kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Jalan Mundur Kinerja BPMA, Capaian Tak Terkejar

Jalan Mundur Kinerja BPMA, Capaian Tak Terkejar

Sabtu, 18 Januari 2020 19:01 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi Aceh, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dibentuk untuk melakukan pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Peraturan tersebut merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 160 undang-undang ini menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam migas yang berada di wilayah darat dan laut Aceh.

Jika ditilik pada ketentuan tersebut, masyarakat Aceh tentu berbangga hati dengan hadirnya lembaga yang memiliki 'segudang' kewenangan itu. Sudah pasti pula, terselip harapan dan asa bagi masyarakat Aceh, kehadiran lembaga pengawas migas itu dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan bagi warga di provinsi ujung barat republik ini.


Bak Macan Ompong

Namun, fakta berbicara lain. Dalam perjalanannya tak banyak yang bisa dilakukan oleh BPMA. Lembaga ini tak mampu berbuat banyak mengingat kewenangan yang telah diatur pada PP No 23 Tahun 2015 ternyata tergerus dan berbenturan pada puluhan peraturan menteri terkait lainnya, sehingga berdampak pada terkendalanya operasional lembaga tersebut.

Hal ini terungkap pada pertemuan antara ketua dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan manajemen BPMA, Kamis, (2/1/2020) lalu. Dalam pertemuan tersebut, BPMA mengeluhkan kendala operasional yang dialaminya yang diakibatkan adanya peraturan menteri (Permen) dan lembaga yang isinya belum sesuai dengan kewenangan yang dimiliki BPMA seperti yang termaktub pada PP No 23 Tahun 2015.

"Hasil inventarisir kami, ada 40 peraturan kementrian dan kelembagaan terkait lainnya, termasuk tujuh aturan baru yang isinya belum sejalan dengan kewenangan BPMA yang terdapat dalam PP No 23 Tahun 2015," kata Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran BPMA, Afrul Wahyuni pada pertemuan dengan ketua DPD RI, La Nyalla Mattaliti, seperti dikutip dari portal serambinews.com, Kamis, (2/1/2020).

Benturan aturan tersebut, membuat kewenangan BPMA dalam mengambil keputusan dan kebijakan menjadi terhambat.

"Tapi karena 40 Permen, termasuk tujuh buah aturan kementrian ESDM yang baru keluar belum menyebutkan nama BPMA selaku pengelola migas di Aceh, ini membuat BPMA terkendala saat pengambilan keputusan dengan pihak perusahaan tambang migas," terang Afrul. 

Terbatasnya kewenangan BPMA juga disuarakan oleh anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman. Kepada media ini, H. Sudirman atau yang akrab disapa Haji Uma menyebutkan operasional BPMA tidak secara fundamental atau permanen seperti yang diharapkan. 

"Harapan kita BPMA menjadi satu fasilitator untuk mengembangkan pertambangan di Aceh, namun belum sesuai harapan kita, belum sesuai dengan UUPA. BPMA masih dibawah SKK Migas, sehingga semua penentuan perizinan ada pada SKK Migas," ujar H. Sudirman saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Sabtu, (4/1/2020). 

Menurutnya, BPMA hanya mampu memberikan sebatas rekomendasi-rekomendasi, namun secara tupoksi, lanjut dia, lembaga tersebut tidak bisa bergerak luwes sesuai harapan seperti yang tercantum pada UU kekhususan yang dimiliki Aceh. 

"Faktornya ya itu tadi. Kewenangan yang telah diatur pada PP No 23 Tahun 2015 terbentur pada aturan 40 Permen terkait, sehingga banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan namun terkendala. BPMA tidak ubahnya seperti sarana dan prasana pelengkap saja, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan seperti yang diharapkan. Kita berharap BPMA menjadi garda terdepan dalam mempercepat pembangunan daerah melalui sektor pertambangan. Harusnya BPMA menjadi lokomotif untuk hal ini," jelas Haji Uma.

"Koordinasi boleh dengan pusat, tapi Ini kan masih dibawah tekanan pusat. Jadi persis seperti istilah 'kepala dilepas, namun ekor tetap dipegang," tambahnya memberi tamsil. 

Terhambatnya operasional BPMA diperparah dengan kacau balau nya pengelolaan internal dalam lembaga itu. Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi Aceh Rustam Effendi yang menilai bahwa internal Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) belum solid sehingga belum sepenuhnya mampu memperjuangkan kepentingan yang Aceh miliki.  "Internal BPMA belum solid. Manajemen BPMA harus memihak pada kepentingan Aceh dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh daerah ini. Maksud saya harus memiliki visi membangun Aceh, termasuk memperjuangkan kewenangan yang Aceh punya," jelas Rustam Effendi kepada Dialeksis.com, Selasa, (24/12/2019).

Dia menyebutkan dengan segala kewenangan dan potensi yang dimiliki Aceh, seharusnya BPMA dapat berbuat lebih untuk mewujudkan kepentingan daerah berjuluk serambi mekah ini.  "Kewenangan ada, jalankan kewenangan itu. Perteguh itikad politik, perkuat komitmen. Jalani itu semua. Apalagi yang kurang, potensi ada, hak ada, kewenangan ada. Semua ada. Tinggal di kita, punya sikap gak," tandas dia.

Desakan BPMA agar segera melakukan langkah evaluasi internal juga disuarakan oleh peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Nasrul Rizal. 

Dia menilai pasca Teuku Muhammad Faisal dilantik sebagai 'nakhoda' yang baru bagi BPMA, lembaga yang mengawasi persoalan migas di Aceh itu harus segera melakukan langkah evaluasi internal dan penyegaran struktur organisasi sehingga mampu melakukan percepatan kinerja dan bisa menunjukkan performance yang memuaskan terhadap peran dan fungsi yang melekat secara kelembagaan. 

Secara khusus dia menyebutkan salah satu bidang yang menurutnya sangat vital dan harus segera dilakukan perombakan struktur. 

"Khususnya Kedeputian Dukungan Bisnis perlu dilakukan penyegaran agar lebih dimaksimalkan capaian-capaian yang telah disusun oleh BPMA," ujar Nasrul Rizal, Senin (23/12/2019). 

Menurut dia, kesuksesan BPMA sangat tergantung pada bidang bisnis sehingga dibutuhkan SDM yang memiliki background dan keahlian bisnis yang teruji. "Bidang bisnis merupakan 'jantung' bagi kesuksesan BPMA. Jadi harus orang yang memiliki background dan keahlian bisnis yang teruji plus berpengalaman yang menangani bidang tersebut," kata peneliti JSI Nasrul Rizal. 


Respon BPMA

Pada awal Desember 2020, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) membentuk Tim Realignment (Penyusunan kembali-red) untuk menyelesaikan sejumlah persoalan internal yang dialami BPMA. Melalui keputusan No Kep 0068/BPMA/2019/BO, Kepala BPMA, Teuku Mohammad Faisal menunjuk 6 orang pegawainya masuk dalam tim tersebut.

"Menunjuk tim Realignment BPMA sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini," sebut Teuku Mohammad Faisal dalam keputusan bertanggal 3 Desember 2019 itu, seperti yang telah ditulis media ini pada Senin, (6/1/2020).

Tim yang dibentuk, lanjut Kepala BPMA, diberi mandat untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan yang ada, diantaranya pembuatan proses bisnis, menyelesaikan matriks kompetensi posisi dan jabatan pegawai, melaksanakan evaluasi struktur organisasi, memberikan rekomendasi struktur organisasi, melakukan finalisasi Kepmen 8083, dan melakukan evaluasi norma dan syarat kerja.

Jika dilihat pada aspek mandat dan kewenangan yang diberikan kepada Tim Realignment, besar kemungkinan kebijakan pembentukan Tim Realignment merupakan respon atas desakan, dan tindak lanjut dari masukan serta kritik publik terhadap kinerja BPMA. 

Untuk mengetahui bagaimana capaian yang telah diraih Tim Realignment, secara khusus media ini berusaha menemui Ketua Tim Realignment BPMA, Muhammad Najib. Meski telah disepakati jadwal untuk bertemu pada 14 Januari 2019, namun urung terlaksana karena terbentur acara meeting yang harus diikuti Muhammad Najib. 

Pun demikian, Dialeksis.com berhasil menemui staf komunikasi dan humas BPMA Tiara Fatimah. Menurutnya, selama ini BPMA memiliki irama kerja yang baik. Selama ini, kata Tiara, tidak merasakan adanya suasana yang menunjukkan kacaunya internal BPMA.

"Kita tetap on the track kok. Jika ada permasalahan, kita tetap menggunakan mekanisme diskusi ditingkat internal. Bisa saya katakan, internal kami solid dan tim work kami bagus," ujar Tiara.

Ia menilai, kalaupun ada pandangan publik yang melihat kinerja BPMA tidak bagus, menurutnya itu sah-sah saja. 

"Itu kan pandangan orang yang tidak mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya," tukas dia.

Terkait dengan pembentukan Tim Realignment, Tiara menjelaskan tim tersebut dibentuk untuk melakukan percepatan kinerja internal BPMA.

"Sejauh ini mereka masih bekerja, jika pun ada pergantian posisi, lihat di website BPMA saja," jelas Tiara.

Dia melanjutkan keberadaan Tim Realignment merupakan kebijakan yang biasa-biasa saja, dimana semua lembaga mungkin akan melakukan hal yang sama.

"Jadi itu tidak mempengaruhi kinerja kami secara kelembagaan," imbuh Tiara.

Lebih lanjut ia menjelaskan, sepengetahuan dirinya tidak ada perubahan struktur pasca Tim Realignment dibentuk. 

"Untuk saat ini belum. Lebih jelasnya lihat saja informasi yang ditampilkan pada website BPMA," kata perempuan yang akrab di sapa Tere ini.

Tiara mengaku dengan usia kurang lebih 5 tahun perjalananannya, masih ada beberapa kekurangan sana sini yang dialami BPMA.

"Namun dibalik itu semua, kita tetap akan terus berusaha maksimal. Ini juga sudah maksimal, pokoknya gas poll," ujar Tiara.

Ia juga meminta dukungan media untuk dapat memberitakan hal-hal yang bersifat positif terhadap citra Aceh sehingga dapat menciptakan citra Aceh yang ramah terhadap investasi.

"Kita butuh support pastinya. Kalau misalnya mencitrakan Aceh ramah terhadap investasi darimana coba, kan lewat media," ucap nya.

Tiara kembali menegaskan iklim kerja di BPMA cukup sehat. Segala sesuatu yang menyangkut permasalahan, lanjut dia, pasti didiskusikan.

"Saya bingung juga ketika ada orang yang berpikir aneh-aneh tentang BPMA. Ketika ada masalah, segala sesuatunya kita diskusikan. Jadi manajemen nya se sehat itu. Pokoknya semuanya berlangsung baik-baik saja," pungkas Tiara.

Terkait dengan proses rekruitmen, BPMA tetap mengikuti aturan dan mekanisme yang berlaku.

"Kita open kok. Kita transparan kalau misalnya ada proses rekruitmen," tegas dia.

Tiara memastikan, proses perencanaan yang dilakukan BPMA tetap dilakukan berdasarkan Blue Print yang telah disusun.

"Pasti punya di divisi masing-masing. Kalau ditanya apa detilnya, tunggu tanggal mainnya," ucap Tiara.

Sebagai sebuah lembaga yang baru dibentuk, dapat dimaklumi 

Apapun itu, dibalik dinamika dan segala persoalan yang dihadapinya, masyarakat Aceh menaruh harapan besar pada BPMA dapat memberikan sumbangsih nyata pada pembangunan Aceh dan pastinya bermuara pada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh umumnya. 

Sebagai sebuah lembaga yang masih berusia muda dan memiliki kewenangan mengelola industri hulu migas di Aceh, publik berharap BPMA dapat melibatkan berbagai pihak untuk bersama-sama mewujudkan mimpi dan asa masyarakat Aceh untuk hidup lebih sejahtera. Semoga.

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda