Keringat Dipakaian Loreng Melahirkan Senyuman Petani Kopi
Font: Ukuran: - +
Sejarah kelam sudah tercatat untuk desa di kawasan hamparan kopi dan palawija sentral Aceh ini. Seorang ibu hamil tua yang ditandu kaum lelaki untuk mendapatkan bantuan bidan, ahirnya melahirkan diperjalanan dalam guyuran hujan.
Disaat kucuran air yang tumpah dari langit semakin deras, terdengar tangisan bayi yang baru menghirup udara dunia. Kaum lelaki yang menandu ibu ini bingung. Mereka berupaya menyelamatkan bayi berjenis kelamin wanita dan ibu yang baru saja melahirkan.
Mak Piro, begitu nama ibu ini dipanggil. Kaum lelaki yang mengotongnya, kembali menandunya. Namun mereka tidak lagi membawanya ke bidan untuk mendapatkan bantuan persalinan, tetapi menggotongnya kembali pulang ke Kala Wih Ilang.
“Warga di sini tidak punya pilihan lain, harus menandunya dengan berjalan kaki untuk mendapatkan bantuan bidan. Bila naik kenderaan (sepeda motor-red) justru lebih berbahaya, tantanganya maut. Berjalan kaki saja susah,” sebut Zipo Tarigan salah seorang warga Kala Wih Ilang.
Sang bayi dan ibu yang melahirkan diperjalanan dalam guyuran hujan mampu mereka selamatkan. Pengalaman pahit ini menjadi catatan sejarah kelam bagi warga Dusun Kala Wih Ilang, Kampung Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Wih Ilang merupakan kampung tua di Kecamatan Pegasing. Rakyat disana mengandalkan tanah untuk menghidupi keluarga. Ribuan hektar tanaman kopi yang terhampar merupakan milik rakyat. Selain itu, kampung ini juga dikenal sebagai penghasil kentang dan cabai.
Kampung Kala Wih Ilang bertetangga dengan Kampung Pantan Musara, batasnya hanya dipisahkan sungai yang tidak lebar. Pantan Musara merupakan kawasan tranmigrasi. Warga disana bercampur baur, ada yang berasal dari beberapa kota di Pulau Jawa dan juga ada warga setempat.
Karena akses jalan di ujung barat dua kampung ini (Pantan Musara dan Kala Wih Ilang) masih memprihatinkan, bagaikan kubangan kerbau saat musim penghujan dan menjadi kepulan debu dikala kemarau, membuat Pemda Aceh Tengah menjadi beban.
Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar ahirnya mengusulkan anggaran ke DPRK, agar kawasan itu dilakukan kegiatan Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD). Pasukan loreng yang sudah terlatih menyandang senjata otomatis, menyambut gagasan itu dengan baik. Mereka terjun ke kawasan berhawa dingin ini.
Pengalaman Kelam Jangan terulang
Sejarah kelam yang pernah diukir warga di sana kini bagaikan terobati. Kegiatan TMMD Reguler ke- 109 telah melahirkan seberkas sinar, ada harapan untuk bangkit, menabur asa baru yang lebih baik.
“Saya terharu ketika di depan rumah saya bisa dilantasi mobil. Rasanya seperti mimpi. Selama ini jalanya berkubang lumpur,” sebut Pak Aldi, salah seorang warga Kala Wih Ilang, ketika Dialeksis bertandang ke kediamanya, pekan kedua Oktober 2020.
Bagi masyarakat disana, pahitnya hidup karena persoalan jalan sudah menjadi bagian dari sejarah. Banyak uang dan waktu mereka yang terbuang disebabkan buruknya jalan sebagai sarana transportasi.
“Untuk mengangkut satu kilogram hasil pertanian, ongkosnya langsirnya mencapai Rp 400,” sebut Zipo tokoh pendiri kampung Kala Wih Ilang, kepada Dialeksis.com yang menyambangi kediamanya.
“Dalam 100 kilogram kentang, ongkos langsir mencapai Rp 40 ribu. Sementara hasil panen kentang mencapai ratusan ton, warga disini rata-rata menanam kentang. Belum lagi cabai dan kopi yang hasilnya juga melimpah,” jelasnya.
Dalam setiap ton untuk biaya transportasi mencapai Rp 400 ribu. Kalau dihitung hasil panen masyarakat mencapai ratusan ton kentang. Demikian dengan kopi arabika Gayo dan cabai. Cukup banyak uang yang terbuang karena buruknya jalan, sebut Zipo.
Bila jalan bagus, tambah Midun, kepala Dusun Kala Wih Ilang, biaya untuk melangsir mampu diperkecil. Masyarakat hanya menyiapkan dana untuk minyak kenderaan. Kalaupun harus dilangsir dengan mobil pickup, ongkos langsirnya jauh lebih murah.
Demikian dengan harga kebutuhan pokok di perkampungan Dusun Kala Wih Ilang, harganya naik Rp 2000 untuk satu kilogram dari harga dipasaran. Kenaikan harga ini karena lama dan sulitnya jalan yang dilalui.
Penulis sempat mengelilingi pekarangan rumah kepada Dusun ini yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari kediaman Pak Aldi di Ujung Jembatan Kala Wih Ilang. Di sekeliling rumah Kadus ini dipenuhi dengan tanaman kopi, ada cabai dan kentang.
Perkebunan di sana masih subur, humus dari pepohonan yang ditumbang masih terlihat di tanah. Warga di sana membuka hutan yang dikelola masyarakat untuk dijadikan perkampungan sekitar 15 tahun lalu. Luas kebun milik warga setiap kepala keluarga (KK) rata-rata mencapai 2 hektar.
“Di dusun ini didiami 72 kepala keluarga. Kami berasal dari Tanah Karo, Kisaran dan Berastagi, Sumatra Utara. Rata-rata punya marga, ada marga Tarigan dan Sembiring. Kampung kami disebut juga kampung muallaf,” sebut Midun yang sudah mempersunting gadis Gayo dan menetap di Kala Wih Ilang.
Selebihnya pemilik lahan kebun kopi disana adalah warga dari kampung lain yang mengusahakan kebunya secara mandah (pindah sementara). Diperkirakan ada 1000 hektar kebun kopi di Dusun Wih Ilang dan 500 hektar di Pantan Musara, tetangganya dusun muallaf ini.
“Kalau musim hujan, aduh gawat Pak,” sebut Midun,”lebih cepat berjalan kaki daripada mengenderai sepeda motor. Jarak tempuhnya hanya empat kilometer lebih, namun membutuhkan waktu satu jam setengah. Itu juga belum lagi ada resiko terbalik di jalan dan beratnya mendorong kenderaan,” jelasnya.
Bila terjatuh diperjalanan yang berkubang lumpur, sudah merupakan pemandangan biasa untuk masyarakat di dua desa ini. Terluka, ditimpa sepeda motor, terkilir dan harus dikusuk, sudah menjadi hiasan tubuh. Inilah pengalaman pahit penerima manfaat langsung TMMD ini.
Medan jalanya memang berat, pendakianya tinggi, demikian dengan penurunan juga terbilang curam. Bila musim hujan, sepeda motor dengan porseniling satu walau sudah ditekan rem, tidak akan berhenti dipenurunan jalan tanah yang licin ini. Apalagi membawa beban.
Resikonya banyak pengendara yang jungkir balik. Seahli ahlinya pengendara sepeda motor, sudah pasti ada yang terjatuh diruas jalan berlumpur dan licin ini. Ahirnya masyarakat di sana mensiasatinya dengan memasang rantai di ban kenderaan. Dampaknya jalan tanah ini semakin hancur, menambah banyaknya lubang.
“Kalau musim hujan dan air sungai naik, saya terkurung. Tidak bisa kemana-mana,” sebut Pak Aldi warga Kala Wih Ilang, rumahnya persis di sudut jembatan TMMD yang baru dibangun.
Menurut Pak Aldi, untuk menghubungkan ruas jalan kala Wih Ilang dan Pantan Musara yang dibatasi sungai, ada sebuah jembatan. Di atas jembatan kayu balok ini dilapisi papan yang dijarang-jarangkan. Pengendara harus memiliki keberanian dan keahlian untuk melintasinya.
Penulis, sekitar setahun yang lalu pernah melintasi jembatan ini dan mengabadikan momenya. Jembatanya licin, hanya selebar satu meter, panjangya sekitar 10 meter. Namun lama kelamaan jembatan itu lapuk dimakan usia.
Di bawah jembatan ini sungai dengan bebatuan siap menanti. Walau sungai tidak terlalu dalam, akan tetapi bila pengendaranya terjatuh resikonya tak terbayangkan, menyangkut dengan nyawa. Namun walau tantanganya maut, warga di sana tetap menjadikanya sebagai sarana tranportasi.
“Jembatan itu sudah putus setengah tahun yang lalu. Akibatnya saya harus melintasi sungai dengan sepeda motor. Saya pilih lokasi yang tidak dalam. Namun kalau hujan lebat dan airnya meluap, saya terkurung,” sebut Pak Aldi.
Berbekal pengalaman ini, lelaki yang menami kebunya dengan kopi, kentang dan cabai, harus menyiapkan kebutuhan hidupnya selama musim hujan ketika sungai sulit dilintasi.
Kini jembatan itu sudah dibangun melalui program TMMD. Letaknya persis di depan rumah Pak Aldi, dia tidak lagi harus menyeberangi sungai naik sepeda motor dan terperangkap ketika air naik. Kini kapanpun dia bisa dengan nyaman melintasinya.
Jembatan Kala Wih Ilang yang sudah nyaman dilalui kenderaan, setelah dibangun Satgat TMMD Reguler ke-109.Senyuman di TMMD
Ketika mendapat kabar kegiatan TMMD Reguler ke-109 tahun 2020 akan dipusatkan di dua kampung (Pantan Musara dan Kala Wih Ilang) sebagian warga di sana sujud syukur. Mereka punya harapan meraih kemakmuran dan hidup lebih baik dari yang sudah mereka rasakan selama ini.
Kegiatan TMMD Reguler ke-109 berlangsung saat negeri sedang dibalut Covid-19. Pelaksanaanya selama sebulan, 22 September sampai 21 Oktober 2020.
Seriuskah tim Satgas TMMD dalam melaksanakan kegiatan demi membantu rakyat ini? Untuk membuktikanya Tim Pengawasan dan Evaluasi (Wasev) program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) turun ke lapangan.
Tim dibawah komando Brigjen TNI Legowo WR Jatmiko yang datang dari Mabes melihat langsung apa yang dilakukan pasukan berpakaian loreng ini, serta apa dampaknya kepada masyarakat. Tim Wasev mendapatkan suara rakyat langsung dari akar rumput.
Sebelum digelar pertemuan dengan masyarakat di Pantan Musara, Dandim 0106 Aceh Tengah, Letkol. Inf Teddy Sofyan.S.Sos, kepada tim Wasev sudah memberi penjelasan, kegiatan yang mereka laksanakan bukan hanya fisik, namun ada non fisik.
Ada pelebaran jalan sepanjang 4.200 meter dengan lebar 6,5 meter. Jalan yang tanjakanya rawan kecelakaan dipangkas dan dilandaikan, demikian dengan penurunan yang tajam juga telah dimaksilmalkan untuk mudah dilalui kenderaan.
Kemudian jalan yang sudah dilebarkan itu dilanjutkan dengan pengerasan sepanjang 4.200 meter dengan lebar 4 meter. Di ruas jalan ini juga dibangun satu unit jembatan dengan lebar 4 meter, panjangnya 10 meter, dan pembuatan 4 unit gorong gorong.
Ada kisah unik soal jalan “maut” yang dikerjakan Satgas TMMD ini. Sebelum ruas jalan itu diperlebar dan diperbaiki, pasukan loreng dari Kodim 0106 Aceh Tengah jungkir balik di sana ketika meninjau lokasi awal.
“Anggota saya terjatuh saat pendakian yang tinggi dan licin. Tetapi saya tidak jatuh, karena ada anggota yang mendorong sepeda motor yang saya kendarai. Jalanya memang riskan,” sebut Mayor Inf Syamsirmas, SE, Kasdim 0106.
Pernyataan kasdim mengingatkan penulis yang juga pernah jungkir balik di ruas jalan ini, mengendarai sepeda motor ketika melakukan peliputan ahir tahun lalu.
“Karena ada anggota saya yang jatuh, saya tidak mau ada masyarakat yang juga terbalik lagi disana. Makanya jalan itu kita perbaiki, kita landaikan,” sebut Dandim dalam laporan kepada tim Wasev yang diikuti tepuk tangan warga di sana.
Selain kegiatan fisik, sebut Dandim Teddy, TMMD ini juga ada kegiatan non fisik berupa penyuluhan wawasan kebangsaan, penyuluhan kesehatan/KB, bahaya narkoba, pertanian dan penyuluhan terorisme dan faham radikal.
Dalam dialog dengan masyarakat, ketua tim Wasev, Brigjen Legowo menitip pesan, agar apa yang sudah dibangun melalui program TMMD ini dipelihara dengan baik, karena semuanya diperuntukan untuk masyarakat.
Tidak puas dengan harapan Brigejen Legowo, masyarakat yang hadir dalam pertemuan itu juga menyampaikan permintaanya.
“Kami bersyukur ruas jalan dan jembatan dibangun melalui TMMD, namun kurang sempurna kiranya jalan ini bila tidak ada aspal hitam diatasnya,” sebut Duwi Suprapto, Reje (Kepala Kampung) Pantan Musara, yang diikuti tepukan riuh hadirin.
Mendapat permintaan itu, tim Wasev juga tidak kehilangan akal dalam menjawabnya. “ Apa yang saudara minta dan saudara sampaikan, sudah didengar oleh pak Bupati,” sebut Brigjen Legowo, sambil melirik Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar yang duduk di sisi kananya dan kemudian melihat Danrem 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Sumirating Baskoro di sisi kirinya.
Selain kegiatan TMMD, seorang janda di sana mendapat berkah. Linangan air matanya dihapus pasukan berbaju loreng ini. Samsiyah warga Dusun Mekar Sari, Pantan Musara, mendapatkan bantuan pembuatan rumah.
Rumah yang dihuni Samsiyah bersama anak dan menantunya tidak layak untuk ditempati. Namun dia tempat mengantungkan nasibnya di sana. Tentara yang melakukan TMMD di sana ahirnya menyulap rumah janda yang bekerja serabutan ini.
Syamsiah mendapatkan bantuan rumah melalui kegiatan pembangunan rumah tidak layak huni (RTHL). Nenek ini merupakan satu diantara dua janda yang mendapat bantuan rumah dari TNI di Oktober 2020.
Dandim 0106 Aceh Tengah Letkol. Inf. Teddy Sofyan ketika meninjau pelebaran jalan TMMD Reguler ke-109 Pantan Musara- Kala Wih Ilang.Selamat Tinggal Masa Kelam
Ketika meninjau jembatan dan jalan yang dibangun TMMD Reguler ke-109 ini, Dialeksis.com, menanyakan soal aspal kepada Shabela Abubakar Bupati Aceh Tengah.
Sebelum penulis menanyakan kepada Bupati Aceh Tengah soal jalan aspal, penulis sudah dibisikan Suhermansyah, kepala Kampung Kala Wih Ilang, untuk kembali menanyakan soal jalan kepada bupati, walau masyarakat sudah memintanya dalam pertemuan dengan Wasev.
"Wih Ilang adalah kampung tua, sudah berdiri sejak tahun 60-an, sayang bila pembangunanya tertinggal. Saya minta tolong tanyakan kembali soal aspal kepada pak Bupati," sebut Suhermansyah.
“Ruas jalan ini tidak akan tahan lama bila tidak diaspal, juga harus ada parit disepanjang jalan,” sebut Shabela, Bupati Aceh Tengah setengah berbisik kepada Dialeksis.com, sambil mengerak kaki kanan, sepatunya mengais jalan yang masih bertanah ini.
Bila permintaan masyarakat soal aspal mampu terwujud, warga di sana akan sejahtera. Rata rata hasil kebun kopi masyarakat dalam satu hektarnya mencapai 800 kilogram kopi green bean. Masyarakatnya juga rajin.
Selain menanam kopi, disela sela tanaman kopi muda, mereka jadikan tanah subur itu sebagai penghasil kentang dan cabai, serta sayur mayur.
Sebenarnya dusun Kala Wih Ilang dan ujung barat Kampung Pantan Musara ini, kalau akses jalanya bagus, sudah lama warga disana sejahtera. Perkampunganya maju, masyarakat di sana sudah menikmati listrik.
Signal selular di kawasan hamparan kopi arabika Gayo ini juga bagus. Bahkan di Dusun Kala Wih Ilang sudah lama berdiri sekolah, Madrasyah Ibtidaiyah Swasta (MIS). Walau muridnya minim, namun sudah ada lulusanya.
Menurut Midun Sembiring, Kadus Kala Wih Ilang saat Dialeksis.com mengajaknya berkeliling di MIS tersebut, dia menyebutkan untuk saat ini murid kelas satu sampai kelas enam hanya 30 orang.
“Walau sedikit, namun setiap kelas ada muridnya. Ada yang empat, lima dan sepuluh orang. Gurunya juga ada 8 orang. 3 Diantaranya PNS dan 5 tenaga GTT,” sebut Midun.
Demikian dengan layanan kesehatan, walau di dusun Kala Wih Ilang tidak ada bidan, karena bidan berada di pusat Kampung Wih Ilang, dengan adanya jalan TMMD ini akan sangat memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan medis.
Kini jalan dan jembatan yang menjadi sumber masalah warga disana sudah disulap pasukan berbaju loreng melalui TMMD Reguler ke-109. Jalanya tidak lagi berkubang lumpur dan meniti jembatan “maut”. Bahkan kini banyak pihak yang melirik tanah di kawasan itu.
“Pasaran tanah kebun disini kini setelah dibukanya TMMD naik dua kali lipat, tetapi saya tidak mau jual. Karena ini sumber hidup saya, saat susah, jalanya rusak saya bertahan di sini, apalagi kini jalanya sudah bagus. Ya enggaklah, mana mungkin dijual,” sebut Aldi.
Warga di sana sudah mengukir sejarah masa kelam. Masa pahit itu sudah dihapus oleh tetesan keringat manusia berbaju loreng. Tetesan keringat yang mengering di pakaian loreng pasukan Satgas TMMD ke-109, kelak akan harum seperti wanginya kopi Gayo yang menjadi incaran dunia.
Kala Wih Ilang dan Pantan Musara bukan lagi menjadi kawasan yang terkurung dan terisolir. Selamat tinggal masa kelam. Prahara masa lalu akan berbuah kesejahteraan di masa depan. Terima kasih pasukan pengawal negara. Petani kopi di lahan subur ini akan mengingat tetesan keringat di baju lorengmu. (Bahtiar Gayo)