kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Kala Aceh Disebut Tak Toleransi

Kala Aceh Disebut Tak Toleransi

Rabu, 18 Desember 2019 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIELEKSIS.COM - Nama Aceh kembali mencuat di berbagai media setelah Kementerian Agama merilis laporan tahunan indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) sepanjang 2019. 

Provinsi Aceh menempati nilai indeks paling rendah di bawah rata-rata nasional sebesar 60,2 persen. Sementara hasil nilai rata-rata nasional 73.83 persen.

Data itu mengecewakan banyak kalangan di provinsi yang pernah mendapatkan penghargaan terbaik kerukunan umat beragama pada tahun 2018 lalu. 

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh terkejut dengan hasil laporan tahun indek KUB yang dirilis secara resmi oleh Kementerian Agama.

Hingga saat ini tak ada kasus atau laporan tentang rusaknya kerukunan beragama di provinsi yang menerapkan Syariat Islam itu.

Semua agama yang ada di Aceh, mereka tentram saja dalam melaksanakan ibadah, perayaan keagamaan di Aceh juga berlangsung dengan baik tak ada yang menganggu.

Justru laporan indeks KUB Kementerian Agama ini yang membuat warga Aceh jadi tak nyaman.

"Saya tidak mengerti hasil laporan indeks KUB yang dikeluarkan Kementerian Agama. Selama ini tidak masalah dengan kerukunan beragama, aman-aman saja," kata Nasir Zalba Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) saat dihubungi Dialeksis.com.

Nasir Zalba mengaku, kerukunan umat beragama di Aceh tak perlu diragukan lagi, sampai saat ini berlangsung sangat baik. Hubungan antara umat muslim dan nonmuslim berjalan sangat harmonis tidak pernah terjadi bersinggungan.

"Tidak pernah ada laporan kita nonmuslim tidak bisa beribadah, mereka hidup di Aceh yang menerapkan Syariat Islam bisa juga merayakan hari keagamaan mereka, tidak masalah selama ini," Nasir Zalba.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mempertanyakan tolak ukur indeks kerukunan beragama di Aceh itu rendah, pasalnya umat nonmuslim baik-baik saja beribadah dan bersosial dengan masyarakat muslim di Aceh.

"Kita pertanyakan ukuran indeks yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama, ini bisa merusak citra Aceh," katanya.

Sepanjang sejarah belum pernah ada konflik keagamaan yang serius antar umat beragama di Aceh. 

Umat nonmuslim bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai dengan masyarakat Aceh yang mayoritas. 

Saat ini masyarakat Aceh hidup semangat multikultural yang didasari prinsip kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati. 

Hampir tak pernah terjadi konflik antar etnik maupun konflik agama, multikultural di Aceh paduan budaya yang sangat menghormati suku dan agama lain.

Menurut Ketua Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh Abdul Razak, hubungan kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama di Aceh bisa duduk semeja. 

"Diskusi keagamaan juga bisa berlangsung di Aceh, ini artinya kerukunan beragama sangat bagus," kata Abdul Razak kepada Dialeksis.

Semuanya instansi pemerintah, kampus, organisasi masyarakat, dan organisasi mahasisa gencar mengajak menciptakan suasanan kehidupan beragama yang kondusif agar tak terjadi konflik agama dan suku.

"Kami mengingatkan jangan sampai laporan Kemenag itu bisa merusak keberagaman yang sudah berlangsung dengan baik ini, kita (Aceh) tidak punya sejarah konflik agama yang parah," tambah Abdul Razak.

Cara Pemerintah Daerah Menjaga Kerukukan 

Kerukunan hidup antar suku, golongan, maupun bangsa sangat dianjurkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan di masyarakat. 

Kerukunan itu akan mencegah terjadinya perselisihan dan perpecahan yang membawa dampak buruk bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Bupati Aceh Barat Daya Ramli MS secara tegas meminta agar seluruh pemuluk agama di wilayah itu tidak dalam menjalankan ibadah sesuia dengan keyakinan masing-masing.

"Pemerintah Aceh Barat menjamin setiap pemeluk agama beribadah sesuai keyakinan agamanya, saya melindungi semua masyarakat dalam beribadah di tempat masing-masing," kata Ramli dikutip dari Antara.

Akan tetapi seluruh pemeluk agama di Aceh Barat agar tidak mencela agama lain, tetap menghormati sikap toleransi agar Aceh ini tetap rukun.

Selain Ramli, Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib disetiap tempat selalu mengingatkan menjaga kerukunan antar umat beragama sangat penting. 

Meski di wilayah itu tak pernah diterpa masalah kerukunan beragam, Muhammad Thaib berharap nilai toleransi harus tetap dijaga. 


"Kerukunan yang tercipta selama ini diharapkan bisa terus terjaga dengan baik, saya selalu mengingatkan kepada warga tetap menghormati perbedaan, jangan sampai mencela agama lain." kata Muhammad Thaib pria yang akrab disapa Cek Mad. 

Sejarah Kerukunan Beragama Aceh

Peunayong kota tua di pusat ibu kota Aceh ditempati oleh mayoritas nonmuslim, mereka warga Tionga yang sudah lama menetap di Aceh.

Kerukunan beragama di Peunanyong menjadi contoh bagi Indonesia, sebuah perbedaan mampu menyatu dalam kerukunan yang banyak dikagumi oleh negara lain. 

Ditengah-tengah provinsi lain diterpa gesekan antar etnis, suku dan agama namun kebersamaan dalam keberagaman di Peunyong tetap utuh terjaga. 

Sejarah mengungkapkan hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Aceh sudah terjalin pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda abad ke-17 Masehi. 

Pada masa itu, saat itu etnis Tionghoa yang datang dari Tiongkok berprofesi sebagai pedagang musiman maupun permanen.

Para pedagang tersebut membangun rumah tinggal yang berdekatan satu dengan lainnya, mereka sering berintraksi dengan warga Aceh. 

Meski kemudian Aceh menerapka syarita Islam justru komunitas nonmuslim merasa nyaman. Mereka bebas menjalankan aktivitas ibadahnya dengan tenang. 

Tokoh Kristen Tolak Survei Kemenag

Pendeta drh Idaman Sembiring tak terima hasil surbei Kementerian Agama 2019 itu. Menurutnya, umat beragama di Aceh sangat toleransi, mereka bisa hidup berdampingan, harmonis, nyaman, aman, dan damai, walaupun di Aceh berlaku syariat Islam.

Dalam pertemuan okoh lintas agama dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh di Banda Aceh, Senin (16/12/2019) lalu, drh Idaman Sembiring mengaku penerapan Syariat Islam di Aceh tak menganggu warga nonmuslim, malah mereka lebih taat terhadap agamanya.

"Syariah Islam itu tak berlaku bagi nonmuslim. Bagi kami umat Kristen merasa lebih Kristen ketika hidup di Aceh yang berlaku syariat Islam," kata Idaman Sembiring, dikutip dari AcehTrend.

Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan, Kerukunan Umat Beragama (KUB) itu menyoroti soal tidak boleh merendahkan agama satu atas agama yang lain. 

Menurut dia, ini terlihat dengan adanya kesetaraan para pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya dan tidak mencampuradukkan dan melanggar norma-norma agama masing-masing.

Sementara itu Ketua Tim Survei KUB 2019 Prof Dr. Adlin Sila menegaskan temuan survei menunjukan seluruh provinsi di Indonesia indeks kerukunannya tinggi.

"Tidak ada satupun temuan indeks yang menyatakan ada daerah yang tidak rukun atau tidak toleran. Semua daerah rukun dan toleran," tegas Adlin.

Perbedaan indeks antara satu daerah dengan daerah lain, Adlin Sila mengatakan, itu lebih pada potret adanya dinamika di masing-masing daerah. Data yang didapat dalam survei ini juga tidak mewakili agama, melainkan area. 

"Jadi perbedaan indeks bukan karena agama, tetapi faktor sosial demografis, budaya, dan pemahaman atas peraturan perundang-undangan yang ada," ujarnya.

Hasil survei ini bukan untuk membandingkan satu daerah dengan daerah lain.  "Kerukunan sangat kontekstual, jadi tidak bisa dibanding-bandingkan," jelasnya. 




Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda