Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Ketika Makanan Atlet Menjadi “Santapan” Pihak lain

Ketika Makanan Atlet Menjadi “Santapan” Pihak lain

Kamis, 12 September 2024 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Kondisi makanan untuk atlet yang berjamur dan minim. Foto: Kolase Dialeksis.com


DIALEKSISIS.COM | Indepth - Bagaimana perasaan Anda ketika jatah makanan yang diberikan kepada Anda justru dipermainkan pihak lain. Anda yang seharus menikmati makanan ketika energi akan sudah terkuras, justru makanan itu dikuras pihak lain.

Inilah secuil gambaran sisi negatif event nasional yang saat ini sedang bergulir di Bumi Serambi Mekkah dan Sumatera Utara. Jatah makan atlet yang sudah bertarung, berpeluh keringat untuk mendapatkan kepingin medali, justru dijadikan oleh pihak lain untuk menumpuk pundi.

Berita tentang makanan atlet yang berjamur, basi dan tidak sesuai porsi kontrak kini menjadi sorotan. Menunya kurang layak, belum lagi datangnya tidak tepat waktu, ahirnya nasinya dingin tidak termakan para atlet.

Makanan untuk atlet dan kontingen Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI benar benar menuai sorotan. Berbagai pihak menyoroti persoalan ini, bahkan sampai Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo, melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung dan Badan Reserse Kriminal Polri. 

Ah nasib atlet dan kontingen jadi makanan pihak lain. Anggaran totalnya mencapai Rp 42 miliar. Apakah ada yang mencari kekayaan dengan mengorbankan atlet dan kontingen?

Keluhan mengenai kualitas konsumsi bukan hanya dirasakan para atlet dan kontingen. Liaison Officer (LO) yang bertugas menyukseskan event yang tidak tentu kapan akan hadir kembali di Aceh, juga kejipratan nasi basi. Seperti dialami LO yang bertugas di di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM).

Soal makanan ini sudah mencoreng acara besar yang diselenggarakan di Aceh. Soal adanya makanan basi diakui oleh Ketua Bidang Konsumsi PB PON XXI Wilayah Aceh, Ir. Diaz Furqan, dia berjanji akan mengontrol persoalan makanan ini.

Event yang mempertemukan atlet dari berbagai penjuru tanah air ini bagaikan ladang bisnis buat pihak tertentu yang ingin meraih keuntungan. Bila dikelola secara professional dan tidak ada yang menjadi korban, tentunya ladang bisnis ini tidak akan menuai masalah.

Namun kini faktanya hingar bingar soal konsumsi atlet PON sudah mengkasa ke belahan dunia. Berbagai pihak menaruh perhatian terhadap persoalan ini. Kritikan pedas untuk perbaikan mulai menggema.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian yang selama ini sangat peduli terhadap berbagai persoalan, khususnya dalam mengelola uang rakyat, tidak kalah nyaringnya dalam bersuara.

“Bila kita melihat nilai kontrak, harga satuan makanan untuk atlet Rp 50.900 perporsi dengan total harga Rp 30,8 miliar. Sementara untuk snack harga satuan Rp 18.900 perporsi nilainya mencapai 11,4 miliar. Total anggaran untuk makanan ini mencapai Rp 42 miliar, ” kata Alfian.

Alfian menjelaskan, bila melihat fakta di lapangan potensi mark up harga sudah terjadi sejak di-perencanaan. Mark up harganya besar dalam konteks tidak pidana korupsi. Harga nasi dan snack itu bukan harga standar di Aceh.

Menurutnya, harga snack standar di Aceh Rp 10 ribu, sementara harga nasi standar di Aceh Rp 30 ribu perporsi. Nilainya satuanya tinggi, sudah di markup, nasi Rp 50.900, sementara sncak Rp 18.900.

Selain itu, nasi yang diberikan ke atlet tidak tepat waktu sesuai yang diatur di kontrak. Belum ditemukan nasi basi, sayur berulat. 

"Kalau dari sisi satuan harga nasi, satuan harga snack jelas terjadi mark up, diproses perencanaan sudah terjadi mark up. Termasuk dikontrak sudah jelas kemahalan harganya baik dari sisi pengadaan makanan maupun snack," jelasnya.

Menurutnya, anggaran dalam pengadaan konsumsi tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dia berharap BPKP Aceh melakukan audit investigasi terhadap anggaran yang besar tersebut.

Selain adanya dugaan korupsi, Alfian melirik dan menjadi sangat penting, apakah uang tersebut mengalir ke kegiatan politik di Pilkada atau tidak. Pemenang tender pengadaan konsumsi itu disebut perusahaan yang beralamat di Jakarta.

"Sistem tender juga aneh karena dengan dimasukin ke e-catalog tinggal tunjuk. Makanya perusahaan pengadaannya itu perusahaannya ada di Jakarta, tapi aktor-aktornya ada di Aceh," ujar Alfian.

Kritikan pedas lainya juga datang dari Transparansi Indonesia (TTI). Nasruddin Bahar, Koordinator TTI, menilai jasa katering Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh-Sumatera Utara yang dikelola PT Aktivitas Atmosfir, perusahaan katering asal Jakarta, telah gagal memenuhi kebutuhan ribuan atlet dan ofisial dan panitia.

"Dengan nilai kontrak Rp 42,5 miliar, layanan yang diberikan sangat mengecewakan," ujar Nasruddin kepada Dialeksis melalui keterangan rilisnya, Rabu (11/9/2024). Menurutnya, keluhan utama para peserta PON adalah porsi makanan yang minim, kurang layak dan keterlambatan distribusi.

TTI juga mempertanyakan proses penunjukan penyedia katering melalui e-katalog yang hanya melibatkan satu perusahaan besar. Di e-katalog LKPP, PT Aktivitas Atmosfir menawarkan harga Rp 51.000 per porsi. Faktanya, kualitas makanan di lapangan jauh dari ekspektasi," tegas Nasruddin.

Pihak TTI mengusulkan agar sebaiknya pembagian kontrak katering dilakukan kepada beberapa unit usaha lokal di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar. Langkah ini, menurut Nasruddin, akan mendorong pemerataan ekonomi masyarakat setempat.

"Kami mendesak Penjabat Gubernur Aceh untuk meninjau ulang anggaran makan sebesar Rp 42,5 miliar. Idealnya, dibagi menjadi 10 penyedia sehingga usaha katering lokal bisa mendapat bagian sekitar Rp 4 miliar per usaha," jelasnya.

Menurut Nasruddin, diversifikasi penyedia katering akan memudahkan panitia konsumsi dalam mengontrol mutu makanan. Ia juga menyayangkan bahwa di tengah pujian atas keramahan masyarakat Aceh sebagai tuan rumah, kontroversi layanan katering ini mencoreng citra PON Aceh-Sumut.

"Sungguh disayangkan, pengusaha katering yang bukan dari perusahaan lokal justru merusak citra Aceh," sebutnya. 

Menteri Kecewa

Soal pelayanan yang buruk dan adanya dugaan permainan dalam persoalan konsumsi ini, membuat Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo geram. Dikecewakan dengan pelayanan ini, Menteri Pemuda dan Olahraga melaporkan dugaan penyelewengan dana acara Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 di Aceh dan Sumatra Utara ke Kejaksaan Agung dan Badan Reserse Kriminal Polri. 

“Hari ini kami proses resmi ke Kejaksaan dan Bareskrim terkait dugaan atau potensi penyelewengan penyelenggaraan PON XXI 2024 di daerah Sumut dan Aceh,” kata Dito kepada wartawan, Rabu (11/9/2024). 

Dito mengatakan, setelah adanya laporan tersebut, pihaknya ingin adanya pendampingan dari Kejaksaan dan Bareskrim dalam mengusut tuntas kasus ini. Ia pun berharap agar Kejagung dan Bareskrim segera memproses dugaan penyelewengan tersebut

“Setelah adanya laporan-laporan, kami mohon pendampingan Kejaksaan dan Bareskrim,” sebutnya. Karena menurutnya, Kejagung dan Bareskrim merupakan bagian Satgas Pendampingan Tata Kelola Penyelenggaraan PON XXI 2024 dalam Keppres Nomor 24 tahun 2024.  

 “Semua hal yang dilaporkan terkait keluhan pelaksanaan pasti dijadikan bahan untuk pendampingan dan pelaporan,” kata Dito. 

Menurut Politikus Partai Golkar ini, bahwa pada prinsipnya Kemenpora ingin PON XXI di Aceh dan Sumut dapat berjalan sukses. Namun, hal-hal yang tidak patut mesti diusut tuntas.

Pelayanan dan adanya dugaan permainan ini sudah sangat mengecewakan rakyat Aceh, dimana masyarakat sudah menunjukan sikapnya yang baik dalam melayani tamu, menunjukan Aceh yang berbudaya dan bermartabat.

Namun layanan yang baik itu dinodai dengan layanan konsumsi untuk atlet, kontingen, para wasit, panitia yang terlibat dalam event yang belum tentu berapa tahun lagi akan hadir di Aceh.

Anggaranya terbilang besar, namun kualitasnya buruk. Rakyat Aceh kecewa, bahkan selevel menteri menaruh perhatian khusus, siapa yang menggigit cabai dia yang akan merasakan pedasnya. * Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI