Senin, 30 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Blang Padang: Di Antara Wakaf Sultan dan Plang TNI

Blang Padang: Di Antara Wakaf Sultan dan Plang TNI

Minggu, 29 Juni 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Ilustrasi polemik status tanah blang padang. Foto: desain Dialeksis

DIALEKSIS.COM | Indepth - “Tanah itu wakaf, bukan milik militer. Tapi entah kenapa, setelah tsunami, langsung dipasang plang milik TNI. Ini soal martabat dan identitas sejarah,” tegur Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah (Dek Fadh) dalam sebuah forum di Banda Aceh. Pernyataan lantang itu menandai semangat baru Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) dan dirinya untuk mengembalikan Lapangan Blang Padang ke pangkuan yang semestinya sebagai tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman.

Di tengah sengketa yang telah berlarut sejak era pascatsunami 2004, duet Mualem Dek Fadh mengobarkan kembali advokasi berbasis sejarah, hukum, dan aspirasi rakyat Aceh demi memulihkan marwah tanah Blang Padang sebagai warisan Sultan Aceh. Langkah konkret pun ditempuh: surat resmi dilayangkan kepada Presiden RI guna meminta penegasan status tanah wakaf tersebut.

Dukungan luas mengalir dari kalangan sejarawan, akademisi, hingga budayawan, yang menilai inisiatif ini bukan semata soal kepemilikan lahan, melainkan juga upaya menghormati wasiat sejarah dan jati diri masyarakat Aceh. Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) memimpin upaya advokasi untuk mengembalikan tanah wakaf Blang Padang kepada Masjid Raya Baiturrahman Aceh.

Pemerintah Aceh mengumpulkan bukti sejarah dan hukum untuk memperkuat klaim wakaf, termasuk dokumen era kolonial Belanda yang mengakui status tanah tersebut sebagai milik Masjid Raya.

Warisan Waqaf Sultan yang Terlupakan

Lapangan Blang Padang, hamparan rumput hijau seluas sekitar 8 hektare di jantung Kota Banda Aceh, bukanlah tanah biasa. M. Adli Abdullah, sejarawan Aceh sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, menjelaskan bahwa “Sejak abad ke-17, Blang Padang sudah berstatus tanah wakaf oleh Sultan Iskandar Muda untuk Masjid Raya Baiturrahman. Dalam tradisi Aceh, lahan semacam ini disebut tanoh meuseuraya tanah milik Allah yang hasilnya untuk kemakmuran masjid,” tuturnya kepada Dialeksis.

Adli merujuk pada berbagai sumber sejarah, termasuk arsip kesultanan dan catatan kolonial, yang konsisten menyebut Blang Padang sebagai bagian integral dari wakaf Masjid Raya. “Bahkan pejabat Belanda pun dulu mengakui status itu. Ada buku tahun 1888 oleh Van Langen yang secara tegas menyatakan Blang Padang dan Blang Punge adalah ‘Oemoeng Sara’, istilah lokal untuk tanah wakaf Masjid Raya, yang tak boleh diperjualbelikan atau diganggu gugat statusnya,” kata Adli, mengutip dokumen tersebut.

Temuan ini diperkuat oleh bukti peta kuno: peta Koetaradja (Banda Aceh) tahun 1875 dan 1915, yang menunjukkan area Blang Padang tidak pernah dicatat sebagai properti kolonial atau militer Belanda.

Dengan kata lain, bahkan penjajah pun menghormati tanah itu sebagai milik Masjid Raya Baiturrahman. Adli Abdullah menjelaskan bahwa pada masa kesultanan, hasil pengelolaan tanoh meuseuraya Blang Padang digunakan untuk membiayai operasional masjid mulai dari kebutuhan imam, khatib, muazin, hingga perawatan fasilitas ibadah.

“Sistem wakaf ini adalah kearifan lokal Aceh sejak dulu. Jika hasil dari tanah wakaf seperti padi atau sewa lahan tidak mencukupi biaya masjid, barulah ditopang oleh zakat atau bantuan warga sekitar,” paparnya.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Blang Padang sebagai sumber daya bagi Masjid Raya, simbol utama syiar Islam di Aceh.

“Wakaf Sultan Iskandar Muda ini bukan cuma aset fisik, tapi amanah spiritual dan kultural. Mengembalikannya berarti menjaga amanah leluhur dan syariat,” tegas Adli.

Namun, seiring berjalannya waktu, warisan sejarah ini seolah terlupakan dalam administrasi modern. Pasca kemerdekaan Indonesia, Blang Padang memang sempat difungsikan untuk berbagai keperluan publik dari ajang upacara kenegaraan hingga tempat olahraga dan rekreasi masyarakat.

“Ironisnya, status wakafnya tak pernah tercatat resmi dalam sistem agraria negara,” ujar Adli.

Akibatnya, tanah wakaf ini rentan terhadap klaim pihak lain. Meski Masjid Raya Baiturrahman berdiri megah tak jauh dari situ, kepemilikan sah atas Blang Padang menjadi abu-abu. Hingga terjadilah babak baru dalam sejarah lahan tersebut: gelombang konflik pascatsunami.

Sengketa Pascatsunami dan Advokasi yang Tersendat

Bencana tsunami 26 Desember 2004 membawa perubahan drastis pada lanskap Aceh, termasuk Blang Padang. Pascatsunami, Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda dilaporkan mengambil alih lapangan Blang Padang secara sepihak. Plang bertuliskan “Hak Pakai TNI AD” terpasang di atas tanah yang dulunya sawah wakaf milik masjid.

Menurut Adli Abdullah, situasi darurat saat itu mungkin menjadi alasan militer memanfaatkan Blang Padang sebagai ruang strategis.

“Kita memahami saat tanggap darurat tsunami, banyak aset digunakan tanpa birokrasi rumit. Namun kemudian timbul kesan seolah-olah tanah tersebut adalah hak militer,” ujarnya.

Hal ini menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat Aceh, apalagi ketika diketahui bahwa tanah itu juga tercatat sebagai aset Pemerintah Aceh dalam inventaris daerah. “Jadi ada dualisme: versi Kementerian Pertahanan/TNI menyebut itu aset mereka, sementara Pemda Aceh punya klaim historis,” kata Adli. Sengketa status Blang Padang mulai mencuat sekitar tahun 2008, ketika isu legalitas tanah ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Berlarut hingga dekade berikutnya, masalah ini tak kunjung tuntas. Pemerintah Aceh periode-periode sebelumnya sebenarnya telah berupaya mencari solusi. Tahun 2022, misalnya, Penjabat (Pj) Gubernur Achmad Marzuki diharapkan menggunakan pengaruhnya untuk menyelesaikan polemik lahan tersebut.

DPRA bahkan mendesak agar dilakukan langkah proaktif, seperti mewakafkan kembali tanah itu kepada Masjid Raya sebagai jalan tengah antara Aceh dan Kementerian Pertahanan.

“Saat itu ada gagasan agar kedua pihak (Pemda Aceh dan Kemenhan) mundur selangkah agar ada kata sepakat tanah tersebut diwakafkan saja ke masjid, lalu sertifikasinya diurus ulang. Sehingga tak ada yang merasa kalah, semua demi kepentingan umat,” ujar Aryos Nivada, pendiri Jaringan Survei Inisiatif yang juga pengamat politik dan keamanan.

Namun, upaya pada masa Achmad Marzuki tersebut belum membuahkan hasil nyata. Di awal 2023, sempat dikirim tim khusus Pemerintah Aceh ke Belanda untuk menelusuri arsip kolonial terkait Blang Padang. Publik menaruh harapan, mengingat banyak dokumen agraria Aceh tersimpan di negeri Belanda. Sayangnya, sesudah tim pulang, tak terdengar kabar lanjutannya. Kekecewaan warga pun mencuat.

“Masyarakat bertanya-tanya, kok senyap hasilnya? Padahal uang rakyat sudah dipakai terbang cari bukti,” kata Aryos, mengomentari kritikan dari aktivis lokal seperti Syakya Meirizal yang sempat viral di media sosial.

Syakya dan sejumlah elemen masyarakat kala itu mendesak Pj Gubernur agar berani mengambil sikap tegas memperjuangkan wakaf Blang Padang.

Bahkan ancaman aksi massa bergema jika tak ada progres: “Akan dilakukan demo terus-menerus hingga tanah itu dikembalikan ke masjid, bila perlu menuntut Pj Gubernur dicopot,” begitu bunyi ultimatum dalam video Syakya.

Aryos Nivada menilai lambatnya penyelesaian saat itu disebabkan pendekatan yang kurang agresif dan minimnya sinergi dengan pemerintah pusat.

“Waktu era Pj Gubernur, mungkin beliau masih hati-hati karena statusnya bukan definitif dan harus menjaga relasi dengan pusat serta TNI. Jadi yang dilakukan sebatas upaya administratif seperti cari dokumen,” ujarnya.

Akibatnya, sengketa kian berlarut tanpa keputusan final, sementara plang “Hak Pakai TNI” tetap tegak di Blang Padang, bagai duri dalam daging bagi Aceh yang kental nilai religius. Meski demikian, api advokasi di tingkat masyarakat tak pernah padam. Organisasi sipil, akademisi, hingga tokoh politik lokal terus menggaungkan pentingnya mengembalikan “tanoh Allah” tersebut sesuai titah wakaf.

“Isu ini selalu hangat di Aceh, karena menyangkut harga diri (marwah) dan kedaulatan kita atas warisan sejarah,” tambah Aryos.

Semangat Baru: Mualem, Dek Fadh, dan Surat untuk Presiden

Memasuki tahun 2025, babak baru dimulai ketika Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem dilantik sebagai Gubernur Aceh, berpasangan dengan Wakil Gubernur Fadhlullah (Dek Fadh). Keduanya berasal dari latar belakang perjuangan Aceh dan memiliki kedekatan komunikatif dengan pemerintah pusat.

Di bawah kepemimpinan mereka, advokasi tanah Blang Padang segera tancap gas. Puncaknya, pada 17 Juni 2025, Gubernur Aceh resmi mengirim surat bernomor 400.8/7180 langsung kepada Presiden RI, Prabowo Subianto. Isi surat tersebut tegas: memohon penyelesaian status tanah wakaf Blang Padang yang saat ini dikelola TNI-AD, agar ditetapkan menjadi milik Masjid Raya Baiturrahman.

Mualem memaparkan bukti-bukti kuat dalam surat itu dari dokumen kesultanan, catatan Belanda, hingga hasil telaah yuridis yang semuanya mengarah pada satu kesimpulan: tanah seluas hampir 8 hektare di Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh itu sejak lama adalah tanah wakaf Masjid Raya.

Replika pesawat Dakota RI - 001 Seulawah di sudut Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, menjadi pengingat sejarah kontribusi Aceh bagi kemerdekaan Indonesia. Selain nilai historisnya, Blang Padang kini berfungsi sebagai ruang publik vital tempat warga berolahraga, berekreasi, dan menggelar berbagai kegiatan komunitas.

Upaya mengembalikan status wakaf Blang Padang tak hanya soal hukum, tapi juga memastikan pengelolaan ke depan selaras dengan nilai sejarah, syariat, dan kemaslahatan masyarakat.

Dalam surat kepada Presiden itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf meminta empat langkah konkrit dari pemerintah pusat: (1) menetapkan status Blang Padang sebagai tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman, (2) mengembalikan pengelolaannya kepada Nazhir (pengelola wakaf) Masjid Raya, (3) memfasilitasi sertifikasi resmi tanah wakaf tersebut, dan (4) mengoordinasikan instansi terkait agar proses berlangsung tertib, transparan, serta sesuai aspirasi rakyat Aceh.

“Besar harapan kami kepada Bapak Presiden untuk mempertimbangkan permohonan ini demi menjaga marwah adat dan sejarah Aceh,” tulis Mualem menutup suratnya, sembari mengingatkan nilai-nilai keislaman warisan Sultan Iskandar Muda yang perlu ditegakkan.

Wagub Fadhlullah memastikan bahwa surat tersebut telah ditembuskan juga ke Kementerian Agama RI sebagai otoritas wakaf. “Sejauh ini belum ada respon, tapi dokumen wakaf sudah kita serahkan ke Menteri Agama,” ujarnya, optimistis bahwa pemerintah pusat akan bersikap bijak.

Dek Fadh menjelaskan, pemerintah Aceh telah mengantongi dokumen resmi tentang wakaf Sultan dahulu. “Kawan-kawan TNI mungkin tidak salah menurut kaca mata mereka, tapi kita punya bukti autentik sejarah wakaf sejak zaman Sultan,” katanya kepada pers, berusaha memahami posisi TNI namun teguh pada data sejarah.

Ia menambahkan bahwa sekarang bola ada di tangan pusat: “Biarlah Pemerintah Pusat yang memutuskan bagaimana status tanah ini sebenarnya,” ungkap Dek Fadh.

Langkah berani Mualem - Dek Fadh ini menuai apresiasi di Aceh. Aryos Nivada termasuk yang memberi acungan jempol. “Jujur, saya salut. Baru kali ini pemerintah Aceh ‘all out’ secara politis langsung ke Presiden untuk isu Blang Padang. Hebat!” ujarnya.

Sebagai pendiri Lingkar Sindikasi dan dosen ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos menilai strategi Mualem mengirim surat resmi lengkap dengan bukti sejarah adalah terobosan penting.

“Signal politiknya kuat: Aceh serius ingin selesaikan ini secara bermartabat. Pemerintah pusat pun jadi merasa mendapat permintaan formal yang tak bisa diabaikan,” kata Aryos.

Ia juga mencermati faktor kedekatan politik: Prabowo Subianto, yang kini Presiden, punya hubungan baik dengan Aceh (Fadhlullah sendiri adalah kader Partai Gerindra di Aceh).

“Ada momentum bagus. Pusat dan Aceh sedang seirama, sehingga peluang sukses lebih besar,” lanjutnya.

Menurut Aryos, penyelesaian sengketa Blang Padang akan menjadi angin segar bagi hubungan Aceh - Jakarta.

“Ini akan menunjukkan bahwa aspirasi keistimewaan Aceh diakui. Ingat, Aceh punya kekhususan soal agama dan adat. Tanah wakaf masjid raya itu kan ranah agama-adat, jadi sudah selayaknya dihormati,” paparnya.

Aryos menambahkan, jangan sampai polemik ini diwariskan ke generasi berikutnya. Ia mengibaratkan sengketa tanah wakaf ini sebagai “benang kusut” yang jika dibiarkan bisa menimbulkan sentimen negatif jangka panjang.

“Alhamdulillah sekarang diurai. Harapannya, dengan kolaborasi pusat-daerah, nanti ada keputusan win-win: TNI dapat apresiasi karena legowo, Aceh dapat haknya kembali,” ucapnya.

Ia meyakini TNI pada prinsipnya akan mengikuti arahan pemerintah pusat. Apalagi, tokoh-tokoh Aceh sudah menyuarakan bahwa menguasai harta wakaf secara tidak sah bertentangan dengan prinsip syariat.

“Istilahnya, siapa pun yang menikmati manfaat ekonomi dari tanah wakaf Sultan ini tanpa hak, ya secara hukum Islam itu berdosa. Pesan moral seperti ini penting disampaikan,” kata Aryos, sejalan dengan pandangan para ulama Aceh.

Antara Marwah dan Pemanfaatan untuk Umat

Di tengah hiruk-pikuk advokasi, kalangan budayawan turut angkat bicara tentang makna kultural pengembalian Blang Padang. Herman RN, sastrawan dan budayawan Aceh, menyebut isu ini menyentuh marwah (kehormatan) kolektif orang Aceh.

“Blang Padang bukan sekadar tanah lapang, ia adalah panggung sejarah dan kebanggaan kita,” ujarnya. Herman menjelaskan bahwa sejak masa kolonial pun Blang Padang sudah menjadi ruang penting tempat parade militer Belanda dahulu, lalu arena proklamasi semangat rakyat Aceh (di lapangan inilah tersimpan kisah pesawat pertama RI sumbangan Aceh, Dakota Seulawah RI - 001, yang replikanya kini berdiri di sana).

“Setiap jengkal Blang Padang mengandung narasi heroik dan religius. Di situlah perlawanan, di situlah juga wakaf dijunjung tinggi,” kata Herman. Karena itu, lanjutnya, wajar masyarakat bereaksi keras ketika tanah itu seakan lepas dari fungsi aslinya.

“Mengembalikan Blang Padang ke masjid artinya mengembalikan ingatan kolektif kita ke jalurnya yang benar,” tuturnya kepada Dialeksis.

Sebagai ruang publik saat ini kata Herman, Lapangan Blang Padang sangat hidup dan dicintai warga. Tiap pagi-sore, ratusan orang berolahraga joging mengelilingi lapangan, bermain sepak bola, voli, atau sekadar duduk di bawah pepohonan rindang.

Setiap akhir pekan, area ini menjadi pusat keramaian ada pasar kuliner, komunitas skateboard, hingga acara seni-budaya.

“Blang Padang ibarat alun-alunnya Aceh. Tempat semua kalangan berkumpul,” ujar Herman RN.

Ia mengakui, di tangan Kodam Iskandar Muda dan pemerintah kota, fasilitas di lapangan tersebut terawat baik jogging track, taman, monumen tsunami, semuanya tertata.

“Makanya, kita juga tidak menafikan peran TNI dan pemda selama ini menjaga Blang Padang sebagai ruang publik,” imbuhnya.

Justru hal itu menunjukkan bahwa ketika dikembalikan nantinya, pengelolaan oleh Nazhir Masjid harus minimal setara, kalau bisa lebih baik.

“Jangan sampai setelah diserahkan ke Nazhir Masjid Raya, lapangan jadi terbengkalai. Ini tantangan ke depan,” kata Herman, mengingatkan.

Pendapat senada sebelumnya diutarakan Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Ishak Hasan, yang menekankan perlunya manajemen profesional dan transparan jika masjid mengambil alih aset wakaf tersebut.

Menurut Ishak, manfaat wakaf harus benar-benar dirasakan umat, maka tata kelolanya wajib sesuai prinsip Islam sekaligus memenuhi standar akuntabilitas modern.

Herman RN juga menyoroti pentingnya komunikasi dan edukasi ke masyarakat tentang status baru Blang Padang nanti.

“Jangan ada kesan lapangan itu ditarik jadi eksklusif milik masjid lalu publik umum dijauhkan. Itu kekhawatiran sebagian orang,” ungkapnya.

Idealnya, menurut Herman, setelah menjadi wakaf masjid, Blang Padang tetap bisa diakses luas sebagai ruang bersama, namun dengan orientasi untuk kemaslahatan.

“Contoh, kegiatan olahraga, pasar rakyat, boleh saja lanjut selama tidak bertentangan dengan syariat. Malah mungkin bisa diatur lebih baik, misal setiap event memperhatikan adab islami,” ujarnya.

Dengan demikian, Blang Padang akan benar-benar menjadi tanah umat: dikelola oleh institusi keagamaan, dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat Aceh dan syiar Islam.

Terakhir, Herman menekankan bahwa proses penyelesaian ini harus mengedepankan musyawarah dan silaturahmi dengan semua pihak, termasuk TNI. “Harapan kita, TNI dengan jiwa manunggal dengan rakyat-nyajuga legowo. Kan motto TNI, ‘yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk TNI’.

Nah, mengembalikan wakaf ke masjid jelas yang terbaik untuk rakyat Aceh,” ucap Herman.

Ia optimistis bahwa dengan semangat kebersamaan, benang kusut puluhan tahun ini akan terurai. Masyarakat Aceh, tambahnya, siap mengapresiasi sikap ksatria dari pihak mana pun yang mendukung pengembalian hak wakaf ini.

“Ini bukan soal menang atau kalah, tapi mengembalikan sejarah ke tempatnya. Jika selesai, generasi mendatang akan mengingatnya sebagai contoh baik bagaimana Aceh menjaga marwah dan para pemimpin mau mendengar suara ulama serta rakyat,” pungkas Herman.

Menanti Titik Terang

Setelah sekian lama terombang-ambing, sengketa tanah wakaf Blang Padang kini mendekati titik kulminasi. Pemerintah Aceh di era Muzakir Manaf - Fadhlullah telah menyalakan obor advokasi yang terang, didukung bukti sejarah tak terbantahkan dan desakan akar rumput yang tak pernah surut.

Sejarawan Adli Abdullah melihat ini sebagai momen krusial: “Tinggal menunggu political will Jakarta. Kalau tahun ini selesai, ini jadi kado luar biasa di 20 tahun perdamaian Aceh,” ujarnya, mengingat tahun 2025 menandai dua dekade perdamaian Aceh pasca MoU Helsinki.

Aryos Nivada pun berharap hal serupa, seraya mengingatkan agar proses administrasi seperti penerbitan sertifikat wakaf atas nama Masjid Raya segera dipersiapkan agar begitu persetujuan turun, eksekusinya cepat.

Sementara Herman RN berpesan agar masyarakat terus mendukung upaya damai ini dan tidak terprovokasi tindakan di luar hukum.

“Kita doakan yang terbaik. Para tokoh sudah bersuara, sekarang bola di tangan pusat. Semoga dalam waktu dekat, Blang Padang resmi kembali menjadi tanoh meuseuraya milik Masjid Raya,” kata Herman penuh harap.

Seluruh narasumber sepakat, pengembalian tanah wakaf Blang Padang bukan akhir dari segalanya, melainkan awal baru untuk memaksimalkan pemanfaatannya bagi umat. Masjid Raya Baiturrahman sebagai nazhir tentunya akan semakin terbantu dalam pembiayaan dan kegiatan syiar dengan adanya aset wakaf ini.

Dari sisi budaya, Aceh akan kembali memiliki alun-alun yang sakral sekaligus publik, dikelola selaras kearifan lokal. Pada akhirnya, perjuangan mengembalikan Blang Padang adalah contoh nyata bagaimana sejarah, hukum adat, dan aspirasi rakyat dapat bersinergi menghasilkan solusi.

Ketika pemerintah daerah, tokoh agama, budayawan, dan masyarakat bersatu suara, “insyaAllah” pintu solusi terbuka. Aceh menanti babak berikutnya dengan optimisme: sebuah Blang Padang yang bebas sengketa, tegak menjadi monumen hidup kejayaan wakaf Sultan sekaligus ruang berkat bagi seluruh aneuk nanggroe.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI