalnya kita mau menjual ke Kapal Api, belum tentu spesipik kita. Kopi Gayo itu bukan hanya persoalan biji, namun kita menjual aroma dan citarasa. Tentu nilainya berbeda. Nilai speknya juga berbeda,” sebut Baong.

Konsumen juga menginginkan mereka dapat menikmati kopi dengan harga murah, tidak lagi katakanlah nilai belinya mencapai 4 dolar, namun mereka inginkan harganya 1 dolar. Namun karena biaya pengirimanya tinggi, nilai jualnya akan naik.

“Banyak konsumen di sejumlah negara eksportir minum kopi berkelas, dengan harga berkelas. Mereka juga ingin menikmati harga kopi itu tidak mahal. Namun tingginya biaya pengiriman, membuat harga kopi berkelas ini tetap tinggi,” sebut Baong.

Menurutnya, demikian dengan penikmat kopi di dalam negeri, mereka ingin menikmati kopi berkualitas dengan harga yang tidak terlalu mahal. Namun bila kopi dari Gayo dikirim ke tempat mereka, ongkos kirimnya yang mahal. Satu kilo itu ongkos kirimnya mencapai Rp 60.000.

Baong sedang berupaya melobi, agar di Jakarta ada gudang untuk kopi. Bisa distok di sana. Namun bukan dalam bentuk green bean, akan tetapi hasil dari home industry. Pemiliknya banyak. Brand yang dijual. Ada nama home industry.

“Sekarang pasar dalam negeri mengalami peningkatan, trend minum kopi berkualitas semakin hari semakin bagus. Untuk itu kita perlu indsutri kopi berbasis tehnologi. Bila kita punya gudang di Jakarta, ongkos kirimnya bisa lebih murah. Kita bisa mempergunakan kapal laut, sesuai dengan program Pak Jokowi dengan programnya tol laut,” jelasnya.

“Bila ongkos pengiriman lebih murah, tentu nilai jual kopi juga akan mengalami perubahan. Tidak lagi terlalu mahal, karena dibebankan pada ongkos kirim. Kita akan sangat sulit bersaing bila ongkos kirimnya mahal,” sebut Baong.

Selain menggagasi pemasaran dalam negeri, pihak Perindustrian Aceh juga berupaya mencari perluasan pasar kopi disejumlah negara. Baru baru ini sudah dilakukan penjajakan peluang pasar, seperti Tiongkok, Russia, Timur Tengah dan Australia, jelasnya.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh bekerjasama dengan Atase Perdagangan KBRI Canberra, pada medio Agustus 2020, sudah menyelenggarakan kegiatan Webbinar Virtual tentang Peluang Pemanfaatan Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnersihp Aggrement (IA-CEPA). Kopi Arabika Gayo menjadi prioritas.

Sebelumnya Perindag juga melakukan diseminiasi pasar luar negeri. Kerja sama Perindag dengan Ditjen perindustrian telah menghadirkan Kepala ITPC Chennai, ITPC Hamburg dan ITPC Vancouver, dalam rangka menyebarluaskan peluang ekspor, salah satunya adalah komoditi kopi.

Bunga berwarna putih semerbak mewangi dari negeri Gayo kini telah menjadi buah yang berwarna merah. Kandungan kapein dengan citarasa khasnya sudah diakui dunia. Petani di sana sedang bersiap-siap memasuki masa panen yang akan berlangsung selama 4 bulan.

Namun perputaran keadaan dunia telah membuat petani disana menangis tanpa air mata. Harga kopi jatuh di pasaran. Para pengepul kopi, toke, kolektor, kewalahan dan tidak mampu membeli kopi dengan harga normal. Di sejumlah gudang, kopi menumpuk belum diekspor.

Kemana petani kopi harus mengadukan nasibnya? Tanpa turun tangan pemerintah, mereka tidak mampu melepaskan jerat yang kini membelengu hidupnya. Dalam kondisi yang memprihatinkan ini siapa lagi yang memikirkan nasib mereka, kalau bukan pemerintah yang berdiri di depan.

Aroma kopi Gayo yang sudah diakui dunia, tidak seharum nasib petani kopi. Banyak persoalan kopi yang harus diperbaiki. Bukan hanya soal pemasaran, kualitas, namun kemampuan petani dalam mengolah lahanya perlu dibenahi. Siapa yang akan mengubah semua ini? (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda