Bongkar Penyebab JKA Dihentikan dan Tuai Masalah di Masyarakat Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Ilustrasi JKA. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) selama ini jadi tumpuan dan harapan masyarakat Aceh di pelayanan kesehatan. Terobosan kebijakan ini dimulai 1 Juni 2010 di masa era kepemimpinan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Tujuan dibuat JKA strategi reformasi system pembiayaan pelayanan kesehatan di Aceh.
Seiring berjalan satu dekade masyarakat Aceh telah merasakan manfaat layanan Kesehatan yang diberikan Pemerintah Aceh. Namun menuai beban berat secara anggaran, bahkan dilemma ditengah keterbatasan dana maupun keadaan di era pandemic akibat virus corona.
Faktanya tanggung jawab Pemerintah Aceh tetap menanggung pembayaran premi kesehatan masyarakat Aceh sampai akhir Maret 2022 atau terhitung 01 April 2022. Selanjutnya, jika masyarakat Aceh jika ingin berobat maka harus bayar sendiri atau mendaftar ke BPJS. Ada berbagai kelas yang disediakan dan yang terendah saat ini adalah kelas III dengan biaya Rp 35 ribu/orang untuk per bulannya.
Sungguh miris kebijakan dikeluarkan di tengah keadaan kemiskinan di Aceh serta pandemi mendera Aceh? Ibarat buah simalakama, tapi tetap harus dilakukan. Walau sebenarnya pemberian layanan kesehatan tanggung jawab pemerintah sejalan teori modern negara hadir berikan kepastian layanan kesehatan. Lantas dimana keberpihakan pemerintah ?
Satu cerita nyata dari sekian cerita, terdapat double name, orang tersebut sudah ada JKA namun juga ada BPJS sehingga penggunaannya tidak efisien. Sehingga pemerintah Aceh harus membayar premi kesehatan terhadap mereka yang double name asuransi kesehatan ini.
Hal lain jika ditelusuri beberapa alasan lain mengapa Pemerintah Aceh menghentikanya, seperti disebutkan Aktivis Lembaga Kajian Strategis dan Kebijakan Publik (Lemkaspa) Aceh, Sanusi Madli.
Dirinya menerangkan, alasan pemberhentian itu diantaranya anggaran tersebut akan digunakan untuk membiayai usulan kegiatan baru hasil reses anggota DPRA senilai Rp 990 miliar dan potongan anggaran tersebut untuk menyelesaikan percepatan pembangunan rumah sakit regional di 5 (Lima) daerah di Aceh.
“Hal ini akibat dari ketersediaan anggaran pasca menurunnya dana otsus Aceh yang bakal dimulai nanti tahun 2024,” sebutnya.
Sebenarnya siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? apakah Dinas Kesehatan Aceh? Apakah Gubernur Aceh? Apakah BPJS?
Kita ketahui bersama JKA ini bukanlah program kesehatan gratis pertama yang digaungkan. Namun JKA ini didesain sedemikian rupa sehingga berbeda dengan program kesehatan lainnya dan merupakan sebuah jaminan Universal Health Coverage pertama di Indonesia.
Saat itu jangkauannya mencapai seluruh wilayah di Indonesia, sehingga bisa disebut dimana masyarakat Aceh berada maka dia bisa berobat dengan gratis, menggunakan JKA dengan syarat-syarat administrasi tertentu dari RS rujukan yang dituju atau dimana masyarakat Aceh berobat.
Kala itu, pemerintah Aceh menggandeng PT ASKES (Persero) sebagai badan penyelenggara JKA 2010-2012.
Saat itu segala kemudahan dalam berobat dapat dipergunakan masyarakat. Ibaratkan jika ingin berobat walau hanya sekedar flu biasa saja cukup memperlihatkan KTP atau domisili Aceh atau pembuktian bahwa dia adalah masyarakat Aceh, maka sudah bisa berobat atau konsultasi gratis dan mendapatkan pelayanan obat gratis tanpa mengeluarkan biaya Rp 1 Rupiah pun karena semuanya sudah ditanggung pemerintah Aceh.
Dilema Tak Beralasan
Kembali lagi ke cerita nyata double name, minimnya dana dan sinkronisasi data. Publik tau alasan itu upaya lepas tangan pemerintah tak memiliki solusi tetap memberikan layanan kesehatan.
Kelalai itu menurut Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Ratnalia Indrisari perilaku nyata birokrasi Pemerintahan Aceh tidak serius membuat kajian exit strategi pelayanan kesehatan jika JKA tidak dilanjutkan atau pun dilanjutkan untuk masyarakat Aceh yang berhak.
“Gagal pemerintah merumuskan jalan keluar sekaligus kelanjutan terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat Aceh,” tegasnya kepada Dialeksis.com.
Seharusnya dari dulu, Pemerintah Aceh mempunyai data real atau data masyarakat dari setiap kasta yang ada di Aceh (Dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi Aceh atau Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Aceh). Selanjutnya diverifikasi sehingga dapat data real masyarakat yang layak mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Ratnalia memberikan solusi sesegera mungkin dibentuk tim khusus memastikan validasi data sekaligus menyusun langkah taktis bagi masyarakat kesulitan membayar premi berstatus masyarakat miskin.
Seolah-olah menetralisir gejolak pencabutan layanan JKA, Juru Bicara Aceh, Muhammad MTA mengatakan bahwa ada 4 (empat) premi kesehatan di Aceh, antara lain ditanggung JKA 2,2 Juta Jiwa, peserta mandiri 123 ribu orang dan 801 ribu merupakan PNS/TNI. Sedangkan masyarakat yang ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berjumlah 2,1 juta jiwa.
Kemudian, MTA menjelaskan bahwa JKN-KIS ini diperuntukan bagi masyarakat miskin. Menurutnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ada sebanyak 819 ribu orang atau jiwa masyarakat miskin di Aceh.
Berdasarkan penyampaian Jubir Aceh berarti adanya ketidaksingkronisasian data atau keteledoran yang dimana masyarakat miskin Aceh 15 persen dan sisanya masyarakat menengah ke atas juga ditanggung premi kesehatannya oleh pemerintah Aceh, Jika merujuk pada angka data resmi yang dikeluarkan BPS. Sedangkan pemerintah pusat plotting 2,1 juta tanggungan JKN-KIS untuk Aceh.
Lebih lanjut Jubir Aceh, Muhammad MTA meminta masyarakat untuk tidak risau. Dikutip dari Serambinews.com, Selasa (15/3/2022), MTA menjelaskan, bahwa polemik data JKN dan JKA prinsipnya adalah terkait by name by address.
BPJS dalam hal ini, kata MTA, tidak mau menyerahkan data masyarakat penerima JKN dengan alasan karena premi JKN ditanggung oleh pusat.
Selama ini, disebutkan MTA bahwa pemerintah Aceh turut melakukan tanggungan premi tambahan untuk JKN sebanyak Rp 22.000/jiwa/tahun. Artinya, pemerintah Aceh dan DPRA harus tahu siapa-siapa saja penerima JKN premi itu berdasarkan by name by address.
"Kita akan tertibkan dahulu nama-nama penerima JKN. sebanyak 2,1 juta jiwa masyarakat Aceh. makanya BUpati/Walikota saat agar segera melakukan update data 2,1 jiwa masyarakat miskin," kata MTA.
Sambungnya, MTA mengatakan, Gubernur Aceh saat mendengar hal ini, justru penekanan yang dipertanyakan adalah bagaimana keberlangsungan jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin? tapi terkonfirmasi bahwa 2,1 jiwa rakyat Aceh terjamin hak-hak jaminan kesehatannya.
Dirinya juga mengatakan, dalam hal ini, tak menutup kemungkinan DPRA akan menyurati KPK dalam upaya mendapati data JKN itu.
Sementara itu, Ketua komisi V DPRA, M Rizal Fahlevi Kirani, Selasa (15/3/2022) membongkar tabir gelap penyebab dihentikan JKA, penghentian pembayaran premi kesehatan ini atas kesepakatan antara DPRA dan Pemerintah Aceh. Hal ini akibat dari ugal-ugalan BPJS.
“Berapa kali saya minta data sampai hari ini, saya belum menerima atau mendapatkan data JKN-KIS. Kita ingin cek by name by addres, jangan-jangan ada yang double,” sebutnya.
Menurutnya, Aceh selama ini dirugikan. Karena semua premi kita tanggung, misalnya orang yang sudah ada BPJS mandiri, tapi pemerintah Aceh juga menanggung itu,” tegasnya kepada awak media.
Hal itu dilakukan guna mengevaluasi kerja sama antara BPJS dan Pemerintah Aceh setelah mendapatkan banyak keluhan dari masyarakat. “BPJS tidak meng-cover semua jenis penyakit serta sistem rujukan yang dinilai rumit atau ribet,” kata Fahlevi.
“Berdasarkan RPJM, semua rakyat Aceh, apapun penyakitnya, tetap akan ditanggung JKA. Tapi faktanya itu tidak!,” tegas Fahlevi.
“Inikan semua preminya ditanggung, bahkan anak belum lahir saja sudah ditanggung, inikan bahaya betul dalam serapan anggaran, apalagi saat ini kita defisit anggaran. Dana Otsus sudah berkurang,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Fahlevi, pemerintah Aceh harus mempunyai sebuah skema dalam penerapan premi kedepan untuk meng-cover rakyat Aceh dan ini harus dikejar.
Respon Keras Publik
Bukan hanya kalangan dewan saja mengkritik kebijakan pemutusan layanan JKA, Pengamat Kebijakan Publik Nasrulzaman melihat ada 2 persoalan dalam kerjasama pemerintah Aceh dengan BPJS. Pertama soal sinkronisasi data yang tidak pernah selaras dan yang kedua soal disamakannya model pelayanan BPJS bagi warga Aceh dengan warga provinsi lainnya termasuk sistem rujukan, padahal Aceh memberi anggaran BPJS sangat besar.
Kemudian, dirinya menyampaikan, meski masyarakat Aceh saat ini sebagian besar bergantung terhadap kesehatan gratis terutama masyarakat miskin. Namun pemerintah Aceh juga tidak bisa semena-mena membayar Rp 1,2 triliun hanya untuk asuransi karena sektor kemiskinan dan pendidikan yang buruk juga membutuhkan perhatian dan keberpihakan anggaran.
“Sebenarnya sejak awal saya sudah pernah menyampaikan agar JKA perlahan-lahan dicari solusi untuk tidak gabung dengan BPJS, JKA untuk masyarakat Aceh perlu dibuat secara mandiri dan Aceh pernah punya pengalaman,” sebutnya.
Lebih lanjut, Dia menegaskan, harusnya ada pengumuman kalau masyarakat tetap bisa berobat gratis di seluruh rumah sakit pemerintah yang ada di kab/kota termasuk yang di Banda Aceh
“Ini jika tidak dilakukan sama saja, Pemerintah Aceh sudah melarang warganya untuk tidak sakit terhitung 01 April 2022 mendatang,” tegasnya.
Hal lain diungkapkan Akademisi Unmuha, Nasrul Hadi Jumat (11/3/2022), Dialeksis.com, juga menyampaikan, pemerintah harus ada solusi optimalisasi anggaran untuk menanggung premi masyarakat Aceh.
“Apakah sumbernya dari PAD, dana Otsus atau pendapatan lain yang sah. Karena Aceh ini punya dana, tinggal pengelolaan saja yang benar sesuai aturan yang berlaku dan ada manfaat bagi masyarakat, salah satunya program kesehatan dan jaminan sosial,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Jumat (11/3/2022).
Lanjutnya, perlu disadari bahwa jaminan sosial merupakan hak setiap orang yang pemenuhannya dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Pada Pasal 224 UUPA menetapkan Setiap penduduk Aceh Ayat (1) mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal,” pungkasnya.
Akademisi pun turut bereaksi merespon JKA dihentikan, Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan juga Peneliti The Aceh Institute, Muazzinah Yacob B.Sc, MAP mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pasal 224 yang mengamanatkan bahwa seluruh masyarakat Aceh harus mendapatkan akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan.
Amanat UUPA tersebut tentunya untuk terjamin adanya pelayanan kesehatan masyarakat Aceh tanpa pembatasan kategori apapun. Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) merupakan jaminan bagi masyarakat Aceh sebagai peserta BPJS yang iurannya ditanggung oleh Pemerintah Aceh.
"Menurut data Dinkes Aceh tahun 2020 terdapat 2.090.660 jiwa yang ditanggung. Sejak April 2022 nanti dana JKA dihentikan bagi warga mampu. Jikapun alasan dihentikan karena selama ini JKA menanggung premi masyarakat yang relatif mampu sedangkan masyarakat miskin sudah ditanggung melalui program JKN-KIS maka perlu dijelaskan secara rinci bagaimana kategori yang dikatakan relatif mampu," sebutnya.
"Pemerintah Aceh sesegera mungkin harus menyampaikan tentang data berapa jumlah warga mampu yang dihentikan JKA nya, kemudian bagaimana cara pindah ke JKN-KIS, dimana dan berapa lama prosesnya, namun dalam proses itu, layanan kesehatan juga harus berjalan dengan semana mestinya," tukasnya.
Dilemanya Masyarakat
Kemudian wartawan Dialeksis.com sempat berbincang dengan masyarakat melalui by phone yang hanya hendak menanyakan kabar dan kesehatannya, bahkan sedikit menanyakan bagaimana responnya terhadap isu JKA ini, Selasa (15/3/2022).
Salah satu warga di Kota Langsa, Bachtiar menyebutkan bahwa selama ini kehidupannya sudah sangatlah susah.
“Saya harus menanggung kebutuhan keluarga saya, makan, biaya listrik, air, kebutuhan lainnya. Anak saya juga tengah berkuliah mandiri saat ini agar mendapatkan kehidupan yang layak nantinya,” sebutnya.
“Sekarang saya dapat kabar sudah tak ada lagi JKA, saya sudah bayangkan bagaimana nantinya setelah Maret nantinya, saya sudah sakit-sakitan, penghasilan saya juga pas-pasan,” jelas Bachtiar.
Dirinya mengungkapkan, zaman Irwandi pihaknya termasuk sangat bersyukur, karena mendapatkan pelayanan kesehatan gratis bahkan sampai dirujuk ke Adam Malik (RS rujukan di Medan).
“Saat itu saya jantung dan harus rawat inap, karena ada JKA sudah sangat terbantu, keluarga saya hanya perlu memikirkan biaya lainnya, seperti makan atau kebutuhan untuk yang menjaga saya saat itu, yaitu istri saya sendiri,” ujarnya.
Pengakuan yang nyaris sama juga disampaikan salah warga Aceh Utara, T Rizky Hafzal. Menurutnya, JKA sangat memudahkan saya dalam berobat.
“Saya kalau sakit, cepat urusannya, kalaupun ada miss komunikasi hal biasa, tapi semua sangat mudah. Gak ada yang saya pikir lagi, saya hanya perlu fokus untuk sembuh, ini April sudah tak ada JKA lagi, saya setiap bulannya harus cek-up rumah sakit, kini harus bayar,” ujarnya.
Dari pernyataan masyarakat itu, dapat disimpulkan bahwa JKA tak hanya menjadi kebutuhan utama dalam kesehatan, namun juga menjadi sebuah tameng pelindung yang ketika ingin berperang, maka sudah disediakan atau diberikan pelindung oleh sang raja penguasa.
Namun kini sudah tak ada lagi tameng tersebut yang nanti akan terhitung 1 April 2022 maka seluruh masyarakat Aceh harus menanggung semua biaya kesehatannya melalui BPJS setiap bulannya dan perorangnya sebesar Rp 35.000,-.
Jika tidak membayar iuran tersebut, maka jika terjadi kecelakaan mendadak, bisa saja tidak dilayani ataupun dipertanyakan ‘apakah anda punya asuransi kesehatan atau BPJS?’.
Seharusnya, dalam hal ini, silahkan saja dicabut JKA, namun sebelum itu pemerintah Aceh sudah memegang data real daripada masyarakat Aceh. Tidak perlu harus meminta data dari BPJS, cukup mendata dari setiap pelosok Dinkes yang ada di seluruh wilayah Aceh.
Manfaatkan fasilitas yang ada, minta seluruh geuchik atau kepala desa, camat, pemuda/di, sekolah-sekolah ataupun LSM ataupun instansi terkait, Walikota, atau SKPA yang ada diseluruh jajaran Gubernur Aceh untuk mendata terhadap masyarakat.
Dengan begitu, maka data real akan didapat dengan mudah dan Jangan hanya berpaku pada sebuah data instansi saja.
Setelah mendapatkan data maka harus dievaluasi, di sinkronisasi data tersebut antara data yang sudah ada dengan pemerintah pusat. Jika pemerintah pusat ataupun BPJS tidak memberikan data sama sekali, maka Pemerintah Aceh bisa saja bekerja lebih keras lagi atau dengan cara memperkuat data .
Bisa dengan membuka nomor hotline ataupun tempat pengaduan terhadap hal ini, misalkan masyarakat yang belum terdata, maka kepala desa ataupun pemimpin desa dapat mendata lebih lanjut.
Apa saja syarat yang harus dilampirkan, cukup dengan KTP dan KK saja. Saya rasa itu sudah mewakili daripada sebuah kelengkapan administrasi dalam mendapatkan sebuah kesehatan gratis.
Lantas dari mana dananya? Aceh selama ini memiliki dana yang cukup besar, terhitung selalu SiLPA. Kenapa tidak dimanfaatkan untuk penggunaan pembayaran premi kesehatan. Saya yakin sebenarnya rakyat miskin di Aceh tidak sebanyak 819 ribu jiwa, bisa saja dibawah itu.
Atau memanfaatkan PAD sebesar 20/30 persen untuk penggunaan premi kesehatan ini, saya yakin bisa ditambah atau disokong dengan besaran otsus sebesar 5-10 persen nantinya yang diberikan oleh pusat sebesar 1 persen, maka itu sudah membantu.
Lantas permasalahan antara Aceh dan BPJS ini bagaimana, pada pernyataan Jubir Aceh, Muhammad MTA sudah menyebutkan dengan segala upaya sudah dilakukan untuk mendapatkan data JKN tersebut. Jika BPJS tidak menyerahkan juga, maka upaya selanjutnya adalah, 'Tidak menutup kemungkinan DPRA akan menyurati KPK dalam upaya mendapatkan data JKN tersebut.
Upaya pemerintah Aceh sudah baik, hanya saja pemutusan ini menjadi sebuah kekhawatiran mendalam terhadap masyarakat tentunya. Oleh karena itu, seperti disebutkan Aktivis Lembaga Kajian Strategis dan Kebijakan Publik (Lemkaspa) Aceh, Sanusi Madli, pemerintah Aceh tidak memberhentikan pembayaran premi kesehatan, sehingga, masyarakat Aceh tetap dapat berobat secara gratis di semua rumah sakit pemerintah dan swasta dan masyarakat tidak terbebani.
Lantas dari permasalahan ini, seperti pertanyaan diatas, sebenarnya siapa yang patut disalahkan? Apakah Dinas Kesehatan Aceh? Apakah Gubernur Aceh? Apakah BPJS?
(Dialeksis/Alfatur Rizky)