DIALEKSIS.COM | Indepth - Cukup lama empat pulau ini damai dalam “sarung rencong, kini dipeluk ulos”. Pulau ini masuk dalam wilayah Panglima Laot Gosong Selatan, Aceh Singkil. Di sana sudah ada dua tugu selamat datang, tiga tugu koordinat, dermaga, rumah singgah dan musalla.
Di sana juga ada tanah T. Daud bin T. Radja Udah, yang bukti kepemilikan ditandatangani kepala inspeksi Agraria DI Atjeh pada tahun 1965 dengan surat Pemimpin Pekerjaan Lapangan Ipeda Tapaktuan No 219-H/4/Ipd tgl 31 Mei 1974.
Bukti inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) menyatakan dengan tegas bahwa 4 pulau tersebut milik Aceh.
Namun Pemerintah Indonesia pada 2012 telah melaporkan kepada PBB, bahwa keempat pulau ini di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Empat pulau yang selama ini damai dalam sarung rencong dipindahkan pemerintah ke dalam pelukan kain tenun ulos.
Pemerintah pusat “sedang bermain catur, bagaikan menguji ketangguhan Aceh. Bagaimana kisahnya sehingga empat pulau berada di kawasan perairan Singkil itu sampai jatuh dalam pelukan kain ulos? Dialeksis.com merangkumnya dari berbagai data dan sumber.
Empat Pulau di Tanah Rencong Dipindahkan ke Pelukan Kain Ulos
Peristiwa ini diawali dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Menindak lanjuti Perpres ini, pemerintah 2008 membentuk tim nasional pembakuan nama rupabumi.
Tim ini terdari dari Kemendagri, KKP, Dishidros TNI AL, Bakosurtanal (sekarang BIG), dan Pakar Toponimi melakukan verifikasi dan pembakuan nama pulau di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara.
Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi bersama Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Provinsi Aceh serta 213 pulau di Provinsi Sumatera Utara.
Tim ini memasukkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang ke dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara. Di Aceh nama pulau ini, yaitu Pulau Mangkirajeuk, Pulau Mangkitjut, Pulau Lipan danPulau Pandjang.
Dua pulau ini dikenal juga dengan sebutan Pulau Mangkir Besar/Gadang, Pulau Mangkir Kecil/Ketek berasal dari bahasa aneuk jamee yg merupakan bahasa sehari-hari mayoritas masyarakat Aceh Singkil.
Dari data Pemerintah Aceh dijelaskan, kronologis empat pulau dalam sarung rencong ini berpindah dalam pelukan ulos.
Pemerintah Indonesia pada 2012 telah melaporkan kepada PBB bahwa keempat pulau yakni di Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Dasar acuan yang digunakan adalah analisis spasial terhadap koordinat empat pulau dimaksud dengan menggunakan ArcGIS pada tahun 2017.
Tergambarkan bahwa koordinat keempat pulau berstatus tidak berpenghuni itu berada dalam cakupan wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan Permendagri Nomor 30 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.
Pulau Mangkir Gadang berada pada koordinat 2° 8’ 49” LU 98° 7’ 29” BT; Pulau Mangkir Ketek berada pada koordinat 2° 8’ 22,61” LU 98° 8’ 38,62” BT; Pulau Lipan berada pada koordinat 2° 7’ 12,04” LU 98° 9’ 45,12” BT; dan Pulau Panjang berada pada koordinat 2° 5’ 43” LU 98° 10’ 40” BT.
Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 125/8177/BAK, tanggal 8 Desember 2018, hal Tanggapan Atas Surat Gubernur Aceh Hal Penegasan 4 Pulau di Aceh Singkil Provinsi Aceh, menegaskan bahwa ke empat pulau dimaksud masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara sesuai berita acara yang telah disepakati.
Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 2020 menetapkan empat pulau itu masuk ke dalam cakupan wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Hal itu juga dikuatkan dengan gazeter
Pada tahun 2022,berdasarkan proses yang dilakukan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, yang terdiri dari Kemendagri, KKP, Dishidros TNI AL, Bakosurtanal (sekarang BIG), dan Pakar Toponimi, Kementerian Dalam Negeri, menetapkan bahwa keempat pulau itu masuk ke dalam cakupan wilayah Provinsi Sumatera Utara,.
Ketetapan itu yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Termaktub dalam Pasal 28 ayat (2) dan (4) PP No 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, bahwa pemberian dan perubahan nama wilayah administrasi pemerintahan diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan melibatkan Badan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menyampaikan nama wilayah administrasi pemerintahan sebagaimana dimaksud kepada Kepala Badan untuk dicantumkan dalam Gazeter Republik Indonesia.
Penegasan batas daerah di laut beririsan dengan penyelesaian permasalahan 4 pulau di perbatasan Aceh- Sumut, penegasan batas daerah di laut dilakukan secara kartometrik dengan tahapan: Penyiapan dokumen; penentuan garis pantai; pengukuran dan penentuan batas; dan pembuatan peta batas daerah di Laut (Lampiran Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah).
Tahapan penegasan batas daerah di laut melalui pengecekan di lapangan, dilakukan dengan mengumpulkan semua dokumen yang terkait dengan penentuan batas daerah di laut seperti peta dasar dan dokumen lain yang disepakati para pihak.
Keliru Koordinat
Terjadinya permasalahan kepemilikan 4 pulau milik tanah rencong yang masuk wilayah administrasi Pemerintah kain ulos, adanya kekeliruan dalam penyampaian konfirmasi hasil verifikasi dan pembakuan nama rupabumi di Aceh tahun 2009. Sehingga nama dan koordinat dari 4 pulau dimaksud tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
Berita acara rapat pembinaan dan pembakuan nama uulau Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 21 November 2008 yang difasilitasi oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Prof. Dr. Jacub Rais, M.Sc selaku pakar toponimi dan Dra. Anastutik W, M.Si selaku Kasubdit Toponimi dan Pemetaan Ditjen PUM Depdagri).
Berita cara itu menyepakati antara lain ada 4 pulau yang masih dipermasalahkan kepemilikannya oleh Provinsi Sumatera Utara, yaitu: Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang agar difasilitasi segera untuk penyelesaiannya.
Kemudian, Gubernur Aceh melalui surat nomor 125/63033 tanggal 4 November 2009 menyampaikan konfirmasi bahwa Aceh memiliki 260 pulau dan terjadi perubahan nama serta koordinat.
Gubernur menjelaskan; Pulau Rangit Besar menjadi Pulau Mangkir Besar, dengan koordinat 2° 14‘ 30“ LU, 97° 25‘ 32“ BT; Pulau Rangit Kecil menjadi Pulau Mangkir Kecil, dengan koordinat 2° 14‘ 35“ LU, 97° 26‘ 06“ BT; Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dengan koordinat 2° 15‘ 20“ LU, 97° 25‘ 21“ BT; dan Pulau Panjang, dengan koordinat 2° 16‘ 21“ LU, 97° 24‘ 42“ BT.
keempat pulau tersebut berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil namun dengan koordinat yang keliru dan nama pulau yang berbeda.
Prosesnya terus berlanjut, hasil rapat pembahasan penyelesaian perbatasan antara kedua provinsi tanggal 22 April 1992 di Langsa, bahwa titik batas wilayah dua provinsi ini disepakati.Peta lokasi turut dilampirkan dan menjadi kesatuan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kesepakatan ini.
Data hasil pengukuran dan pemasangan pilar oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil bekerjasama dengan Topografi Iskandar Muda dan Bakosurtanal tgl 19 September 2002, bahwa telah dipasang PBU 007 di Pulau Panjang dengan koordinat 2° 05’ 53.50" LU, 98° 10’ 46.92" BT.
Kemudian berlanjut dengan verifikasi dan survey lapangan bersama Tim Aceh, Tim Provinsi Sumatera Utara, Tim Aceh Singkil dan Tim Tapanuli Tengah yang difasilitasi oleh Tim Pusat pada tanggal 31 Mei - 4 Juni 2022.
Tim survey yang terlibat dalam persoalan ini; Tim Survey Pusat ketua, Direktur Toponimi dan Batas Daerah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri. Pejabat dan staf Toponimi Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri,Pejabat dan staf surveyor BIG sebagai anggota.
Tim Survey Aceh,Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh beserta pejabat dan staf, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh beserta pejabat dan staf,Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik beserta perjabat dan staf, Kepala Topografi Kodam Iskandar Muda berserta pejabat Topdam IM, unsur Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh, unsur Biro Hukum Setda Aceh, unsur Dinas Pertanahan Aceh, unsur Dinas Perhubungan Aceh.
Sementara tim survey Kabupaten Aceh Singkil, Bupati Aceh Singkil,Dandim, Kajari, unsur Polres dan Danposal Singkil, Sekretaris Daerah, Asisten Pemerintahan beserta perangkat terkait dari Pemerintahan Kabupaten Aceh Singkil, Camat Singkil Utara, Geuchik Gosong Telaga Selatan,Panglima Laot,ahli waris tanah di 4 (empat) pulau tersebut (cucu alm. Teuku Daud bin Teuku Radja Udah yaitu Teuku Rasyid dan Teuku Rusli Hasan).
Berdasarkan hasil verifikasi dan survey lapangan, ditemukan beberapa aset yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Di Pulau Panjang ditemukan tugu selamat datang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil tahun 2007 di Koordinat 02° 05’ 53,56’’ LU, 98° 10’ 46,54’’ BT
Terdapat juga tugu yang dibangun oleh Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh tahun 2012,koordinat Tugu 02° 05’ 53,58’’ LU, 98° 10’ 46,92’’ BT.
Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dalam pelaksanaan verifikasi dan survey lapangan empat pulau ini, telah menyerahkan sebagian dokumen yang dimiliki kepada Tim Pusat, dokumen itu sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian 4 (empat) pulau tersebut.
Sikap Pemerintah Aceh
Menindak lanjuti hasil survei secara faktual terhadap empat pulau ini, kembali diadakan rapat. Dalam pertemuan 20 Juni 2022 di Jakarta, Pemerintah Aceh mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk merevisi Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022.
Pemerintah Aceh meminta agar Kemendgari mengubah status kepemilikan 4 pulau sengketa agar menjadi cakupan wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Hal itu berdasarkan dokumen serta hasil survei dan verifikasi faktual di lapangan.
Juga dikuatkan dengan kesepakatan bersama antara Gubernur Aceh dan Gubernur Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 22 April 1992, beserta peta lampirannya yang disepakati. Bahwa, garis batas laut antara kedua provinsi berada diantara pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah dengan 4 pulau.
Pemerintah Aceh mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri agar merevisi Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Dengan mengubah status kepemilikan empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar/Gadang (koordinat: 2° 08' 48.99" LU, 98° 07' 28.99" BT), Pulau Mangkir Kecil/Ketek (koordinat: 2° 08' 22.60" LU, 98° 08' 38.62" BT), Pulau Lipan (koordinat: 2° 07' 14.17" LU, 98° 09' 43.40" BT) dan Pulau Panjang (koordinat: 2° 05' 43.00" LU, 98° 10' 40.00" BT) menjadi cakupan wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Namun empat pulau ini masih masuk dalam pelukan kain ulos, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2 - 2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada tanggal 25 April 2025.
Harus Kembali Ke Sarung Rencong
Empat pulau milik Aceh yang memiliki histroris, berdasarkan dokumen, hasil survey, aspek hukum, cakupan wilayah, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau dan layanan publik yang dibangun pemerintah Aceh dan Aceh Singkil, sudah seharus pemerintah mengembalikan pulau ini ke dalam sarung rencong.
Mendagri dalam pemutakhiran data pada (Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2 - 2138 Tahun 2025, 25 April 2025) masih memasukan ke empat pulau ini dalam wilayah administrasi Sumatera Utara.
keempat Pulau itu jelas milik orang Aceh dan lengkap dengan surat-surat penting pertanahan. Di lapangan sudah ada tanda-tanda bukti pembangunan dari anggaran pemerintah Aceh.
Teuku Rusli Hasan, ahli waris Teuku Raja Udah, kepada media menjelaskan, keempat pulau itu merupakan milik keluarganya dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh.
“Kami memiliki dokumen resmi dan keputusan hukum yang sah. Pulau-pulau itu merupakan milik keluarga ahli waris Teuku Raja Udah dan masuk dalam wilayah Aceh,” sebut Teuku Rusli dalam keterangannya kepada media.
Menurut Teuku Rusli dia kecewa dengan keputusan Kemendagri yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Sumatera Utara tanpa ada komunikasi dengan pihak ahli waris. Pihaknya memiliki dokumen resmi yang menguatkan kepemilikan pulau-pulau tersebut.
Ada surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965, sebutnya.
Sementara itu, Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA kepada sebelumnya telah mengungkapkan, segenap bukti yang sudah pernah disampaikan oleh Pemerintah Aceh, ditambah hasil survei langsung ke lokasi 4 pulau secara bersama pada awal Mei 2022, lebih dari cukup bagi Kemendagri untuk mengembalikan 4 pulau ke pihak Aceh.
Safrizal ZA sebagai penjaga “pintu gerbang” kode topomini dan batas daerah di Kemendagri, pernah mengatakan, kalau ada data terbaru atau dokumen menegaskan kuat kepemilikan Aceh dapat diajukan kembali ke kemendagri.
“Ketika saya masih Dirjen bisa diajukan dan diproses, saya bantu untuk Aceh karena saya orang Aceh, ada darah Aceh, dan juga tanggung jawab moral saya,” ujar Safrizal.
Safrizal meminta agar menghindari politicking apalagi sampai melakukan pembunuhan karakter. “Jika selalu ada politicking Aceh, tidak dapat selesaikan urusan kepulauan tersebut,” sebutnya.
Sementara itu, Akademisi USK, sekaligus peneliti dan pengamat keamanan dan pertamaian Aryos Nivada mengingatkan jangan sampai Kemendagri disetir karena ada intervensi politik kepentingan ekonomi dan personal seseorang.
“Jangan pernah mempermainkan, dan bermain-main dengan Aceh, apalagi jika permainan itu sampai memicu gejolak yang mengguncang perdamaian, jangan ya. Harus diselesaikan dengan akal sehat berdasarkan jejak sejarah, jejak pembangunan, dan bukti-bukti nyata di lapangan,” sebut Aryos, Selasa (27/5/2025).
Peringatan Aryos Nivada itu penting untuk diindahkan. Pasalnya, Pemerintah Aceh sudah berungkali mengungkap fakta yang tidak mampu dibantah baik oleh Sumut, termasuk juga oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan( Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sejak Pemerintah Aceh melayangkan complaint jauh sebelum terbit Kepmendagri ke-1 Nomor : 050-145 tahun 2022, baik pihak Sumut dan Kemendagri selalu kembali kepada hasil rapat bersama Sumut dan Aceh pada 2008 dan surat konfirmasi gubernur Aceh tahun 2009.
Padahal, Pemerintah Aceh sudah berungkali mematahkan argumen pertemuan rapat bersama 2008 dan juga sudah merevisi kekeliruan titik koordinat melalui surat gubernur tahun 2018. Sayangnya, seluruh ikhtiar Aceh itu sepertinya diabaikan begitu sampai di “tangan” orang dalam Kemendagri, jelas Aryos.
Dengan diterbitkannya Kepmen baru di masa rentang 100 hari kerja Mualem - Dek Fadh selaku Gubernur Aceh, terciumlah aroma agenda politik pusat yang tak enak untuk dicium. Ada kesan seperti menyampaikan pesan bahwa pemimpin Aceh tak becus menjaga wilayahnya sendiri.
“Jika kesan itu yang hendak disampaikan, maka itu jelas sangat berbahaya secara politik. Rakyat Aceh yang sangat mahir dengan sejarahnya dan sangat lihai dalam membaca tanda-tanda politik malah akan semakin berdiri kokoh dibelakang pemimpinnya. Percayalah!,” sebut Aryos.
Aryos Nivada mengusulkan langkah kongkrit. Pemerintah Aceh harus lebih kuat menyiapkan bukti yang bisa divalidasi, buat tim task force atau satgas khusus untuk penanganan urusan pulau.
“Lakukan pendekatan maupun pertemuan khusus dengan Prabowo melalui Mualem, dan buatkan setting isu di media, dan desakan dari masyarakat sipil,” tutupnya, kongkrit.
Sementara itu, dari Ratnalia Indriasari Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif (JSI) mengamati perkembangan yang terjadi terhadap 4 pulau ini menyebutkan, ada kelemahan dari pihak Aceh yang penting untuk disadari.
“Jelas ini ada indikasi tidak serius dan tidak ada penanganan berlapis dalam penyelesaian urusan klaim pulau Aceh. Juga menunjukkan kemampuan komunikasi dan lobi yang gagal. Jadi, silahkan bentuk tim advokasi yang diisi oleh sosok-sosok yang memiliki kapasitas,” usulnya.
Dengan begitu, kata Indri, bisa terkawalnya isu 4 pulau ini oleh media. Ke depan disarankan perlu keterlibatan media dalam menjalankan misi advokasi, pintanya.
Empat pulau yang bukti otentiknya selama ini damai dalam sarung rencong, kini dipindahkan pemerintah pusat dalam pelukan kain ulos. Pemerintah pusat bagaikan sedang bermain”catur” menguji strategi dan kemampuan manusia Aceh dalam mempertahankan haknya.[bg]