kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Batas Aceh – Sumut sudah Ada SK Mendagri Namun Tuntaskah?

Batas Aceh – Sumut sudah Ada SK Mendagri Namun Tuntaskah?

Rabu, 24 Juni 2020 12:10 WIB

Font: Ukuran: - +


Bagaikan mengurai benang kusut. Persoalanya sudah berlarut-larut. Sudah lebih 32 tahun tidak kunjung tuntas. Kini Pemerintah Aceh mengklaim tapal batas Aceh - Sumatra Utara mampu diselesaikan. Benarkah?

Ada 9 tapal batas Aceh- Sumut. Syakir, Kepala Biro Pemerintahan Aceh menyebutkan, semoga tidak lagi menjadi perdebatan soal batas. Pemerintah Aceh mengakui sangat senang dan berterima kasih atas terbitnya Permendagri soal tapal batas.

Berterima kasih? Justru Fachrul Razi, anggota DPR RI asal Aceh menyebutnya aneh. Aceh sudah dirugikan, MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh sudah dilanggar, justru Pemerintah Aceh mengucapkan terima kasih.

Menurutnya keputusan tapal batas itu tidak sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA. Pemerintah Aceh tidak memahami konteks sejarah dan dinamika hukum kekhususan yang dimiliki Aceh. Aceh dirugikan dengan penetapan tapal batas ini.

Tuntas tidak tuntas. Walau Mendagri sudah mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan tapal batas yang sudah dipersoalkan selama 32 tahun ini, permasalahanya masih belum tuntas. Perbedaan pandangan masih terjadi.

Versi Pemerintah Aceh

Perjuangan panjang, melelahkan, menguras tenaga, pemikiran dan dana untuk menyelesaikan tapal batas Aceh - Sumut, menurut Pemerintah Aceh ahirnya mampu diselesaikan. Pemda Aceh berterima kasih atas terbitnya Permendagri.

“Alhamdulillah, setelah 32 tahun tidak tuntas, sekarang sudah terselesaikan. Mudah-mudahan menjadi solusi dan semoga tidak lagi menjadi perdebatan antara beberapa batas wilayah di provinsi kita dengan Sumatera Utara, sebut Syakir kepala Biro Pemerintahan Aceh.

Menurut Syakir, persoalan tapal batas di dua provinsi ini terjadi sejak 1988 menjadi sengketa. Persoalan tapal batas itu berada di Kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Tenggara, serta Kota Subulussalam. Kini persoalan itu mampu diselesaikan.

"Tuntasnya permasalahan tapal batas di beberapa lokasi tersebut merupakan keberhasilan luar biasa dan langkah baru percepatan penegasan batas Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara," sebut Kepala Biro Pemerintahan Aceh, kepada media.

kesembilan Permendagri yang dikeluarkan pada Juni 2020 itu; Permendagri nomor 27 Tahun 2020 tentang batas Daerah Kabupaten Gayo Lues dengan Kabupaten Langkat. Permendagri nomor 28tentang batas Daerah Kabupaten Aceh Tamiang dengan Kabupaten Langkat.

Permendagri nomor 29 tentang batas Aceh Tenggara dengan Kabupaten Karo. Permendagri nomor 30, batas Daerah Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Permendagri nomor 31 Tahun 2020 tentang batas Daerah Kota Subulussalam dengan Kabupaten Dairi.

Batas wilayah Aceh Tenggara dengan Dairi, ditetapkan dalam Permendagri nomor 32 Tahun 2020. Sementara Permendagri nomor 33, berupa batas Kabupaten Aceh Tenggara dengan Kabupaten Langkat.

Ada juga Permendagri Nomor 34 Tahun 2020 tentang batas Kota Subulussalam dengan Kabupaten Pakpak Bharat dan Permendagri nomor 35, batas Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Pakpak Bharat.

Kepala Biro Pemerintah Aceh menyebutkan, informasi tuntasnya sengketa batas wilayah Aceh-Sumut, dia dapatkan dari pejabat Direktorat Toponimi & Batas Daerah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri.

Penegasan soal tapal batas yang sudah ditetapkan oleh Mendagri, diperjelas oleh Jakfar, Asisten I Pemerintah Aceh. Dia menyebutkan, bahwa pembahasan tapal batas Aceh-Sumatera Utara memperhatikan butir-butir MoU Helsinki dan UUPA. Pemerintah Aceh menjadikan UUPA Pasal 3 huruf C, sebagai acuan.

“Artinya, kami tidak mengabaikan MoU Helsinki dan UUPA. Meskipun tidak diatur dalam UUPA, kami sangat komitmen dengan MoU Helsinki,” kata Jakfar, kepada media.

Menurutnya, Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala melakukan kajian tentang tapal batas Aceh- Sumut. Mereka juga bertemu dengan beberapa juru runding GAM-RI seperti Bahtiar Abdullah dan Munawar Liza.

Asisten I Pemerintah Aceh ini menjelaskan, merujuk pada tapal batas Aceh-Sumatera Utara pada peta 1 Juli 1956, maka wilayah Langkat, Deli dan Asahan masuk ke Provinsi Aceh. Namun tim Unsyiah tidak mendapatkan dokumen apapun terkait tapal batas 1 Juli 1956. Karena itulah, tapal batas mengacu pada peta dasar yang dibuat TNI AD.

Wakil Rakyat Aceh Kecewa

Kekecewaan soal tapal batas ini muncul dari wakil rakyat Aceh, baik yang duduk di parlemen RI dan DPRA. Mereka menyesalkan sikap Pemerintah Aceh yang tidak tahu historis dan UUPA, namun sudah memutuskan secara sepihak soal tapal batas.

Menurut H. Fachrul Razi, MIP anggota DPD RI asal Aceh yang membidangi masalah politik dan hukum, dia menyesalkan sikap pemerintah Aceh atas keputusan tapal batas itu.

“Pengesahan tapal batas yang diwakili Pemerintah Aceh melanggar MoU Helsinki dan historis. Sikap penerimaan oleh tim Pemerintah Aceh kepada Mendagri, tanpa memahami konteks sejarah dan dinamika hukum kekhususan yang dimiliki Aceh,” sebut Fachrul Razi dalam keterangan pers, Jumat, (12.06/2020)

“Anehnya sudah melanggar MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh, Pemerintah Aceh malah berterima kasih kepada pemerintah pusat. Aceh sudah dirugikan dengan keputusan tapal batas yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA,” sebutnya.

Fachrul Razi dengan tegas menolak keputusan Permendagri soal tapal batas Aceh-Sumut. Dia mengakui sedang memperjuangkan batas Aceh sesuai perjanjian MoU Helsinki, 1 Juli 1956 yaitu, wilayah Aceh termasuk Karo, Deli dan Langkat.

“Kami di DPD RI sedang memperjuangkan revisi UU No 26 Tahun 2007, tentang penataan ruang dan persoalan tapal batas Aceh - Sumut agar sesuai dengan MoU Helsinki. Pada poin 1.1.4 dinyatakan perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956,” jelasnya.

Anggota DPR RI asal Aceh ini mempertegas, persoalan tapal batas adalah masalah serius dan tidak bisa diwakilkan setingkat Kepala Biro Pemerintahan Aceh. Karena, akan berakibat fatal dan hilangnya wilayah Aceh yang telah diklaim Sumatera Utara, karena kebijakan pusat.

Perbatasan Aceh, kata Fachrul Razi, harus merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Ini sesuai sejarah pada tahun yang sama tertanggal 7 Desember, Pemerintah Soekarno mengeluarkan UU No 24 tahun 1956.

“Semua akan jelas jika pemerintah pusat berani membuka kembali peta Aceh yang merujuk pada perbatasan Aceh tanggal 1 Juli 1956 sesuai MoU Helsinki. Semua harus kembali kepada sejarah, bahwa lahirnya UU No 24 tahun 1956, tidak menjelaskan batas Aceh secara spesifik,” sebutnya.

Fachrul Razi menambahkan, namun bisa jadi UU No 24 tahun 1956 dilahirkan untuk menghapus peta 1 Juli 1956. Seperti bendera Aceh yang kemudian pemerintah mengeluarkan PP No 77 tentang bendera. Ini menunjukkan sikap paranoid yang terlalu berlebihan, katanya.

Lebih rinci, anggota DPR RI ini menyebutkan, jika merujuk pada UU No 24 tahun 1956, perlu dipahami pada saat itu secara sejarah, Indonesia tidak menggunakan UUD 1945. Namun, Indonesia saat itu menggunakan UUD Sementara 1950 atau UUD 1950 dengan sistem Republik Indonesia Serikat.

“Saat itu, Aceh dianeksasikan dalam Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Wilayah Aceh dimasukkan ke dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara adalah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Selatan dan Kota Besar Kutaraja,” sebutnya.

Wilayah Aceh itulah yang dijadikan sebagai wilayah yang tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 1956, tentang Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara, tanggal 29 Nopember 1956.

“Perbatasan Aceh merujuk 1 Juli berada dalam sistem pemerintahan Indonesia yang berbeda. Indonesia kembali menerapkan UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Artinya, sama saja kita mengakui wilayah Aceh yang hilang selama 32 tahun, ini jelas ahistoris,” tegasnya.

Menurutnya, merujuk pada sejarah bahwa negara kesatuan yang berlaku sampai 1 Juli 1956 adalah negara-negara dan daerah-daerah yang berada di dalam naungan Republik Indonesia Serikat. Diserahi dan diakui kedaulatannya pada tanggal 27 Desember 1949. Dari Sumatera adalah Negara Sumatera Selatan dan Negara Sumatera Timur.

Kekesalan juga disampaikan Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Muhammad Yunus. Dia menyesalkan sikap pemerintah Aceh tidak melibatkan legislatif dalam pembahasan tapal batas Aceh dengan Sumatera Utara.

“Seakan-akan keputusan tapal batas Aceh ini mengabaikan MoU Helsinki, padahal itu rohnya perjuangan Aceh,” kata Yunus, kepada media.

Yunus walau tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah Aceh, namun dia berharap persoalan ini harus tetap dibahas bersama guna menyatukan persepsi terhadap beberapa kekeliruan. Yunus meminta Pemerintah Aceh tidak menganggap remeh penetapan tapal batas.

“Kami minta tolong masalah ini dibahas bersama DPRA, sehingga jika ada keputusan, maka itu keputusan bersama, bukan sepihak,” kata Yunus.

Ketua komisi I DPRA ini berharap , agar Pemerintah Aceh berkonsultasi membahas masalah ini dengan juru runding perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Seperti Wali Nanggroe Malik Mahmud, mantan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan bekas Tuha Peut Partai Aceh Zakaria Saman alias Apa Karia. Mantan wakil presiden Yusuf Kalla, dan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.

“Sehingga jika lahir sebuah kesepakatan, maka itu adalah keputusan bersama,” sebut Yunus. Namun persoalan tapal batas, atas terbitnya SK Mendagri menjadi hingar bingar di negeri Serembi Mekkah.

Solusi

Seorang penulis buku tentang sengketa tapal batas serta solusinya, Harmen Batubara, sudah banyak mengupas persoalan sengketa tapal batas satu wilayah. Alumni Geodetic Eng iner UGM, MBA(Leicester Univ; Mapping Charting And Geodesy Course (DMA,USA,1984); serta sejumlah gelar lainya.

Purnawirawan dengan pangkat terahir Kolonel ini, sudah banyak mengecap asam garam soal pemetaan dan tapal batas. Dia juga pernah menjabat Kepala Sub Direktorat Geograpi, apa saranya soal tapal batas?

Menurutnya, perselisihan batas antar daerah telah menjadi persoalan besar dan menjadi salah satu keprihatinan Nasional. Rangkaian konflik ini telah banyak menghabiskan waktu, dana dan peluang untuk pembangunan daerah ke arah yang lebih baik lagi.

Bahkan, untuk memastikan kepemilikan batas mereka memperjuangkannya hingga ke Mahkamah Agung, sudah itu ke Mahkamah Konstitusi tapi tetap saja kepemilikan batas tidak jelas.

Demikian pula dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 198 yang mengamanatkan "Kalau ada sengketa wilayah, Mendagri memiliki wewenang memutuskan dan keputusan itu bersifat final dan mengikat". Tetapi ternyata juga tidak mempan.

Menurutnya, apapun rumusan landasan hukum, ada sebuah cara terbaik untuk menyelesaikanya, yakni dengan musyawarah untuk mufakat dalam semangat dan bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dengarkan lawan yang berselisih paham apa maunya, dan temukan jalan komprominya. Kalau sudah sepakat kemudian buat Mou baru dan kemudian adendum UU batas daerahnya. Selesai, sungguh sangat sederhana.

Tapi itulah masalahnya, para pihak hanya senang meluapkan emosinya dan mau menang sendiri. Sehingga persoalanya tidak tuntas.

Menyangkut soal tapal batas Aceh- Sumut, yang sudah diterbitkan Mendagri melalui 9 buah SK, namun masih juga menjadi persoalan dan perdebatan, khususnya bagi masyarakat Aceh Apapun ceritanya persoalan ini harus dituntaskan.

Saling memberi dan menerima dalam menyelesaikan persoalan adalah langkah terbaik. Jangan lagi saling salah menyalahkan, namun solusi yang tepat untuk itu harus didapat.

Keputusan yang nantinya diambil, adalah keputusan rakyat Aceh yang dapat diterima semua pihak, sehingga tidak ada lagi persoalan dikemudian hari yang saling salah menyalahkan.

Sudah 32 tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Kini Mendagri sudah mengeluarkan SK soal tapal batas, namun walau sudah ada SK Mendagri persoalanya tidak sesederhana.

Sejarah yang sudah diukir dengan tintas emas dalam sebuah perjalan panjang bumi Aceh, belum mampu menyelesaikan persoalan pagar pagar wilayah. Untuk menyelesaikanya, demi masa depan Aceh dan dapat diterima semua pihak, jalan musyawarah dalam sebuah keputusan adalah rumus terbaik.

Saling membuka diri, saling menghargai, saling memberi dan menerima, merupakan upaya meminimalisir sengketa. Keputusan bersama yang dapat diterima semua pihak adalah sumber kekuatan. Namun maukah kita melakukanya? (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda