Kendala Politik Perempuan (Bagian 2)
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ampuh Devayan
Dialeksis.com| Dalam konstalasi politik Aceh Orde Reformasi, keterwakilan perempuan masih belum menggembirakan. Dalam lembaga legislatif, tercatat hanya 4 (empat) orang yang menduduki di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh hasil pelaksanaan Pileg 2009-2014. Mereka adalah Yuniar (Golkar), Liswani (PAN), Nurlelawati (Golkar), dan Nuraini Maida (Golkar).
Pada pemilu legislative 2014-2019 mengalami peningkatan, keterwakilan perempuan di parlemen Aceh berjumlah 12 orang dari 81 kursi. Mereka-mereka adalah Hj. Fatimah (Nasdem), Nurlelawati (Golkar), Fauziah HM Daud (Golkar), Nuraini Maida (Golkar), Hj. Yuniar SP (Golkar), Ismaniar (PAN), Liswani (PAN), Kartini Ibrahim (Gerindra), Darwati A. Gani/Irwansyah (PNA), Ummi Kalsum (PA), Siti Mahziah (PA), dan Dra. Mariati (PA).
Minimnya kaum perempuan terlibat dalam panggung politik Aceh disebabkan sejumlah kendala. Baik bersifat internal berkait kompetensi personal kaum perempuan itu sendiri maupun secara eksternal sebagai pengaruh kultur yang masih menganggap perempuan tidak boleh berperan dalam ranah public (politik), dan hanya menjadi wilayah kaum laki-laki.
Mengutip sejumlah pernyataan dari diskusi yang dilaksanakan Balai Syura Ureung Inong Aceh bekerjasama dengan Internasional Republican Institute (4 Maret 2017) lalu, terungkap bahwa pilihan-pilihan perempuan terutama yang sudah berkeluarga, masih kuatnya pengaruh suami dan pengaruh lingkungan yang membentuknya. Karenanya, wajar bila pilihan-pilihan politik perempuan cenderung tidak serta merta memberikan pilihan pada kaumnya juga.
Kendala lain minimnya partisipasi perempuan di ranah politik praktis (public) adalah masih kuatnya paradigma dari kaum politikus laki-laki yang beranggapan bahwa perempuan lebih cocok berada di rumah, dapur, kasur (domestic). Kecuali itu masih kuatnya budaya partiarki membuat sulitnya penerimaan perempuan di politik praktis oleh sebagian kaum lelaki. Tidak mengherankan ketika perempuan masuk ke organisasi politik, justru realitas yang terjadi adalah pemarginalan perempuan di partai tersebut.
Banyak perempuan Aceh hanya sebagai ‘pelengkap’ saja di partai politik, bukan bertujuan memberikan kesempatan berkreatifitas serta memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di ranah publik. Perempuan sering dijadikan alat politik para kaum laki-laki. "Keterlibatan perempuan dalam ranah politik hanya sebatas kelengkapan persyaratan semata. Perempuan hanya dijadikan tameng dalam menyusun kekuatan massa menjelang pileg atau pilkada," kata Samsul Bahri (klikkabar.com, 26/10/2016,).
Faktor internalnya, kurangnya kehadiran partisipasi perempuan di ranah politik karena masih rendah rasa percaya diri. Boleh jadi akibat kopetensi personalnya, termasuk modalitas sosial, jaringan, dan finansial yang terbatas. Seperti diungkapkan Ratnalia Indriasari, Direktur Jaringan Survei Inisiatif, bahwa keterwakilan perempuan di partai politik Aceh dan di parlemen karenba masih lemahnya kesadaran politik perempuan itu sendiri, di samping partai politik yang tidak melakukan kaderisasi, khususnya kaum perempuan.
Kendala lain kurangnya muncul elite perempuan dalam politik karena kekecewaan dari kaum perempuan terhadap kaumnya sendiri. Ketika kaum perempuan diberikan kesempatan memimpin, faktanya tidak memperjuangkan nasib kaumnya sendiri. Mereka lebih nyaman untuk merealisasikan kebutuhan dirinya sendiri daripada kaumnya.
Bahkan muncul istlah, "Ooh, begitu model pemimpin perempuan, tidak memperjuangkan kaumnya sendiri". Hal menarik lainnya adalah standar menjadi pemimpin perempuan di Aceh, bahwa untuk menjadi pemimpin perempuan haruslah seperti ulama atau negarawan.
Keengganan kaum perempuan terlibat praktis dalam dunia politik juga akibat keterbatasan finansial untuk mengimbangi perilaku elit politik dari kalangan kaum laki-laki ketika menerapkan money politic (politik uang). Sehingga banyak kaum perempuan, menunda keinginan mereka.
Suatu hal dari karakter kaum perempuan, adalah tidak cenderungabn melakukan money politic (politik uang). Belum lagi partai politik yang mengusung dan mendukung, terkesan tidak serius memperjuangkan kaum perempuan untuk menduduki jabatan tertentu. Sehingga dalam tidak all out dalam melakukan kerja politik.
Menurut Lia Wulandari, peneliti Perludem, bahwa perempuan tidak mudah meraih jabatan-jabatan di partai politik, publik, dan birokrasi. Hal utama, menurutnya, akibat tidak menguasai struktur politik, sehingga gampang dikalahkan dalam persaingan politik dan dijabatan publik.
Selain itu, perempuan hidup dalam lingkungan budaya partiarki sehingga cenderung ditolak. Standar moral yang masih melekat kuat pada kaum perempuan juga menjadi pertimbangan sehingga cenderung berhati-hati dalam meraih jabatan.
Belum signifikannya keterwakilan perempuan dalam politik Aceh, termasuk partisipasi kaum perempuan sebagai kandidat Pilkada, terutama sebagai calon bupati/wakil bupati ataupun calon walikota/wakil walikota. Padahal dari posisi jumlah pemilih, suara perempuan selalu strategis dalam menentukan pilihan-pilihan dan menjadi peta sasaran dari target yang diperhitungkan untuk dijangkau oleh kandidat Pilkada.
Pilkada Aceh tahun 2006 mencatat bahwa partisipasi perempuan sebagai kandidat adalah sebesar 1,93 persen. Pada Pilkada 2012 jumlahnya meningkat menjadi 7,82 persen, dan tahun 2017 lalu mencapai 6,25 persen. Dari 260 orang (130 pasangan) calon kepala daerah yang mendaftar ke KIP, masih didominasi kaum laki-laki.
Edukaksi Politik Perempuan
Potensi perempuan tidak dapat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Meksiko 1975 tentang Kesetaraan Perempuan (Equality of Women) dalam urusan politik, bahwa kaum perempuan menjadi aktor vital dalam upaya mempromosikan kedamaian dunia dalam berbagai sektor. Indonesia sebagai salah satu dari 101 negara yang turut meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menjadikan konvensi tersebut sebagai landasan dalam pelaksanaan hak-hak perempuan untuk pemenuhan standar hak asasi manusia.
Dalam perkembangannya, kehadiran kehadiran Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan progress yang memberikan ruang bagi perempuan terlibat di partai politik sebesar 66 persen Saat ini PSI memiliki anggota sebesar 332.172 orang di seluruh Indonesia ini lolos sebagai peserta Pemilu 2019. Partai lain yang peduli keterwakilan perempuan di internal partainya yaitu Gerindra 38,78 persen dan PDIP sebesar 38,46 persen.
Selain sumberdaya dan manajemen, kunci PSI melenggang bebas sebagai peserta pemilu 2019, tidak lain karena pemenuhan keterwakilan keanggotaan perempuan di partai ini, dan separuh lebih anggotanya adalah perempuan. Partai ini lolos dengan keterwakilan 66, 66 % perempuan. baru PSI memiliki keberanian dan spirit anak muda.
Kehadiran PSI di kancah politik nasional, kata Norma Manalu, seorang aktivis perempuan, patut diapresiasi. Hal ini membuktikan keberhasilan mereka untuk melibatkan perempuan yang selama ini belum mampu dicapai oleh partai politik lainnya.
"Sekaligus membantah bahwa sulit melibatkan perempuan dalam partai politik. Semoga aja keterwakilan perempuan tidak hanya di kepengurusan tapi bisa mencapai tahapan akhir sebagai anggota legislatif bila PSI mendapatkan kursi di pemilu nanti. Begitu juga dengan kader perempuan di partai politik lainnya. Sebab, perwakilan perempuan perlu dilihat sebagai kebutuhan dalam pembangunan, gak cukup kalau cuma sekedar persyaratan saja" paparnya.
Sementara menurut akademisi dari Universitas Syiah Kuala, Ria fitri, bukan hanya kehadiran perempuan dalam parpol dan parlemen, melainkan bagaimana pencerdasan perempuan dalam politik. Karenanya tugas partai melakukan edukasi politi untuk mencerdaskan perempuan berpolitik
. "Untuk niat itu kita bisa lihat dari apakah partai memberikan pendidikan politik terutama pada perempuan" tandasnya.
Dalam kontek Aceh, menarik diamati fenomena hadirnya perempuan dalam kancah demokrasi. Seperti Pilkda, bahwa dari empat orang calon wakil kepala daerah perempuan, hanya satu yang berhasil memenangkan pertarungan.
Tercatat Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai wakil walikota Banda Aceh yang terpilih berpasangan Mawardi Nurdin sebagai walikota Banda Aceh untuk periode 2006-2012. Kedua, pemilih perempuan di beberapa kabupaten/kota yang memiliki calon perempuan, baik sebagai walikota/wakil walikota atau bupati/wakil bupati, tidak serta merta sepenuhnya pemilih perempuan juga memilih kandidat berdasarkan preferensi kesamaan kelamin. Dengan kata lain sentiment politik sesama perempuan tidak terjadi secara otomatis.
Dapat diasumsikan, bahwa kompetisi dalam politik, tidak memiliki pengaruh signifikan, apakah calon dari kalangan perempuan atau kalangan laki-laki yang akan berhasil sebagai pemenang. Untuk meraih suara dan memenangkan pertarungan lebih pada kompetensi dan kemampuan strategi dan membangun empati para pemilih secara optimal. Artinya, semakin baik komunikasi serta kedekatan kandidat degan pemilih, akan semakin memberi peluang mendapatkan dukungan untuk memenangkan kompetisi tersebut.
Agaknya itu menjadi salah satu argumentasi Ria Fitri , dosen pada Fakultas Hukum Unsyiah, bahwa pentingnya edukasi politik perempuann sebagai kaderisasi agar keterwakilan perempuan menjadi siginifikan. Disebutkan, ada tiga partai besar yang menempatkan perempuan cukup baik. Namun harus dapat dipastikan posisi mereka dalam struktur kepengurusan partai agar dapat bersuara.
Jadi intinya bukan hanya sasaran keterwakilan perempuan saja di partai tetapi bagaimana perempuan menjadi berdaya guna dan berhasil guna dalam perpolitikan.
Sementara, pegiat pemilu pada jaringan pendidikan pemilih untuk rakyat (JPPR), Mariani, menyatakan bahwa Penerapan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan perwujudan 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif, masih sebatas memperhatikan bukan mewajibkan bagi seluruh parpol.
"Ketidak tegaskan sanksi untuk partai politik bila tidak mampu memenuhi kuota perempuan hal ini terjadi. Soal kesiapan perempuan calon legislatif di partai politik juga tidak bisa lepas dari partai masing-masing, yaitu banyak partai yang tidak mampu mengisi kuota perempuan," paparnya.
Jadi penerapan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017tersebut, sangat penting untuk disosialisasikan. Hal ini menjadi kewajiban parpol untuk mampu mengahadirkan para perempuan politik yang berkualitas dan berintegritas.
Menurut Marini, minimnya keterwakilan perempuan di parpol juga disebabkan metode pemilu dengan suara terbanyak. Sehingga banyak perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial, tidak memiliki kesempatan mereka di ruang-ruang publik. Bahkan isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat di masyarakat bila memasuki tahun politik, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan.
Masyarakat juga masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya. Kecuali itu, tantangan perempuan saat ini adalah minimnya kaderisasi pengurus perempuan. "Proses kaderisasi bagi perempuan politik yang memang memiliki kemauan kuat untuk masuk ke dunia partai politik, sangat penting. Selain itu perlunya pemahaman subtansi isu-isu bagi perempuan dan laki-laki sebagai upaya untuk menghilangkan budaya patriarki yang ada selama ini," paparnya.
Pernyataan serupa dikemukakan politikus dari Partai Golkar, Yuniar. Katanya, keterwakilan perempuan di partai dan parlemen jauh dari harapan dan cita-cita perempuan itu sendiri. Di sisi lain komitmen dari partai sendiri untuk peduli dan serius memperjuangkan hak-hak perempuan masih sebatas kebijakan saja, tanpa menunjukan bukti melalui tindakan.
"Keterwakilan perempuan membawa kepentingan dan kebutuhan perempuan di dalam kebijakan. Namun di lain pihak, sistem politik dan parpol masih menjadi hambatan atas keterlibatan perempuan dalam politik. Implementasi kebijakan kuota perempuan dalam Pemilu Legislatif 2009 juga sesungguhnya belum dijalankan sepenuhnya" ungkap Yuniar. [ ]