Besarnya Pinjol Rakyat Aceh, Pertanda Apa?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM| Indept - Masyarakat Aceh yang sebagianya masih hidup dalam garis kemiskinan terpaksa mencari jalan sendiri untuk memperbaiki hidup. Ketika kebutuhan mendesak, mau tidak mau mereka harus menentukan pilihan.
Berhutang merupakan salah satu jalan mereka pilih. Apalagi mendapatkan pinjaman tergolong mudah melalui online, telah membuat masyarakat “memburu” pinjaman online (Pinjol) sebagai bagian dari solusi.
Angka pinjaman masyarakat Aceh melalui dunia maya ini terbilang “mengejutkan” mencapai Rp 1,83 triliun. Benarkah pinjaman ini akan membantu masyarakat mengatasi kesukaranya, bukankah justru semakin membuat peluang kemiskinan itu terbuka.
Mudah mendapatkan pinjaman, apakah mudah juga untuk mengembalikanya? Dibalik semua kemudahan itu, juga ada risiko terutama jika terjadi tunggakan pembayaran, masuk daftar hitam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, denda dan beban bunga yang bertambah, jadi kejaran debt collector.
Lihatlah catatan sejarah, banyak sudah kasus Pinjol yang berujung prahara. Awalnya membawa bahagia, namun ujungnya berbuah petaka. Apalagi lagi jika sampai memakai pnjol ilegal. Awalnya ingin memperbaiki hidup, justru membuka gerbang derita.
Apalagi pemilik pinjol tempat masyarakat Aceh meminjam itu tidak berasal dari Aceh, yang secara otomatis tidak terverfikasi secara syariat khususnya oleh Dewan Syariah Aceh.
Meningkatnya Pinjol di Aceh apakah ini suatu bukti lemahnya kinerja lembaga keuangan syariah di Aceh? Seharusnya LKS menghadirkan fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pinjaman yang terproteksi secara syariah.
Bagaimana seharusnya pemerintah Aceh bersikap? Apa yang harus dilakukan masyarakat, mengapa Pinjol kini bagaikan “pelepas” dahaga. Selesaikah masalah? Dialeksis.com mengupasnya.
Angka pinjaman online hingga Mei 2023 untuk masyarakat Aceh yang mencapai Rp 1,83 triliun, menurut Dr. Masrizal, Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK), meningkatnya angka pinjaman online warga Aceh disebabkan faktor kemiskinan.
Menurut Masrizal, kultur Aceh dalam rasa berbagi dengan sesama sudah mulai terkikis. Dilian sisi regulasi yang dibuat oleh negara belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintahan di Aceh, mulai dari struktur tingkat provinsi hingga ke kabupaten-kota di Aceh.
“Kesannya data kemiskinan hanya sebagai laporan saja bukan sebagai upaya untuk berbenah. Kita bisa melihat rilis data kemiskinan Aceh terus berada di level yang memperihatinkan, belum lagi kondisi politik Aceh yang belum stabil dan investasi yang tidak kunjung membaik,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Jumat (28/7/2023).
Selain itu, menurut Masrizal, terkadang masyarakat Aceh lebih memilih jalan instan untuk mendapatkan uang dan sejenisnya, tanpa memikirkan resiko ke depan.
“Ini menjadi PR bersama terutama bagi pemerintah, dunia usaha, termasuk perguruan tinggi harus mencerahkan masyarakat akan bahaya Pinjol ini,” sebutnya.
Bagaimana pandangan pengamat ekonomi? Menurut Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK) Dr. Rustam Effendi, SE, M.Econ, naiknya jumlah nasabah Aceh yang memanfaatkan jasa pinjaman online merupakan sesuatu yang sangat wajar dan dapat dimaklumi.
Fakta hari ini, kata Rustam, masyarakat dan pelaku usaha masih butuh akses pembiayaan yang lebih luas. Hal ini terbukti dari tren pemanfaatan jasa Pinjol yang naik secara signifikan, baik itu untuk keperluan mereka yang mau memulai usaha atau menambah modal kerja. Bahkan ada juga untuk keperluan yang bersifat konsumtif.
“Jasa Pinjol memberikan kemudahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Aksesnya relatif mudah dan cepat serta proses dan syaratnya juga ringan. Ibaratnya, kehadiran Pinjol ini persis seperti layanan makanan cepat saji (fast food). Konsumen atau nasabah tinggal datang, pilih menu, pesan dan makan,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Jumat (28/7/2023).
Hal itu sesuai dengan tuntutan zaman. Digitalisasi ekonomi yang kini sudah meluas penerapannya turut berkontribusi dan berpengaruh nyata pada kemudahan transaksi ekonomi, termasuk dalam hal pinjam meminjam.
Dikatakan pengamat ekonomi ini, kenaikan akses masyarakat Aceh menggunakan jasa pinjol menggambarkan jika masyarakat Aceh kini terus bergerak dinamis sering berjalannya waktu.
Di samping itu juga, kata Rustam, keterbatasan akses pembiayaan pasca hengkangnya bank konvensional juga ikut berpengaruh terhadap kenaikan Pinjol ini.
“Sebagian warga menghindari atau tidak mau terlibat berpolemik terlalu jauh terhadap keberadaan Qanun LKS. Tetapi, mereka mencari jalannya sendiri-sendiri. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, sesuatu yang seharusnya dapada disalurkan lewat jalur yang lebih formal dan dapat tercegah dari kemungkinan buruk (tertipu atau terzalimi),” jelasnya.
Menurutnya, ini sebuah keniscayaan dan tidak perlu dipersoalkan. Ibarat air dia akan terus mengalir mencari celah untuk memenuhi mereka yang merasa dahaga.
Terpenting sekarang, kata Rustam, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat secara intensif agar mereka pintar dalam memilih jasa pinjol yang legal dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Pilih Pinjol yang terdaftar di OJK, bukan jasa Pinjol milik OTK (orang tak dikenal). Dalam konteks kepentingan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, pihak OJK juga dapat melibatkan unsur perguruan tinggi. Ini akan sangat membantu menguatkan literasi keuangan ditengah-tengah masyarakat,” tutupnya.
Sikap Bank
Meningkat tajamnya Pinjol oleh masyarakat Aceh satu sisi mengambarkan tingginya minat masyarakat memanfaatkan teknologi keuangan untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka.
Namun dibalik mudahnya pinjaman oline ini, jeratanya bila masyarakat tidak jeli dan pandai, akan menimbulkan persoalan baru, akan menambah daftar masyarakat yang miskin.
Menurut Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Aceh, Yusri, industri fintech pinjaman daring di wilayah ini mengalami pertumbuhan yang signifikan dari tahun ke tahun.
“Jumlah nasabah pinjaman daring dari Aceh terus meningkat dari tahun ke tahun dengan akumulasi pembiayaan sejak awal fintech sampai dengan Mei 2023 mencapai Rp1,83 triliun,” kata Yusri kepada DIALEKSIS.COM, Jumat (28/7/2023).
Menurutnya, dari akumulasi total pembiayaan yang telah terjadi, sejumlah pengembalian dari konsumen, outstanding pembiayaan mencapai Rp111 miliar. Keadaan ini mengalami pertumbuhan sebesar 3,82 persen dari posisi Mei 2022 dengan outstanding sebesar Rp107 miliar.
Peningkatan outstanding pembiayaan P2P diikuti dengan peningkatan risiko kredit dari pembiayaan bermasalah atau tingkat wan-prestasi (TWP90) menjadi 1,58 persen (Mei 2023). Meningkat dari Mei 2022 sebesar 1,16 persen. Meskipun demikian, tingkat pembiayaan bermasalah dimaksud relatif masih rendah dan terkendali jika dibandingkan dengan daerah lain.
TWP90 adalah ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban nasabah fintech di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo yang menjadi ukuran kualitas pendanaan fintech.
Yusri berharap, agar terhindar dari perlakuan yang tidak pantas dan potensi kerugian, masyarakat Aceh yang ingin memperoleh pendanaan atau berinvestasi melalui fintech P2P agar memastikan perusahaan fintech P2P adalah fintech yang terdaftar di OJK.
“Kami mengimbau masyarakat yang ingin bertransaksi dengan fintech P2P agar memastikan fintech tersebut telah terdaftar di OJK, memahami marjin yang ditetapkan dan lebih disarankan untuk keperluan modal usaha (produktif)," katanya.
Ia menambahkan masyarakat jangan cepat terlena dan tertarik dengan iklan atau promo yang ditawarkan. Sebab apabila tidak dipelajari dengan baik, serta mengecek perusahaan tersebut terdaftar dan diawasi oleh OJK, maka nasabah akan dirugikan dikemudian hari.
Ia menambahkan OJK Aceh pada semester I tahun 2023 telah melaksanakan sebanyak 19 kegiatan edukasi kepada masyarakat dengan capaian peserta sebanyak 2.184 peserta. Program kegiatan OJK maupun OJK Aceh juga dapat dilihat pada media sosial OJK Aceh (instagram: @ojk_aceh).
“OJK terus berupaya meningkatkan edukasi dan literasi keuangan kepada masyarakat sebagai upaya melindungi nasabah terhindar dari kerugian finansial,” pungkas Yusri.
Bagaimana pendapat direktur Direktur Utama Bank Aceh Syariah, Muhammad Syah. Menurutnya, kehadiran P2P lending atau pinjol merupakan sesuatu yang tak terhindarkan di tengah digitalisasi layanan transaksi keuangan saat ini.
Namun di sisi lain, sebagai bank daerah yang menjalankan fungsi intermediasi secara syariah, ia akan terus melakukan penetrasi pasar untuk mempermudah masyarakat mendapatkan fasilitas pembiayaan. Apa saja upaya itu?
“Selain melalui KUR, saat ini kami terus melakukan pengembangan produk untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat yang ingin mendapatkan fasilitas pembiayaaan secara syariah, di antaranya laku pandai ActionLink maupun Gerai UMKM Bank Aceh,” ujar Muhammad Syah dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Sabtu (29/7/2023).
Kehadiran kedua layanan tersebut untuk meningkatkan inklusi keuangan syariah bagi masyarakat Aceh, juga sebagai sarana untuk mencegah Pinjol ilegal yang kerap merugikan masyarakat.
“Selain jaringan kantor yang tersebar luas di seluruh wilayah Aceh, melalui program Lakupandai ActionLInk, dan Gerai UMKM Bank Aceh di sejumlah daerah, kami ingin lebih dekat dengan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan transaksi,” ujarnya.
Saat ini, Agen ActionLink telah mencapai 2.304 agen yang tersebar di wilayah kerja Bank Aceh. Akselerasi agen sangat pesat. Pencapaian ini diperoleh hanya dalam waktu 3 bulan terakhir semenjak ActionLink diluncurkan,” ujar Muhammad Syah
Kehadiran dua layanan yang melibatkan partisipasi pelaku UMKM, untuk memperkuat 195 jaringan kantor Bank Aceh yang tersebar di seluruh wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Jakarta.
Muhammad Syah juga mengimbau agar kiranya masyarakat lebih bijak dalam menyikapi penawaran Pinjol yang memberikan kemudahan diawal, tapi risiko yang ditimbulkan dikemudian hari sangat merugikan masyarakat yang memanfaatkan Pinjol tersebut.
“Sebagai Bank milik masyarakat Aceh yang menjalankan fungsi intermediasi secara syariah dan diawasi oleh OJK, kami mengajak kepada seluruh masyarakat Aceh agar dapat menggunakan fasilitas pembiayaan Bank Aceh untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan,” ujarnya.
Namun, masyarakat menilai apa yang dilakukan LKS Aceh belum menjawab secara maksimal tentang kebutuhan finansial. LKS Aceh masih lemah dalam membantu masyarakat, terutama mereka yang ingin membebaskan diri dari prediket miskin.
Berhutang dengan harapan bisa memperbaiki masa depan merupakan salah satu jalan yang dipilih rakyat. Pelayanan yang diberikan bank yang ada di Aceh tidak mampu memenuhi keinginan masyarakat, maka pilihan yang mudah melalui Pinjol.
Maka tidak mengherankan, walau angkanya membuat kejutan, nilai pinjaman masyarakat Aceh melalui Pinjol hingga Mei 2023 mencapai Rp 1,83 triliun.
Pinjol memang mudah mendapatkanya, namun resikonya juga sangat besar, apalagi masyarakat tidak jeli dan teliti. Ketika menjadi persoalan dalam tunggakan, nasabah akan masuk daftar hitam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, denda dan beban bunga yang bertambah, jadi kejaran debt collector.
Belum cukupkah mereka yang menjadi korban Pinjol, menjadi pelajaran? Apalagi pemilik Pinjol tempat masyarakat Aceh meminjam itu tidak berasal dari Aceh, yang secara otomatis tidak terverfikasi secara syariat khususnya oleh Dewan Syariah Aceh.
Cermatlah mengecek Pinjol yang sudah mengantongi izin. Hingga 9 Maret 2023, pihak OJK sudah mengeluarkan daftar perusahaan fintech berizin, ada 102 Pinjol yang sudah memiliki izin di seluruh Indonesia, dari jumlah ini didominasi bank konvensional. Bank syariah dapat dihitung dengan jari jumlahnya.
Apabila Pinjol yang dilakukan masyarakat Aceh dengan nilai pinjaman mencapai Rp 1,83 triliun, namun Pinjol tersebut tidak masuk dalam daftar resmi yang dikeluarkan OJK, apakah itu tidak akan menimbulkan persoalan kelak bagi nasabah?
Untuk itu bila memang juga harus “berhutang”, maka bukalah daftar Pinjol yang sudah berizin dari OJK. Jangan ingin mudah dan cepat, namun ahirnya jadi susah.
Pihak LKS Aceh juga harus jeli dan terus melakukan terobosan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, dimana saat ini Pinjol menjadi tren. Apakah bank konvensional harus kembali hadir di Aceh menjawab kebutuhan ini, walau sampai sat ini polemiknya masih panjang dan belum berkesuahan.
Jangan karena Pinjol angka kemiskinan bertambah di Aceh. Bagaimana para pengambil kebijakan melakukan proteksi kepada masyarakat, agar tidak masuk perangkap kemiskinan yang “terpaksa” dilakukan karena harus berhutang.
Digitalisasi sudah menjadi tuntutan zaman, apalagi dalam “pertarungan” ekonomi. Digitalisasi ekonomi yang kini sudah meluas penerapannya, sudah berkontribusi dan berpengaruh nyata pada kemudahan transaksi ekonomi, termasuk dalam hal pinjam meminjam.
Rakyat Aceh sudah memanfaatkanya. Sebuah angka pinjaman yang sangat besar, mencapai Rp 1,83 triliun. Siapa yang akan mengarahkan dan memproteksi rakyat di ujung barat Sumatera ini, dalam memanfaatkan digitalisasi ekonomi?