DIALEKSIS.COM | Indepth - Hentingan sendok dalam periuk menandakan akan kehidupan. Namun jangan karena sendok dan periuk sering terantuk, membuat periuknya pecah. Dalam membangun sebuah tatanan bernegara, wajar bila ada perbedaan pandangan, perbedaan prinsip.
Namun, jangan karena perbedaan lantas melahirkan prahara. Terantuknya periuk dan sendok, tidak membuat periuknya pecah. Tamsilan ini menarik untuk dicermati ketika Aceh dihingar bingarkan dengan pembentukan 4 Batalyon Teritorial Pembangunan.
Ada yang kontra, banyak yang memberikan dukungan. Perbedaan ini muncul karena sudut pandang yang berbeda. Bagaimana riuhnya persoalan pendirian Batalyon di Aceh, Dialeksis.com merangkumnya.
Kita mulai dari mereka yang menolak dengan keras pendiriaan 4 Batalyon di Aceh yang direncanakan akan berdiri di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Terdiri dari 9 kompi, lima Kompi Senapan, satu Kompi Kesehatan, satu Kompi Pertanian, satu Kompi Pembangunan, dan satu Kompi Peternakan.
Mereka yang menolak, tentunya datang dari Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Alhaytar dan beberapa pihak lainya. Menurut Wali Nanggroe, penambahan empat batalyon TNI di Aceh bertentangan dengan perjanjian damai Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (RI-GAM) atau MoU Helsinki yang ditandatangani di Finlandia pada 2005 silam.
“Selama perdamaian berlaku, masyarakat Aceh semakin merasa aman dan merasa bahwa pemerintah berkomitmen kepada perjanjian damai MoU Helsinki 2005. Malah, pihak eks kombatan GAM bahu-membahu saling menjaga keamanan sejak tahun 2005-2025,” kata Wali Nanggroe menanggapi rencana penambahan empat batalyon TNI di Aceh, Sabtu (3/5/2025).
Dalam keteranganya yang dimuat dibeberapa media, Wali Nanggroe menjelaskan, geopolitik dunia saat ini, hubungan negara-negara berdekatan dengan Indonesia (ASEAN) baik-baik saja. Ini termasuk India, Sri Langka, Bangladesh dan Asutralia. Menurutnya, alasan untuk menambah personel TNI di Aceh tidak tepat.
"Seandainya ada ancaman dari luar, rakyat Aceh dapat diharapkan untuk menantang musuh yang datang dari luar. Sejarah Aceh telah membuktikan Aceh sendiri dapat menantang Portugis selama ini lebih dari 100 tahun, Belanda 70 tahun dan Jepang 3,5 tahun," sebutnya.
“Yang harus digaris bawahi adalah kepercayaan dan komitmen bersama pada apa yang telah disepakati, adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu memasuki era pembangunan Aceh di masa depan yang cemerlang,” tambah Malik Mahmud Alhaytar.
Sementara itu, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tgk. Muharuddin, dalam keterangannya kepada media mengatakan, rencana Kementerian Pertahanan RI membangun empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) baru di Aceh dapat memicu trauma konflik masa lalu masyarakat Aceh.
Apalagi, penambahan personel TNI di Aceh juga bertentangan dengan perjanjian damai RI-GAM (MoU Helsinki).
“Masyarakat Aceh saat ini sudah hidup tenang dan damai, serta telah bersinergi dengan TNI. Jangan sampai dengan penambahan batalyon ini membuat masyarakat Aceh kembali ketakutan dan trauma atas kejadian di masa lalu,” kata Tgk. Muharuddin.
Menurut politisi Partai Aceh ini, berdasarkan kesepakatan damai Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada butir 4.7. telah menyepakati bahwa jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah sejumlah 14.700 orang.
Pada butir 4.8. juga menyepakati tidak akan ada pergerakan tentara besar-besaran setelah penandatangan nota kesepahaman ini, serta pada butir 4.11. juga menyebutkan dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
Selain itu di Aceh saat ini, jelas Tgk Muharuddin, di wilayah Kodam Iskandar Muda telah terbentuk 13 Baliyon, yang meliputi Yoniif 111 Karma Bhakti di Aceh Tamiang, Yonif 112 Dharma Jaya di Banda Aceh, Yonif 113 Jaya Sakti di Kabupaten Bireun.
Selanjutnya Yonif 114 Satria Musara Kabupaten Bener Meriah, Yonif 115 Macan Lauser di Tapak Tuan Aceh Selatan, Yonif 116 Garda Samudera di Meureubo Aceh Barat, Yonif 117 Ksatria Yudha di Jantho Kabupaten Aceh Besar, Yon arhanud 5 Cigra Satria Bhuana Yudha Aceh Utara.
Kemudian, Armed 17/KMP Rencong Sakti bermarkas di Sigli Kabupaten Pidie, Yonkav 11 Macan Setia Sakti bermarkas di Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar, Yon Zipur 16 Dhika Anoraga bermarkas di Jantho Kabupaten Aceh Besar, Kikan 11 Walet Setia Bakti bermarkas di Kabupaten Aceh Besar, srta Brigif 25 Siwah bermarkas di Kabupaten Aceh Utara.
“Untuk memperkuat pertahanan wilayah serta untuk mengintegrasikan program-program pertahanan dengan pembangunan nasional di Aceh, cukup dengan memperkuat tentara organik yang berada di Aceh, tanpa harus membentuk batalyon baru. Mengingat juga jumlah personil TNI di Aceh dari tahun ke tahun terus bertambah, melalui perekrutan baik tingkat tamtama dan bintara serta perwira,” ungkap Tgk Muhar.
Dijelaskan Tgk Muhar, masyarakat Aceh juga masih dalam situasi trauma pasca konflik, sehingga mobilisasi pasukan dan penambahan bataliyon justru akan semakin membuat trauma masyarakat mengingat situasi Aceh yang semakin damai dan kondusif.
Tgk Muharuddin meminta Kementerian Pertahanan RI mengkaji ulang wacara pembangunan empat batalyon tersebut.
“Kami berharap Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian Pertahanan RI untuk dapat duduk bersama Pemerintah Aceh, DPRA dan Wali Nanggroe untuk membahas persoalan ini dan mencari skema atau alternatif lain untuk menjaga pertahanan Indonesia di wilayah ujung paling barat ini,” pintanya.
Demikian dengan Mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus tokoh penting dalam proses damai Aceh, Prof.Hamid Awaluddin, melakukan kunjungan silaturahmi ke Meuligoe Wali Nanggroe di Aceh Besar.
Hamid Awaluddin yang disambut langsung oleh Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar, kepada media juga memberikan keterangan soal penambahan 4 Batalyon di Aceh. Namun Hamid terlihat hati-hati dalam memilih kata.
Hamid Awaluddin mengaku baru mengetahui soal rencana penambahan 4 Batalyon di Aceh. Menurutnya, pemerintah pusat perlu menjelaskan kepada masyarakat tentang urgensi dan relevansi dari kebijakan itu.
“Saya baru tahu tentang rencana ini, maka saya mengajukan dua pertanyaan penting: apa urgensinya dan apa relevansinya?” ujar Hamid.
“Jika pemerintah bisa memberikan penjelasan yang masuk akal dan transparan, maka masyarakat bisa menilai secara objektif. Namun jika tidak, wajar jika publik merasa resah dan mempertanyakannya.Itu komentar saya, karena saya belum pelajari dengan saksama,” sebutnya.
Sementara itu, Antropolog Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, mengkritik wacana penambahan Batalyon di bawah teritorial Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM).
Menurut dia, penambahan ini dinilai tidak penting karena keamanan di Aceh saat ini semakin kokoh. Kalau, alasannya tidak jelas pembentukan, proyek bisnis namanya. "Ingin membuat pangkalan lagi, kemudian masuk ke dalam dimensi, misalnya bisnis,” kata Teuku Kemal Fasya.
Seperti dilansir AJNN, Senin, 28 April 2025, Kemal mengatakan bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah bertransformasi menjadi masyarakat sipil yang kuat akan perdamaian.
Jadi menurutnya, dinding itu semakin kokoh, bukan semakin rapuh. Dia menilai dengan adanya ide penambahan batalyon ini menjadi kekeliruan. Kemal berpendapat wacana ini juga mengikuti proses revisi UU TNI yang saat ini ingin mengembalikan multi fungsi ABRI.
“Ketika itu terjadi, berarti ada pemahaman bahwa perdamaian Aceh yang terjadi selama ini masih belum memberikan potensi keamanan,” kata Kemal. Akademisi Universitas Malikussaleh ini berpendapat, semestinya yang dilakukan adalah penguatan di tingkat laut, terkhusus di Aceh.
Sebab, dia menilai masalah yang kerap terdengar di Aceh adalah human trafficking dan perdagangan narkoba di perairan Nanggroe Seuramoe Mekkah. Yang dilakukan seharusnya itu, memperkuat yang disebut dengan Pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut atau Lanal.Karena potensi kerawanan yang mengarah kepada keamanan kita itu ada di perairan.
“Sering masuk manusia laut, narkoba itu masuknya dari laut kemudian tersebar di seluruh daratan Sumatera hingga Pulau Jawa,” jelasnya.
Jika alasannya terhadap penguatan keamanan, maka Kemal mempertanyakan kedekatan Presiden RI Prabowo Subianto dengan Gubernur Aceh atau bekas Panglima GAM, Muzakir Manaf alias Mualem.
Sehingga tidak mempercayai keadaan pasca perdamaian RI dengan Aceh. Kalau Mualem jadi gubernur pun tidak meningkatkan kepercayaan perdamaian, berarti ada sesuatu yang dipertanyakan.
“Jadi kepentingan dengan Mualem itu apa? Berarti dia tidak percaya kepada Mualem,” kata Kemal.
Bijak dan Komprehensif
Penderian 4 Batalyon di Aceh ada yang menilai dari sisi berbeda. Mereka mengajak semua pihak untuk mengkajinya secara komfrehensif dan menyikapinya dengan bijak.
Pengamat politik dan militer, Aryos Nivada misalnya, dia meminta semua pihak untuk bersikap bijak dan mengkaji lebih mendalam, secara komfrehensif.
“Pembentukan 4 Batalyon di Aceh ini harus dicermati secara bikjak secara komprehensif terhadap maksut dan tujuanya. Karena kalau tidak itu dilakukan, akan menjadi bias dan cendrung akan dipolitisir dan itu yang terjadi hari ini,” sebut Aryos.
Artinya ada kegagalan dari pemerintah maupun kalangan TNI dalam mendistribusikan informasi secara mendalam dan obyektif terhadap maksud dan tujuan pembentukan Bataltyon di Aceh, jelasnya.
Menurut Dosen USK ini, yang terkesan pembentukan Batalyon itu hanya untuk pertahanan dan keamanan. Hal ini salah, setelah dia mempelajari secara mendalam tujuan pembentukan Batalyon ternyata untuk bagaimana mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat, serta untuk mendorong program-program pemerintah secara strategis kepentingan nasional.
“Misalnya bagaimana untuk perikanan, kelautan, swasembada pangan, perkebunan, terkait pemberdayaan ekonomi. Ini yang tidak tersampaikan secara meluas kepada masyarakat,” jelas Aryos.
Batalyon ini dibentuk bukan untuk kepentingan pertahanan keamanan, tetapi untuk pemberdayaan masayarakat melalui jalur perikanan, perkebunan, pertanian dan lainnya, semuanya bermuara kepada pemberdayaan ekonomi rakyat.
“Seharusnya peran ini dioptimlakan ke semua stakeholder, unsur pemerintahan, maupun dalam gerakan masyarakat sipil, sehingga menjadi satu kesatuan frame yang menyatu dan memahami tentang maksud dan tujuan pembentukan Batalyon di Aceh,” sebut Aryos.
Dijelaskan Aryos, jangan sertamerta melihat dari sudut pandang yang negative thinking tanpa menelisik lebih jauh maksud dan tujuan pembentukan Batalyon.
“Mari sama-sama untuk coba memahami secara utuh, secara konfrehensif, seperti apa maksut dan tujuanya, kita akan melihat sejauh mana komitmennya yang akan diberikan kepada TNI selaku pihak yang membentuk Batalyon, “ jelasnya.
Sementara itu, Jaringan Nasional Aktivis 98 (Jarnas98) Provinsi Aceh, meminta para elit Aceh untuk tidak gegabah dalam menolak rencana penambahan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di wilayah Aceh.
Ketua PW Jarnas98 Aceh, Hendra Fadli menegaskan, bahwa kebijakan rencana pembangunan batalyon tersebut berada dalam ranah kewenangan pemerintah pusat, sebutnya seperti dilansir SerambiNews.com.
Menurutnya, hal ini sebagaimana diatur dalam perjanjian MoU Helsinki, khususnya klausul 1.1.2 huruf b yang menyebutkan bahwa Aceh tidak mencakup urusan pertahanan luar dan keamanan nasional.
Menurut Hendra, sikap penolakan pembangunan batalyon baru tanpa pertimbangan matang justru dapat berdampak negatif terhadap Aceh.
Apalagi, kata dia, bahwa beberapa penolakan yang selama ini disuarakan sebagian elit Aceh hanya merujuk pada klausul 4.7 MoU Helsinki yang membatasi jumlah tentara organik di Aceh sebanyak 14.700 personel setelah relokasi.
“Maka konsekuensi logis dari itu, gagasan menuntut perpanjangan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebagaimana yang dituntut elit-elit Aceh kepada pemerintah pusat juga menjadi tidak relevan, sebab tidak diatur dalam klausul MoU Helsinki,” kata Hendra, Selasa (6/5/2025).
Oleh karena itu, Hendra meminta kepada elit-elit Aceh agar bijak dalam bersikap. Sebaiknya bangun ruang-ruang dialog yang konstruktif menuju kesepahaman bersama yang menguntungkan bagi masa depan Aceh, kata Hendra.
Ia juga mengajak semua pihak, termasuk mantan kombatan GAM yang masih menyimpan kekhawatiran untuk menyampaikan pandangan mereka dalam forum dialog tersebut.
“Dalam ruang dialog itu, semua kalangan tentu dapat mengemukakan pandangan dan argumentasinya dari berbagai perspektif berkaitan dengan penambahan Batalyon baru di Aceh,” papar dia.
“Termasuk kekhawatiran-kekhawatiran dari pihak mantan pejuang GAM yang menolak, sehingga pemikiran-pemikiran mereka juga dapat tersampaikan secara baik kepada pemerintah,” jelasnya.
Jarnas98, kata Hendra, juga menekankan bahwa semua pihak perlu memahami tanggung jawab mutlak pemerintah pusat dalam memperkuat pertahanan negara, terlebih Aceh merupakan wilayah paling barat Indonesia yang strategis dari sisi geopolitik.
“Dan bukankah hampir semua negara moderen di dunia ini memiliki agenda penguatan dan modernisasi konsep dan struktur pertanahanan negaranya,” ungkap Hendra.
Untuk Apa?
Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, M.Sc., menegaskan bahwa pembentukan Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (PDR) bukan hanya untuk menangani kerawanan keamanan.
Tetapi juga untuk mendukung percepatan pembangunan di wilayah tersebut. Satuan ini diharapkan berperan dalam bidang pertanian, peternakan, dan membantu kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Hal ini disampaikan Kasad usai menghadiri Upacara Peresmian lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan yang dipimpin oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2024).
“PDR tidak hanya dibentuk untuk menangani kerawanan, tetapi juga untuk membantu masyarakat melalui kompi produksi yang difokuskan pada pertanian dan peternakan. Ini adalah ide brilian dari Menhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah rawan,” ujar Kasad.
Kasad juga menjelaskan bahwa Batalyon PDR akan dilengkapi dengan alat pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan serta mendukung keamanan dan pembangunan di daerah tertinggal.
Lima batalyon yang baru dibentuk, masing-masing ditempatkan di wilayah Papua dan Papua Barat, termasuk Yonif 801/Nduka Adyatama Yuddha di Keerom, Yonif 802/Wimani Mambe Jaya di Sarmi, Yonif 803/Ksatria Yuddha Kentsuwri di Boven Digoel, Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha di Merauke, dan Yonif 805/Ksatria Satya Waninggap di Sorong, Papua Barat Daya.
Sementara itu, Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Pangdam IM), Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal, menyatakan, pembangunan Batalyon Teritorial di wilayah Kodam IM merupakan langkah strategis dalam memperkuat pertahanan wilayah sekaligus mendekatkan TNI kepada masyarakat.
“Keberadaan satuan-satuan teritorial baru tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mendukung stabilitas keamanan dan pembangunan daerah,” kata Niko, dalam rilis Kodam IM.
Adapun rencana pembangunan YTP berada di wilayah Aceh Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Terdiri dari sembilan kompi, yang mencakup lima Kompi Senapan, satu Kompi Kesehatan, satu Kompi Pertanian, satu Kompi Pembangunan, dan satu Kompi Peternakan.
Sementara itu Rektor Unimal Herman Fithra.yang merupakan alumnus Lemhanas menjelaskan secara detail tentang manfaat 4 Batalyon yang akan didirikan di Aceh. Diantaranya satuan Batalyon kesehatan, pangan dan konstruksi.
Dalam keteranganya kepada media seperti dilansir Dialeksis.com, dia sangat setuju dan mendukungnya. Dia melihatnya dari sisi wawasan kebangsaan. Sebagai negara yang besar, supaya mandiri, tidak didikte asing, kebutuhan pangan harus betul-betul dicukupi oleh bangsa sendiri.
“Sekarang ada program Presiden ketahan pangan menuju kemandirian pangan Indonesia, harus ada yang menghimpun menggerakan itu, salah satunya yang paling siap adalah TNI yang mudah dimobilisasi,” sebutnya.
Herman Fithra mengatakan, adanya rencana pengembangan empat Batalyon di Aceh, termasuk program penerimaan TNI dari sarjana pertanian,
“Saya sangat mendukung program Pangdam IM, Pak Niko, karena itu bagi saya akan memperkuat Aceh sebagai daerah agraris, sehingga pangannya itu tercukupi dan bisa mendorong untuk bisa dikirim ke provinsi yang lain, itu satu sisi,” ujarnya.
Alumni Lemhanas itu juga mengatakan, akan banyak menggunakan TNI yang putra Aceh sendiri yang dikasih kesempatan lebih luas, secara otomatis dapat meningkatkan nasionalisme, itu perlu, artinya jangan dilihat dari sisi tentara itu berperang.
“Tentara Indonesia itu bukan hanya untuk berperang, juga ada TNI manunggal bersama rakyat, jadi banyak hal yang dilakukan tentara saat tidak berperang, dan itu keuntungan bagi kita masyarakat, jadi jangan cuman dilihat dari sisi TNI itu pasti berperang,” ujarnya.
TNI juga dipakai pada masa damai salah satunya program pemerintah, menyukseskan ketahanan pangan. Masih banyak di daerah kita lahan-lahan di Aceh tidak produktif, menjadi lahan tidur. Bagaimana lahan tidur ini bisa berguna, salah satunya berharap dari TNI untuk membantu mengembangkannya.
Apabila ditambah dibangun empat Batalyon akan berdampak mendongkrak ekonomi, ada ratusan prajurit. Maka ekonomi akan tumbuh, baik mereka berbelanja, berinteraksi, jadi ada uang yang berputar dibelanjakan, itu juga harus dipahami, tumbuhnya sektor ekonomi baru di kawasan tersebut.
“Jadi harus dipahami, tambahan empat batalyon baru itu bukan tempur, jangan nanti ditambah-tambahi dan digiring, banyak kali tentara di Aceh, untuk apa, emang Aceh mau perang, nah kawan kawan melihat dari sisi itu,” jelasnya.
Rektor Herman menyebutkan, dia melihat dari sisi positif, demi mensukseskan program pemerintah ketahanan pangan, ketahanan energy. Akan tumbuh ekonomi baru, maka terbuka kesempatan putra-putri atau anak-anak Aceh lapangan kerja, membangkitkan semangat nasionalisme, nah itukan hal yang baik yang harus disuarakan.
“Saya sebagai akademisi dan alumni Lemhanas melihat isu suatu permasalah yang beredar saat ini, dari sisi yang lebih luas lebih komprehensif jadi tidak melihat sepotong-sepotong,” sebutnya.
“Kita itukan pendidikan di Lemhanas, diajarkan bagaimana memandang Indonesia secara keseluruhan tidak sepotong-sepotong, maka pentingnya wawasan kebangsaan,” tegasnya.
Menurutnya, sebagai akademisi maupun masyarakat sangat mendukung adanya penambahan batalyon di Aceh. Kenapa mendukung?
Karena, sebut Herman, TNI itu jangan dilihat dari sebatas untuk berperang, tetapi TNI juga digunakan pada masa damai manunggal bersama rakyat.
Saat ini perlunya peran semua kalangan dan rakyat indonesia dalam menyukseskan program Presiden Prabowo, yakni ketahan pangan, ketahanan energi, dan program penambahan Batalyon.
“Saat ini kan ada program penerimaan tentara berbasis sarjana pertanian, ada juga Batalyon Zeni untuk bangunan. Ada juga nanti batalyon untuk kesehatan, jadi bukan untuk hanya tempur, itu yang harus dipahami dan harus dicerahkan, agar masyarakat paham,” sebutnya.
Adanya tambahan batalyon dapat membuka kesempatan lebih besar anak-anak Aceh menjadi anggota TNI, pasukan prajurit TNI organik sama dengan seperti Batalyon yang sudah ada di Aceh.
“Mereka prajurit organik, ada TNI berbelanja, sehingga ekonomi di daerah tersebut dapat meningkat, dan bisa membantu mengurangi angka kemiskinan juga, termasuk bisa membantu ekonomi keluarganya nanti, karena ada program lapangan pekerjaan,” jelasnya.
Fitra menyayangkan kalau hanya melihat dan menilai dari satu sisi, itukan kurang per juga, tambah tentara lagi, ada apa nih, sehingga membuat orang takut, digiring terus, sementara hal yang lain yang positif tidak diungkap.
“Sekarang kita dorong agar banyak anak Aceh jadi tentara, biasanya itu, seperti yang suka di Menwa, dokter, ada sarjana hukum, tekhnik, setelah tamat daftar jadi prajurit karier,” pungkasnya.
Negeri ujung barat Pulau Sumatera akan bertambah 4 Batalyon, saat ini pembahasan tentang pasukan loreng di sana masih ramai. Ada yang mendukung, namun ada juga yang menolak. Berbeda pandangan dan prinsip dalam menyikapi.
Namun berbeda pandangan dalam menyikapi bukan menimbulkan perpecahan. Ibarat periuk dan sendok yang sering terantuk, bukan karena terantuk lantas periuknya pecah. Dentingan sendok dalam periuk menandakan ada kehidupan. Bagaimana kelanjutan 4 Batalyon ini?. [bg]