Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Menghapus Barcode BBM di Aceh Mungkinkah?

Menghapus Barcode BBM di Aceh Mungkinkah?

Sabtu, 15 Februari 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga
Ilustrasi pemakaian barcode disalah satu SPBU. Foto: net

DIALEKSIS.COM | Indepth - Aceh ingin tampil beda dalam pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM). Mualem “melawan” arus, ingin menghapus pengunaan barcode untuk mendapatkan minyak. Namun pihak pertamina menyebutkan, sistem barcode adalah upaya untuk mencegah terjadi penyelewengan.

Akankah mulus upaya yang akan dilakukan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf. Mualem dalam pidato perdananya usai dilantik oleh Mendagri Muhammad Tito Karnavian di rapat paripurna istimewa Gedung DPR Aceh, menyebutkan akan menghapus sistem barcode di SPBU Pertamina.

Kebijakan ini merupakan respons langsung terhadap berbagai kendala yang dirasakan masyarakat Aceh. Menurut Mualem, sistem barcode yang diberlakukan selama ini tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan serta kondisi masyarakat Aceh.

“Keputusan ini bukan hanya soal efisiensi operasional, melainkan juga tentang mengembalikan hak rakyat Aceh dalam mendapatkan pelayanan yang cepat dan responsif,” ujar Mualem dalam pidato perdananya.

Pertamina juga memberikan reaksi atas rencana Mualem. Area Manager Comm, Rel, CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut, Susanto August Satria dalam keterangannya, menyatakan sistem barcode adalah upaya untuk mencegah penyelewengan.

Muluskah upaya Mualem melawan arus ini? Sampai saat ini SPBU di Aceh masih menggunakan barcode. Pertamina masih tetap dengan aturanya menggunakan sistem barcode. Bagaimana hingar bingarnya soal barcode ini, Dialeksis.com merangkumnya.

Keputusan Gubernur Aceh untuk menghapus barcode mulai mendapat dukungan khususnya tokoh yang ada di Aceh. Ketua Kadin Provinsi Aceh, Muhammad Iqbal alias Iqbal Piyeung menyatakan dukunganya. 

“Saya mendukung sepenuhnya kebijakan Gubernur Aceh. Aceh memiliki kekhususan dalam pengelolaan pemerintahan, sehingga semua kebijakan nasional, termasuk penerapan sistem barcode di SPBU, seharusnya melibatkan pemerintah Aceh,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Jumat (14/02/2024).

Iqbal menambahkan, kebijakan tersebut memiliki landasan kuat mengingat adanya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015, pasal 270 yang mengatur kewenangan pemerintah nasional di Aceh.

“Aceh memiliki sifat asimetris dalam tata kelola pemerintahannya, sehingga tidak dapat disamakan dengan provinsi lain di Indonesia. Pengalaman dan pengamatan langsung di lapangan memperkuat argumen bahwa sistem barcode selama ini telah menimbulkan kesulitan bagi masyarakat,” jelasnya.

Ketua Kadin Aceh juga menghimbau kepada maskapai Garuda untuk memberikan potongan harga atau diskon khusus kepada masyarakat Aceh. Keberadaan Garuda tidak lepas dari kontribusi besar masyarakat Aceh. Sudah seharusnya, sebagai bentuk apresiasi, Garuda memberikan hak istimewa kepada Aceh,” sebutnya.

Iqbal bahkan meminta Menteri BUMN untuk mempertimbangkan usulan tersebut agar kedua kebijakan penghapusan sistem barcode dan pemberian potongan harga dapat segera diterapkan di Bumi Serambi Mekah.

Pengamat kebijakan publik Saddam Rassanjani, S.IP.,M.Sc. P.hD (Cad) Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala juga memberikan penilaian. Menurutnya langkah ini sebagai upaya konkret pemerintah daerah dalam menyesuaikan regulasi nasional dengan kebutuhan lokal.

“Keputusan Gubernur Aceh merupakan refleksi nyata dari kedaulatan daerah. Langkah ini menunjukkan bahwa suara rakyat tidak boleh diabaikan, terutama ketika suatu kebijakan berdampak langsung pada pelayanan publik,” ujar analis pemerintahan ini.

Menurutnya, langkah inovatif ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki karakteristik dan kebutuhan khusus. Kebijakan penghapusan sistem barcode di SPBU Pertamina ini mencerminkan semangat otonomi daerah yang kian diperkuat, serta komitmen pemerintah Aceh untuk selalu mendahulukan kepentingan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan.

“Dengan adanya perubahan ini, diharapkan pelayanan publik, khususnya di sektor energi dan transportasi dapat lebih adaptif terhadap kondisi riil di lapangan dan mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat Aceh,” sebutnya.

Sementara itu, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luar Negeri, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam, melontarkan kritik pedas terhadap sikap PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut. Pertaminan masih harus berkoordinasi dengan regulator pusat terkait kebijakan Gubernur Aceh, soal penghapusan sistem barcode (kode QR) di seluruh SPBU di Aceh.

Menurut Abu Salam, respons Pertamina yang terkesan “cuci tangan” dan berlindung di balik aturan pusat, mencerminkan ketidakpahaman terhadap kekhususan Aceh yang sudah diatur dalam perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia.

"Aceh punya hak khusus dalam mengelola kebijakan domestiknya, termasuk soal energi dan subsidi BBM. Ini bukan wilayah Jakarta untuk menentukan, tapi hak prerogatif Aceh sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA),” sebutnya.

“Jangan ada tangan-tangan yang mencoba membelenggu kedaulatan ekonomi kami!" tegas Abu Salam, Jumat, (14/2/2025).

Abu Salam menyinggung butir-butir penting dalam MoU Helsinki yang menegaskan bahwa Aceh berhak mengelola kebijakan ekonomi dan sumber daya alamnya sendiri. 

Ia juga menekankan bahwa kebijakan barcode BBM di Aceh selama ini justru menyulitkan rakyat kecil, terutama nelayan dan petani yang sering kesulitan mengakses bahan bakar bersubsidi.

"Kami bukan daerah jajahan yang hanya bisa tunduk pada keputusan pusat. Ini soal keberpihakan kepada rakyat! Jika barcode menyulitkan masyarakat dan Gubernur Aceh sudah memutuskan untuk menghapusnya, maka itu harus dihormati oleh semua pihak, termasuk Pertamina," tandasnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Aceh telah diberi hak khusus dalam mengelola kebijakan publik, dan keputusan gubernur tidak bisa serta-merta dimentahkan oleh perusahaan pelat merah dengan alasan koordinasi pusat.

"Pertamina jangan hanya bicara teknis administrasi tapi abai terhadap realitas di lapangan. Kalau barcode ini memang untuk memastikan subsidi tepat sasaran, kenapa di banyak daerah lain tak diberlakukan? Ini bukan sekadar urusan regulasi, ini soal politik keadilan bagi Aceh," jelasnya.

Abu Salam meminta agar Pertamina tidak mengulur waktu dan segera menyesuaikan diri dengan kebijakan Gubernur Aceh. 

Ia juga menantang pejabat di Jakarta untuk lebih memahami kekhususan Aceh sebelum mengeluarkan kebijakan yang bersifat memaksa.

"Kami di Aceh tidak butuh wacana basa-basi. Kebijakan sudah dibuat, tinggal dijalankan. Jangan lagi ada upaya Jakarta untuk mengangkangi hak-hak Aceh dengan dalih regulasi," tutupnya.

Bola panas ada di tangan Pertamina, apakah mereka benar-benar menghormati kekhususan Aceh, atau tetap tunduk pada birokrasi pusat yang sering kali mengabaikan realitas di daerah.

Sementara itu, juru Bicara Mualem-Dekfadh, Teuku Kamaruzzaman, mengungkapkan bahwa meskipun hal tersebut bukan menjadi prioritas dalam Visi dan Misi Gubernur/Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030, sistem QR code BBM di Aceh adalah isu yang sangat sensitif di kalangan masyarakat Aceh.

Menurutnya, pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa Aceh yang pertama kali menjadi wilayah uji coba untuk sistem barcode penyaluran BBM bersubsidi. Aceh, sebagai salah satu provinsi penghasil minyak dan gas bumi di Indonesia, seharusnya tidak diperlakukan berbeda dari provinsi lainnya.

"Aceh menjadi satu-satunya wilayah yang menerapkan sistem QR code di SPBU, padahal di provinsi lain, seperti Sumatera Utara, tidak ada hambatan saat pengisian BBM. Ini jelas menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat," ungkap Teuku Kamaruzzaman, yang akrab disapa Ampon Man, dalam keterangan tertulis kepada Dialeksis, Jumat (14/2/2025). 

Ampon Man menegaskan bahwa Gubernur Aceh sangat ingin agar masyarakat Aceh diperlakukan dengan adil oleh Pemerintah Pusat dan Pertamina.

Ia menyebutkan bahwa proses penghapusan barcode ini membutuhkan diskusi lebih lanjut terkait kebijakan subsidi BBM, termasuk pembahasan lebih dalam tentang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 serta perubahan dalam Perpres Nomor 117 Tahun 2021 yang mengatur soal pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak.

“Ke depan, kita akan mengkaji lebih dalam terkait jatah BBM bersubsidi untuk Aceh dan apakah solusi subsidi ini dapat dilihat melalui Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi yang menjadi hak penerimaan Aceh,” tambahnya.

Ampon Man juga mengingatkan bahwa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh tidak hanya berawal dari sistem BBM, tetapi juga dari sejarah panjang yang terkait dengan perjuangan Aceh sejak bergabung dengan Republik Indonesia. 

Ia berharap, perasaan ketidakadilan yang melatarbelakangi perlawanan Aceh pada masa lalu, baik melalui DI/TII maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tidak akan terulang lagi.

"Sejak zaman perjuangan, PT Pertamina dan Garuda Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Kami berharap ada solusi yang adil dan merata bagi semua pihak di masa depan, agar keadilan bisa terwujud secara bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkasnya.

Reaksi Pertamina

Pihak Pertamina nampaknya masih dengan sikapnya mengunakan regulasi yang telah ditetapkan. Menurut pihak pengelola BBM ini program barcode itu untuk mencegah penyelewengan.

"Kami menghormati pernyataan gubernur Aceh terkait pembelian BBM subsidi biosolar dan Pertalite menggunakan barcode," kata Area Manager Comm, Rel, CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut, Susanto August Satria dalam keterangannya, Kamis (13/2/2025).

Menurutnya, Pertamina akan berkoordinasi dengan pihak regulator pemerintah pusat terkait wacana Mualem tersebut. Pembelian BBM subsidi menggunakan barcode merupakan suatu mekanisme pencatatan elektronik agar Pertamina dapat melaporkan kepada pemerintah terkait siapa pengguna BBM bersubsidi.

Satria menyebutkan, jumlah kendaraan yang sudah terdaftar dalam program subsidi tepat sasaran BBM biosolar di Aceh saat ini sebanyak 71.775 kendaraan. Sementara pertalite sejumlah 150.413 kendaraan. Program barcode disebut dijalankan secara nasional di Indonesia.

"Tujuan utama dalam program ini adalah agar BBM subsidi tepat sasaran sesuai ketentuan aturan dan kuota yang ditetapkan, mencegah serta meminimalisir penyelewengan BBM Subsidi," jelasnya.

"Hingga saat ini, pelaksanaan program ini di Provinsi Aceh berjalan dengan lancar dan tidak ditemukan kendala, bahkan Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang terlebih dahulu menjalankan program subsidi tepat BBM Pertalite," lanjut Satria.

Pemberlakuan barcode BBM subsidi yang diterbitkan Pertamina berlaku seluruh Indonesia. Setiap daerah telah ditetapkan kuota BBM subsidi. Fungsi barcode BBM sebagai alat kontrol penggunaannya,” kata Susanto.

Menurutnya, dalam pelaksanaanya, penggunaan barcode tidak ditemukan masalah. Justru penggunaan barcode telah mampu mendistribusikan bbm sesuai peruntukannya. Oleh karena itu, penggunaan barcode BBM subsidi dan penugasan tetap berlaku di seluruh Indonesia.

Menyentil perihal masih ada sebagian daerah yang belum seluruhnya menggunakan barcode, Susanto mengatakan, prosesnya menuju penggunaan menyeluruh di seluruh Indonesia.

Bagaimana kelanjutan dari “ukiran” sejarah yang kini sudah menggema di Aceh ini. Kita ikuti saja, apakah Aceh akan terbebas dari pengunaan barcode untuk mengisi BBM? * Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI