DIALEKSIS.COM | Indepth - Keindahanbatu giok Aceh sempat memikat mata kolektor nasional beberapa tahun silam. Namun di balik gemerlap batu hijau yang memesona itu, tersimpan potensi ekonomi yang belum tergarap maksimal.
Tim Jaringan Survei Inisiatif (JSI) bekerja sama dengan redaksi Dialeksis melakukan penelusuran terhadap jejak dan potensi batu giok di sejumlah wilayah Aceh. Fokus utama dari survei ini adalah membuka jalan agar batu giok bukan hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga penggerak ekonomi lokal yang terstruktur dan berkelanjutan.
Direktur Eksekutif JSI, Ratnalia Indriasari, menjelaskan bahwa hasil tracking data berbasis Badan Pusat Statistik menunjukkan setidaknya lima wilayah di Aceh memiliki potensi giok yang signifikan. Wilayah itu antara lain: Kabupaten Nagan Raya (khususnya Kecamatan Beutong), Kabupaten Aceh Tengah (termasuk Sungai Lumut), Kabupaten Gayo Lues, serta Kecamatan Geumpang di Kabupaten Pidie.
“Data tersaji dari BPS menunjukan potensi ekonomi giok Aceh sangat menjanjikan untuk dikembangkan sebagai nilai jual tinggi. Untuk itu penting untuk pemerintah peduli dan serius mengelola dan memastikan giok Aceh menjadi bernilai jual ketika bagus cara pengelolaannya,” ujar Ratnalia kepada Dialeksis.
Hal terpenting menurut JSI sudah menunjukkan indikasi kuat bahwa giok Aceh masih menyimpan daya tarik ekonomi yang besar. Di sejumlah titik, masyarakat masih secara tradisional menambang atau mengumpulkan batu giok dari aliran sungai dan lereng bukit. Sayangnya, belum ada tata kelola resmi yang dapat menjamin perlindungan lingkungan maupun meningkatkan nilai ekonominya secara maksimal.
Kabupaten Nagan Raya menjadi salah satu wilayah yang dianggap paling siap mengembangkan potensi giok secara terintegrasi. Bupati Nagan Raya, Dr. Teuku Raja Keumangan, S.H., M.H., menyebut pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah strategis agar giok menjadi ikon baru ekonomi daerah. Salah satunya adalah pembangunan Masjid Giok, yang kini telah selesai bagian interiornya dan akan dilanjutkan untuk bagian eksterior.
“Kami tidak hanya bicara soal eksplorasi, tetapi juga hilirisasi dan branding. Pembangunan Masjid Giok adalah contoh nyata komitmen kami. Ini bukan sekadar rumah ibadah, tetapi simbol peradaban, keindahan, dan ekonomi kreatif berbasis kekayaan lokal,” tegas TRK.
Ia menambahkan, kehadiran Masjid Giok terbukti telah meningkatkan kunjungan ke Nagan Raya dan menjadi magnet wisata religi. Pemerintah daerah juga mendorong pelaku UMKM memproduksi kerajinan giok seperti cincin, gelang, dan miniatur patung.
“Produk giok lokal kami sudah mulai mendapat pesanan dari luar negeri. Ini peluang yang harus kita tangkap dengan profesionalisme,” ungkap TRK.
Menata Ekosistem Giok dari Hulu ke Hilir
Ratnalia melihat potensi ekonomi giok tidak hanya dari sisi penambangan, melainkan juga dari rantai pasok dan sektor ekonomi kreatif.
“Kita perlu membangun ekosistem. Mulai dari penambangan yang ramah lingkungan, pelatihan pengrajin, akses permodalan, hingga promosi ke pasar luar negeri. Apalagi permintaan pasar internasional masih terbuka lebar, terutama dari Tiongkok, Taiwan, hingga negara-negara di Timur Tengah,” jelasnya.
Upaya untuk mendukung pengrajin juga mulai tampak. Pada tahun 2024, Dekranasda Aceh menyerahkan bantuan peralatan kepada kelompok pengrajin giok di Beutong, sebagai sinyal kuat bahwa pemanfaatan giok kini mulai digerakkan dari akar rumput.
“Kalau dulu orang jual giok mentah dengan harga murah, sekarang kita arahkan agar mereka mengolahnya terlebih dahulu. Nilai jualnya bisa meningkat 5 sampai 10 kali lipat,” imbuh Ratnalia.
Namun, di balik segala potensi itu, terdapat tantangan besar seperti soal legalitas tambang rakyat dan tata kelola lingkungan. Hingga saat ini, mayoritas aktivitas tambang giok masih berlangsung tanpa izin resmi.
“Kami menyarankan adanya pilot project tambang rakyat berbasis koperasi. Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan kementerian terkait untuk memberikan legalitas, pelatihan, dan pengawasan. Ini akan menjamin keberlanjutan dan keamanan kerja,” tutur Ratnalia.
Menanggapi hal ini, Bupati TRK menegaskan bahwa Pemkab Nagan Raya telah menjajaki komunikasi dengan Dinas ESDM Aceh dan Kementerian ESDM untuk membuka jalur legal eksplorasi giok.
“Kami ingin masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi tanpa harus berhadapan dengan hukum. Legalitas penting, tapi kita juga harus fasilitasi kemudahan berusaha,” katanya.
Suara Pelaku Usaha
Potensi batu giok Aceh juga mendapat sorotan dari kalangan pelaku usaha. Vandi Vahlevi, seorang pengusaha batu cincin dan giok asal Aceh, menilai bahwa pasar batu giok sebenarnya belum mati yang mati adalah sistem distribusi dan promosi yang stagnan.
“Kualitas giok Aceh tidak kalah dengan giok Myanmar atau Tiongkok. Tapi kita masih lemah di sisi promosi dan desain produk. Di luar negeri, batu yang sama bisa dijual 10 kali lipat karena branding dan pengemasan,” ungkap Vandi kepada Dialeksis.
Ia juga menyoroti belum adanya kemudahan akses legalitas dan pembinaan terhadap pengrajin lokal.
“Kami berharap ada regulasi yang berpihak ke pengrajin dan pelaku usaha kecil. Jangan sampai giok hanya dimonopoli pemodal besar. Potensi ini milik rakyat dan harus memberi manfaat bagi mereka,” ujarnya.
Menurut Vandi, pelatihan desain dan akses pameran internasional menjadi dua kebutuhan mendesak yang harus difasilitasi pemerintah. Ia mencontohkan, banyak pengrajin Aceh tidak memiliki kesempatan tampil di ajang seperti Inacraft atau pameran luar negeri karena keterbatasan dukungan.
“Banyak teman-teman pengrajin kita yang sebenarnya sangat berbakat. Kalau difasilitasi, mereka bisa menciptakan karya yang tidak hanya indah, tapi bernilai tinggi secara ekonomi,” pungkasnya.
Giok sebagai Identitas dan Daya Tarik Wisata Baru
Pemerintah Kabupaten Nagan Raya telah menyiapkan agenda festival tahunan batu giok yang akan melibatkan pengrajin dari seluruh Aceh. Festival ini tidak hanya ditujukan untuk kolektor atau investor, tetapi juga untuk mendongkrak pariwisata dan memperkenalkan giok sebagai bagian dari identitas budaya Aceh.
Ratnalia menjelaskan bahwa strategi branding menjadi bagian penting dari langkah mempopulerkan giok Aceh.
“Kami ingin giok dikenal bukan hanya sebagai batu, tetapi sebagai representasi nilai, keindahan, dan kebanggaan Aceh. Maka dari itu, kami menggandeng komunitas kreatif dan media untuk promosi,” katanya.
Meski belum tergarap sepenuhnya, optimisme tumbuh dari para pemangku kepentingan. Pemerintah daerah, lembaga survei, dan pelaku usaha melihat bahwa batu giok dapat menjadi pengungkit ekonomi baru, khususnya di tengah tantangan pasca-pandemi.
“Kita harus keluar dari pola pikir lama yang hanya menjual bahan mentah. Sudah saatnya Aceh berdiri sejajar dengan daerah lain yang berhasil mengangkat produk lokalnya ke kancah global. Giok bisa menjadi kisah sukses berikutnya,” ujar Ratnalia.
Senada, Bupati TRK menyatakan bahwa Nagan Raya siap menjadi pelopor pengembangan ekonomi berbasis batu giok.
“Kami tidak hanya menambang, tapi juga membangun harapan. Giok adalah bagian dari masa depan Nagan Raya,” katanya.
Di akhir liputan ini, tampak bahwa potensi ekonomi giok Aceh bukan sekadar legenda masa lalu, melainkan peluang masa depan yang nyata. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan sektor swasta, Aceh memiliki peluang besar membangun ekosistem ekonomi kuat berbasis kekayaan alamnya sendiri.
“Yang dibutuhkan kini adalah keseriusan untuk menata, memfasilitasi, dan menumbuhkan industri giok agar mampu menjadi motor penggerak ekonomi rakyat sekaligus identitas unggulan dari Tanah Rencong,” pungkas Bupati TRK, mantan pimpinan parlemen DPRA.
Potensi giok Aceh ibarat permata yang menunggu untuk dipoles. Keindahan dan nilai ekonominya sudah terbukti, namun tanpa tata kelola yang terstruktur, ia akan terus terjebak dalam bayang-bayang eksploitasi liar dan pasar yang stagnan. Kini, momentum kebangkitan itu mulai tampak: dari pembangunan simbolik seperti Masjid Giok, pelatihan pengrajin, hingga dorongan regulasi tambang rakyat yang inklusif.
Namun, semua itu tak akan berarti tanpa sinergi dan keberpihakan nyata. Pemerintah daerah, pelaku usaha, komunitas kreatif, dan masyarakat harus bergerak bersama membangun ekosistem yang sehat dari hulu hingga hilir. Aceh memiliki segala potensi untuk menjadikan giok bukan hanya sebagai barang koleksi, melainkan sebagai sumber kesejahteraan dan identitas budaya yang membanggakan di mata dunia.