Kamis, 10 Juli 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tanah Aceh Kembali ke Rumahnya, Janji Otonomi yang Mulai Ditepati

Tanah Aceh Kembali ke Rumahnya, Janji Otonomi yang Mulai Ditepati

Kamis, 10 Juli 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Ilustrasi pengalihan urusan pertanahan dari Pemerintah Pusat ke Provinsi Aceh. Foto: desain AI

DIALEKSIS.COM | Indepth - Di sebuah desa pedalaman Aceh, seorang petani menatap hamparan lahannya yang pernah menjadi sengketa dengan perusahaan perkebunan. Bertahun - tahun ia menunggu kejelasan nasib tanah warisan leluhurnya. Harapan baru muncul ketika pemerintah pusat akhirnya menyerahkan sepenuhnya urusan pertanahan di Aceh kepada pemerintah daerah.

Langkah ini merupakan realisasi dari perjuangan panjang Aceh untuk mengelola tanahnya sendiri, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015. Perpres tersebut mengubah status Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh menjadi Badan Pertanahan Aceh, sebuah dinas daerah di bawah kendali Pemerintah Aceh.

Pengalihan kewenangan pertanahan ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia berakar dari sejarah panjang konflik dan perdamaian di Aceh. Kesepakatan damai MoU Helsinki 2005 antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memberikan Aceh status istimewa, yang kemudian diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pasal 253 UUPA mengamanatkan agar urusan pertanahan di Aceh diserahkan kepada pemerintah Aceh melalui peraturan presiden. Butir-butir tersebut lahir dari spirit rekonsiliasi: memberikan kewenangan lebih luas bagi Aceh sebagai bentuk penghormatan terhadap kekhususan dan kedaulatan Aceh dalam kerangka NKRI.

“Ini bukan sekadar reformasi birokrasi, melainkan bagian dari pengakuan hak istimewa Aceh sebagaimana dijanjikan dalam perjanjian damai,” ujar M. Adli Abdullah, dosen hukum di Universitas Syiah Kuala kepada Dialeksis.

Ia menjelaskan bahwa pengelolaan tanah dan sumber daya alam secara mandiri merupakan simbol kedaulatan Aceh yang diakui dalam UUPA dan konstitusi. Presiden Joko Widodo menindaklanjuti amanah tersebut dengan menandatangani Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2015 pada 12 Februari 2015.

Perpres ini menetapkan pembentukan Badan Pertanahan Aceh (BPA) sebagai perangkat daerah untuk pelayanan pertanahan di Aceh. Artinya, lembaga pertanahan di Aceh beralih dari struktur vertikal nasional menjadi bagian dari pemerintahan Aceh. Kewenangan yang dialihkan mencakup kelembagaan, kepegawaian, aset, dan dokumen pertanahan.

Misalnya, kantor-kantor pertanahan kabupaten/kota yang semula unit BPN pusat, diubah menjadi Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota di bawah BPA. Para pegawai negeri sipil (PNS) BPN di Aceh pun diberikan opsi menjadi PNS daerah Aceh, dengan masa transisi enam bulan pasca terbentuknya BPA. Aset berupa tanah, bangunan, hingga dokumen dan arsip pertanahan dialihkan menjadi milik Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota. Kebijakan ini menjadikan Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang memegang kendali penuh atas urusan agraria “ suatu kewenangan yang di provinsi lain tetap tersentralisasi di BPN pusat.

Adli Abdullah menilai, hal ini menandai perbedaan signifikan dalam hubungan pusat-daerah. “Aceh diberi hak istimewa yang tidak dimiliki daerah lain. Kendali penuh atas pertanahan adalah wujud nyata desentralisasi asimetris bagi Aceh,” katanya.

Secara politik dan hukum menurut Adli, langkah ini merefleksikan kompromi bahwa dalam NKRI yang bersifat kesatuan, Aceh diakui kekhususannya, termasuk dalam hal agraria. Penguatan otonomi ini sejalan dengan semangat Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui satuan pemerintahan bersifat khusus, serta menghormati hukum adat dan hak tradisional masyarakat

Tarik Ulur Pusat dan Daerah

Meski Perpres 23/2015 sudah terbit, implementasinya tidak mulus. Sesuai aturan, seharusnya dalam waktu 1 tahun sejak diundangkan (13 Februari 2015), status kelembagaan, personel, aset, dan dokumen sudah dialihkan ke Aceh. Bahkan tim khusus yang dipimpin Menteri ATR/BPN harus dibentuk selambatnya satu bulan setelah itu untuk mengawal proses transisi.

Kenyataannya, target-target ini molor bertahun-tahun. Pemerintah Aceh baru membentuk struktur Dinas Pertanahan Aceh dan dinas pertanahan di kabupaten/kota setelah Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 terbit, namun pemerintah pusat belum kunjung melepas kewenangan BPN. Hingga lima tahun pasca Perpres, Kanwil BPN Aceh masih beroperasi seperti biasa sebagai perpanjangan tangan Kementerian ATR/BPN.

“Pelaksanaan Perpres 23 Tahun 2015 tentang pengalihan Kanwil BPN menjadi Badan Pertanahan Aceh belum dilakukan,” ungkap Dr. Edi Yandra, Kepala Dinas Pertanahan Aceh kala itu, pada tahun 2020.

Ia menjelaskan, hingga 2020 tim pengalihan pun belum terbentuk, sehingga kendali pertanahan praktis masih di pusat.

Tarik-ulur antara Jakarta dan Banda Aceh menjadi salah satu penyebab mandeknya realisasi kebijakan ini. Ratnalia Indriasari, Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif (JSI), menyoroti adanya disharmoni regulasi dan minimnya kemauan politik sebagai penghambat utama. Kajian JSI menemukan bahwa terbitnya Perpres 23/2015 belum menyelesaikan persoalan karena sejumlah kendala besar.

“Proses pengalihan status kelembagaan BPN ke Badan Pertanahan Aceh tersendat akibat proses tarik-ulur antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh,” ujarnya kepada Dialeksis, merujuk pada stagnasi pembentukan tim pengalihan dan benturan peraturan perundang-undangan sebagai biang keladinya.

JSI mencatat, Perpres yang seharusnya ditetapkan tak lama setelah UUPA (2006) baru terbit tahun 2015, dan tim transisi yang semestinya dibentuk sebulan setelah itu tak kunjung dibentuk bahkan bertahun-tahun kemudian.

Lebih lanjut, sejumlah regulasi nasional dinilai “menggerus” kewenangan Aceh. Pemerintah pusat ingin tetap memegang kontrol dalam pengelolaan agraria di Aceh, terutama hal-hal strategis, misalnya melalui penentuan pejabat kunci dan norma teknis tertentu.

Hal ini memunculkan sindiran di kalangan pengamat Fauza Andriyadi Dosen FISIP UIN Ar Raniry, Aceh diibaratkan “kepala dikasih, ekor dipegang.” Maksudnya, kewenangan pertanahan memang diberikan ke Aceh (kepala), tapi ujungnya masih dipegang pusat (ekor). Pandangan tersebut merujuk antara lain pada ketentuan Perpres 23/2015 Pasal 2 dan 9: Kepala Badan Pertanahan Aceh serta kepala kantor pertanahan kabupaten/kota di Aceh diangkat dan diberhentikan oleh Menteri ATR/BPN atas usul Gubernur Aceh.

Artinya, meski lembaganya milik daerah, figur pimpinannya harus disetujui pusat. Hermanto, seorang praktisi hukum terkemuka di Aceh, mengingatkan bahwa konstruksi kewenangan ini memerlukan koordinasi erat antara Aceh dan pusat.

“Secara hukum, Aceh mendapatkan delegasi luas, namun tetap dalam koridor sistem agraria nasional. Penunjukan kepala dinas oleh Menteri ATR menunjukkan ada benang koordinasi yang masih dipegang pusat,” ujarnya.

Sedangkan pemikiran lain disampaikan Hermanto, hal itu bukan untuk melemahkan otonomi Aceh, melainkan memastikan sinkronisasi data pertanahan Aceh dengan sistem pertanahan nasional serta menjamin sertifikat tanah yang diterbitkan di Aceh tetap diakui secara nasional.

Ia mendorong agar regulasi turunan seperti Qanun Pertanahan Aceh segera disahkan dan sinkron dengan peraturan nasional, supaya tidak terjadi kekosongan hukum atau sengketa kewenangan di kemudian hari.

Dampak terhadap Masyarakat

Bagi masyarakat Aceh khususnya petani, masyarakat adat, dan korban konflik agraria “ pengalihan ini bak secercah harapan baru. Seluruh pelayanan pertanahan, mulai dari perizinan, penerbitan sertifikat, hingga penyelesaian sengketa agraria, kini akan dikelola secara otonom oleh Pemerintah Aceh. Selama ini, banyak kasus sengketa tanah di Aceh yang penanganannya tersendat. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mencatat 76 kasus konflik pertanahan di Aceh sepanjang 2005 - 2016 yang belum terselesaikan dan terus bertambah tiap tahun.

Hingga 2017 dan 2018, sengketa agraria masih terjadi di berbagai daerah, seperti konflik masyarakat Babahrot (Aceh Barat Daya) dengan perusahaan perkebunan PT Dua Perkasa Lestari, sengketa lahan masyarakat Cot Mee (Nagan Raya) dengan PT Fajar Baizury, hingga perselisihan warga di Aceh Tamiang dengan perusahaan perkebunan sawit.

Kasus - kasus tersebut mencerminkan sengkarut agraria yang kompleks, melibatkan hak ulayat (komunal) masyarakat adat, lahan garapan pasca konflik, hingga tumpang tindih klaim lahan antara warga dengan perusahaan atau pemerintah.

Dengan hadirnya Badan Pertanahan Aceh, masyarakat berharap penanganan konflik-konflik seperti di atas bisa lebih cepat dan berpihak pada rakyat kecil. Sunawardi, Kepala Dinas Pertanahan Aceh, menyatakan bahwa pihaknya siap mengemban amanah ini untuk menata ulang sektor agraria Aceh.

“Kami akan prioritaskan penyelesaian sengketa tanah yang selama ini terkatung-katung. Pendekatan kami berbeda, lebih melibatkan pemerintah daerah, tokoh adat (mukim), dan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat,” ujarnya.

Sunawardi menjelaskan, integrasi urusan pertanahan ke dalam pemerintahan Aceh memungkinkan pelayanan one stop service yang lebih efisien.

“Dulu, warga Aceh urus sertifikat tanah harus melalui BPN pusat secara berjenjang. Sekarang cukup di dinas kami, dengan timeline yang kami atur sesuai kebutuhan lokal,” katanya.

Selain itu, kebijakan agraria dapat diselaraskan dengan adat Aceh. Banyak tanah ulayat dan tanah wakaf di Aceh yang memiliki karakteristik khusus; dengan kewenangan sendiri, Aceh dapat membuat regulasi lokal yang mengakui dan melindungi hak-hak komunal tersebut sesuai kearifan lokal, tanpa menabrak hukum nasional. Pandangan optimistis juga datang dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil.

Ia melanjutkan, Qanun Pertanahan Aceh hingga kini masih terkatung-katung dalam proses fasilitasi di Kementerian Dalam Negeri sejak akhir 2023. Tidak ada kejelasan kapan proses tersebut akan diselesaikan. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA, bahkan pernah melibatkan Yang Mulia Wali Nanggroe.

Menurut Adli Abdullah, pengalihan ini berpotensi menjadi titik balik dalam penataan agraria yang lebih berpihak kepada masyarakat adat, petani, dan kepentingan lokal.

Ia menekankan bahwa pemerintah daerah bisa lebih leluasa menjalankan reforma agraria, mulai dari redistribusi lahan untuk petani kecil hingga legalisasi aset tanah masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan.

Hal senada disampaikan Ratnalia Indriasari dari JSI. Ia menyebut bahwa dengan kewenangan penuh, Aceh bisa mempercepat program sertifikasi tanah untuk masyarakat miskin dan korban konflik, yang selama ini berjalan lamban.

“Jika sebelumnya banyak program pusat kurang tepat sasaran di Aceh, kini pemerintah Aceh bisa desain program pertanahan sesuai kebutuhan lokal,” ujarnya.

Misalnya, daerah bekas konflik yang banyak lahan tak bertuan dapat ditata untuk kepentingan mantan kombatan atau keluarga korban konflik sebagai bagian dari reintegrasi. Begitu pula lahan tidur milik negara di Aceh dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi lokal melalui skema yang diatur Aceh sendiri.

Tidak hanya konflik, sektor investasi dan pembangunan pun terdampak positif. Kepastian lahan merupakan kunci investasi. Dengan layanan pertanahan dikelola daerah, koordinasi perizinan lahan untuk investasi dapat lebih cepat karena segendang seirama dengan pemerintah Aceh. Proses pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur juga bisa dipercepat melalui mekanisme daerah.

Dalam lampiran UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebenarnya ada 22 kewenangan pertanahan yang bisa dilaksanakan daerah. Selama ini Aceh baru bisa menjalankan 9 kewenangan (seperti izin lokasi, pengadaan tanah bagi pembangunan, mediasi sengketa lahan garapan, dsb). Sisanya, termasuk penerbitan sertifikat hak atas tanah, masih belum operasional penuh menunggu pengalihan resmi.

Kini, ketika seluruh kewenangan itu benar-benar dialihkan, diharapkan tidak ada lagi dualisme kewenangan.

“Selama masa transisi kemarin, kadang masyarakat bingung harus ke BPN atau ke dinas pertanahan. Sekarang loketnya satu di bawah pemerintah Aceh, sehingga mengurangi kebingungan dan tumpang tindih,” kata Hermanto, yang juga dikenal kerap mendampingi masyarakat dalam sengketa tanah.

Ia menambahkan, pada masa lalu beberapa sengketa berlarut karena pemerintah daerah tak punya data atau wewenang. Misalnya, banyak data sertifikat dan peta tanah hanya dimiliki BPN pusat, sehingga Pemda kesulitan membantu warga. Dengan perpindahan dokumen dan arsip pertanahan ke Aceh, Hermanto yakin transparansi data akan lebih baik dan memudahkan penegakan hak-hak rakyat.

Tantangan ke Depan

Meski peluang perbaikan terbentang, realisasinya tentu bukan tanpa tantangan. Pertama, penyiapan perangkat hukum daerah. Pemerintah Aceh perlu segera merampungkan Qanun Aceh tentang pertanahan sebagai payung operasional BPA. Qanun ini akan mengatur struktur organisasi, tupoksi, hingga mekanisme kerja Badan Pertanahan Aceh.

Proses penyusunannya sempat tertunda, antara lain karena harus menanti kepastian pengalihan dari pusat. Ratnalia Indriasari mengingatkan agar Qanun tersebut sinkron dengan regulasi nasional dan mengakomodir kepentingan lokal.

“Disharmoni hukum harus dihindari. Jangan sampai Qanun Aceh nanti bertentangan dengan aturan pusat, karena bisa digugat. Sebaliknya, Qanun harus mengisi ruang yang tidak diatur pusat, misal pengakuan tanah ulayat secara legal di Aceh,” ujarnya, merujuk pada perlunya inovasi hukum daerah tanpa keluar dari koridor UU Pokok Agraria.

Ratnalia juga menekankan pentingnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan pertanahan Aceh, mengingat kompleksnya masalah agraria di Aceh yang menyangkut hak adat, ulayat, wakaf, dan lahan eks kombatan. Kedua, kapasitas dan sumber daya manusia (SDM). Saat ini banyak PNS BPN di Aceh yang telah atau akan beralih menjadi PNS daerah. Dibutuhkan peningkatan kapasitas SDM pertanahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sunawardi mengakui bahwa Aceh membutuhkan tenaga juru ukur dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang memadai demi kelancaran tugas baru ini.

“Kita sedang upayakan pelatihan dan rekrutmen agar pelayanan tidak kalah kualitas dari sebelumnya. Jangan sampai kewenangan sudah di tangan, tapi SDM kurang, nanti masyarakat juga yang rugi,” ujarnya.

Pemerintah Aceh berencana menggandeng perguruan tinggi lokal seperti Universitas Syiah Kuala untuk menyiapkan tenaga ahli agraria, dan mengajak para mantan pegawai BPN pusat bergabung memperkuat BPA. Dalam masa transisi, dukungan pendanaan juga krusial. Sesuai Perpres, biaya pengalihan dibebankan pada APBN, APBA (Anggaran Aceh), dan APBK (Anggaran Kabupaten/Kota).

Ke depan, operasional BPA dan kantor pertanahan kabupaten/kota akan didanai APBA/APBK. Aceh perlu memastikan anggaran memadai, mengingat tugas pertanahan mencakup pelayanan publik luas mulai dari pengukuran lahan, penerbitan sertifikat, mediasi sengketa, hingga reforma agraria. Ketiga, sinergi dengan pusat pasca-pengalihan.

Walau kewenangan sudah di Aceh, koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN tetap diperlukan, terutama terkait integrasi data pertanahan nasional. Database sertifikat tanah Aceh harus terhubung dengan sistem pusat agar pengakuan hak atas tanah berlaku nasional.

“Kolaborasi tetap penting. Kita tidak boleh jalan sendiri 100%. Formatnya mungkin seperti network antara Badan Pertanahan Aceh dan BPN RI, sehingga tukar-menukar informasi dan standar pelayanan tetap selaras,” kata Hermanto.

Ia berharap model Aceh ini bisa menjadi contoh positif bagi daerah lain, bukan dipandang ancaman oleh pusat. “Kalau Aceh sukses menata pertanahannya dengan baik, itu juga menguntungkan Indonesia secara keseluruhan,” imbuhnya.

Babak Baru Agraria Aceh

Setelah penantian panjang, Aceh kini memasuki babak baru dalam pengelolaan agraria. Di lapangan, perubahan ini diharapkan nyata dirasakan oleh masyarakat. Petani kecil bisa lebih mudah mengurus sertifikat tanpa harus ke kantor pusat, masyarakat adat lebih terlindungi hak ulayatnya, dan sengketa-sengketa lahan mendapat penyelesaian yang adil.

Tentu, pekerjaan rumah masih banyak. Regulasi perlu dituntaskan, aparatur perlu disiapkan, dan komitmen keberpihakan pada rakyat harus dijaga. Namun setidaknya, fondasi kewenangan sudah diletakkan.

“Ini momen bersejarah bagi Aceh. Jika implementasi berjalan efektif, kebijakan ini berpotensi menjadi titik balik penataan agraria yang lebih berpihak kepada masyarakat,” kata Adli Abdullah optimistis.

Semangat serupa juga disuarakan Ratnalia Indriasari yang melihat peluang lahirnya inovasi kebijakan agraria di Aceh, dari percepatan reforma agraria hingga penguatan basis data tanah berbasis gampong (desa).

Sementara itu, Sunawardi dan jajarannya di Dinas Pertanahan Aceh bersiap menyingsingkan lengan baju. “PR kami selanjutnya adalah membuktikan bahwa kewenangan ini memang membawa manfaat bagi rakyat Aceh,” ujarnya penuh tekad.

Di desa pedalaman tadi, sang petani tersenyum tipis melihat petugas pertanahan daerah mulai mengukur ulang lahan sengketa yang diperjuangkannya. Ada asa bahwa dengan putra daerah sendiri yang mengurus, suaranya akan lebih didengar.

Bagi Aceh, pengalihan pengelolaan pertanahan ini bukan sekadar perubahan birokrasi, melainkan penegasan jati diri bahwa dalam bingkai perdamaian, Aceh diberi ruang mengatur tanah ulayat negerinya sendiri, demi kemaslahatan rakyatnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI