Adu Kuat DPRA dan Pemda Aceh, Babak Baru Polemik Proyek Multiyears
Font: Ukuran: - +
Palu sidang telah diketuk oleh Dahlan Jamaluddin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pada rapat paripurna Rabu, (22/7/2020) di gedung utama DPRA. Ketukan palu yang diiringi koor setuju dari mayoritas fraksi DPRA, menandai babak baru polemik proyek tahun jamak atau multiyears (anggaran 2020-2022).Proyek ini menjadi perbincangan hangat di Aceh.
Palu diketuk setelah sebelumnya fraksi Demokrat walk out (keluar) dari persidangan. Selain Demokrat, fraksi PPP juga menghujani interupsi terkait sikap mereka yang menolak pembatalan proyek itu.
Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin tetap bersikukuh bahwa MoU proyek pembangunan 12 ruas jalan di Aceh ini tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Selain dinilai cacat hukum, dari segi aspek prosedural skema perencanaan penganggaran juga tidak tepat.
"Kita akan segera menyurati Plt Gubernur Aceh terkait putusan ini. Kita meluruskan ada proses yang salah. Karena penganggaran multiyears hanya kesepakatan MoU antara pimpinan DPRA periode lalu dan Plt Gubernur Aceh saja,” sebut Dahlan.
Menurut Dahlan, kesepakatan itu tidak secara kelembagaan resmi. Hal itu dijelaskan Dahlan saat konferensi pers usai rapat paripurna di Ruang Bansus DPRA. Pihak DPRA akan meneruskan keputusan rapat paripurna tersebut ke Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Tembusanya ke pemerintah pusat, khususnya pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Hingga tulisan ini diturunkan, pihak pemerintah Aceh lebih memilih irit bicara terkait pembatalan proyek senilai Rp 2,7 triliun untuk 12 paket kegiatan itu. Belum ada pernyataan resmi dari pihak Pemerintah Aceh.
Sementara sejumlah kalangan menilai bahwa agenda pembatalan proyek multiyears tersebut justru bermasalah secara hukum. Hal ini karena landasan hukum untuk menjalankan paket multiyears tersebut sudah tertuang dalam Qanun APBA 2020.
"Positioning legalnya sudah menjadi qanun. Dia tidak bisa dibatalkan begitu saja dengan paripurna. Fungsi DPRA sebenarnya lebih kepada pengawasan.Bila nanti dalam perjalanan proyek tersebut bermasalah, silahkan diparipurnakan," sebut Otto Syamsuddin Ishak.
Menurut kepala Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala yang juga seorang Sosiolog ini, bagaimana mungkin dibatalkan sedangkan proyek tersebut selain belum berjalan juga sudah menjadi Qanun APBA.
Pandangan senada juga disampaikan oleh pakar hukum Mawardi Ismail SH, M.Hum. Sebagaimana dikutip dari Serambi (22/7/2020), Mawardi menjelaskan bahwa dari segi aspek hukum DPRA tidak dapat membatalkan secara sepihak.
Sebab, 12 proyek multiyears tahun 2020-2022 itu sudah masuk dalam Qanun APBA 2020. Menurutnya, pembatalan produk hukum daerah hanya dapat ditempuh dengan dua cara, legislatif review yaitu pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif atau melalui jalur judicial review ke Mahkamah Agung.
Meski demikian, tidak sedikit pihak yang mendukung agenda DPRA untuk membatalkan proyek multiyears tersebut.
Sebelumnya Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendapatkan temuan bahwa proses perencanaan proyek tahun jamak 2022 yang disepakati antara pimpinan DPRA dan Pemda Aceh pada tahun 2019 tidak prosedural sebagaimana ketentuan. Hal ini berpeluang membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi seperti komitmen fee dalam persetujuan dilevel pimpinan DPRA.
Kronologis Polemik Proyek Multiyears
Pada tanggal 02 September 2019 , Gubernur Aceh memohon izin kepada DPRA melalui surat nomor 602/14465 tertanggal 02 September 2019 perihal permohonan Izin penganggaran tahun jamak (multiyears) yang ditandatangani oleh Plt. Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT.
Dalam suratnya Plt. Gubernur Aceh menyebutkan,bahwa Pemerintah Aceh telah memprogramkan kegiatan pembangunan konstruksi berskala besar yang pelaksanaannya direncanaka secara bertahap melalui sistem kontrak tahun jamak (multiyears Contract).
Terkait dengan hal tersebut, Plt. Gubernur Aceh mengharapkan pertimbangan Ketua DPRA mendukun program kontrak tahun jamak tersebut. Adapun total anggaran kontrak tersebut mencapai Rp 2.794.436.800.000.
Pada tanggal 6 September 2019, pihak DPRA menyampaikan surat tersebut kepada Komisi IV DPRA. Tanggal 9 September 2019 pihak komisi IV DPRA menyurati Pimpinan DPRA melalui surat dengan nomor 86/Komisi IV/IX/2019, perihal rekomendasi terhadap Izin Penganggaran Tahun Jamak (Multiyears Contract).
Inti dari surat yang ditandatangani ketua dan sekretaris Komisi IV DPRA menyatakan tidak dapat memberikan rekomendasi izin persetujuan (tidak setuju), sebagaimana yang diusulkan oleh Plt. Gubernur Aceh.
Tidak setujunya komisi IV DPRA ini disebabkan dua hal; pertama, tehadap ruas jalan yang diusulkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Aceh dengan tahun jamak (Multiyears), perlu dilakukan pendalaman pembahasan bersama dengan pertimbangan besarnya kebutuhan anggaran, waktu pelaksanaan dan urgensi kegiatan tersebut.
kedua, masih banyaknya ruas jalan lain yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh yang sangat urgen/mendesak penanganannya dan membutuhkan anggaran yang cukup besar supaya fungsional dalam rangka mendukung kelancaran arus transportasi mobilitas orang dan barang.
Meski tidak mendapat rekomendasi persetujuan dari komisi IV DPRA, sehari setelah rekomendasi dari komisi IV itu keluar, pada tanggal 10 september 2019 pihak Pemda Aceh dan pimpinan DPRA setuju untuk membuat nota Kesepakatan Bersama.
Nota kesepakatan bersama tertuang dengan nomor 903/1994/MOU/2019 | 11/MOU/ 2019 tentang Pekerjaan Pembangunan dan Pengawasan Beberapa Proyek Melalui Penganggaran Tahun Jamak (Multiyears) Tahun Anggaran 2020 “ 2022;
Kesepahaman bersama tersebut ditandatangani oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Ketua DPRA, H Muhammad Sulaiman, serta tiga Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda, Teuku Irwan Djohan, dan Dalimi.
Adapun nominal anggaran yang harus dialokasikan mulai tahun 2020 - 2022 mencapai 2.658.431.261.000. Dalam kesepakatan bersama tersebut, masing-masing pihak mengikatkan diri untuk menyediakan anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) untuk pelaksanaan kegiatan pekerjaan pembangunan dan pengawasan yang merupakan prioritas pembangunan pemerintah Aceh.
Berikut 12 paket proyek yang diusulkan dalam proyek multiyears tahun anggaran 2020-2022:
1. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Jantho - batas Aceh Jaya (3 tahun) senilai Rp152.955.000.000
2. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan dan jembatan pada ruas jalan Sp 3 Redelong- Pondok Baru - Samar Kilang (3 tahun) senilai Rp 260.252.675.000
3. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Peureulak - Lokop - batas Gayo Lues (3 tahun) senilai Rp650.264.760.000
4. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan batas Aceh Timur - Pining- Blang Keujeren (3 tahun) senilai Rp187.331.251.000
5. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan batas Aceh Timur - Karang Baru (2 tahun) senilai Rp71.945.500.000
6. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Blangkejeren - Tongra - batas Aceh Barat Daya (3 tahun) senilai Rp407.880.000.000
7. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Babah Roet - batas Gayo Lues (3 tahun) senilai Rp129.113.075.000
8. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Trumon - batas Singkil (3 tahun) senilai Rp287.267.000.000
9. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan dan jembatan pada ruas jalan batas Aceh Selatan - Kuala Baru - Singkil - Telaga Bakti (2 tahun) senilai Rp74.778.000.000
10. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Sinabang - Sibigo (3 tahun) senilai Rp85.541.500.000
11. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan jalan pada ruas jalan Nasreuhe - Lewak - Sibigo (3 tahun) senilai Rp169.950.000.000
12. Pekerjaan pembangunan dan pengawasan bendung daerah irigasi Sigulai, Kabupaten Simeulue (3 tahun) senilai Rp181.152.000.000.
Pihak pemerintah Aceh melalui juru bicara Saifullah Abdul Gani (SAG) mengungkapkan perencanaan dan penganggaran 12 paket proyek tahun jamak senilai Rp 2,7 triliun yang disorot banyak pihak sudah sesuai prosedur.
Sebagaimana dikutip Harian Serambi Indonesia (7/2/2020), SAG menyampaikan bahwa terkait tudingan proses pengadaan proyek tidak sesuai prosedural karena tidak masuk dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Aceh.
Berbeda dengan proses penganggaran pada umumnya, usulan penganggaran tahun jamak dilakukan menjelang pembahasan KUA dan PPAS, bukan pada proses perencanaan dalam Musrenbang. Tujuannya, agar adanya kepastian anggaran, efisien, dan efektifitas waktu pelaksanaan pekerjaan.
Selain itu paket kegiatan tersebut telah lolos evaluasi kemendari, sehingga 12 paket itu disetujui dan ditetapkan dengan Kepmendagri RI Nomor 903-5347 Tahun 2019 tentang Evaluasi Rancangan Qanun Aceh tentang APBA Tahun Anggaran 2020 dan Rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang Penjabaran APBA Tahun Anggaran 2020.
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa kontrak tahun jamak merupakan kontrak pengadaan barang/jasa yang membebani lebih dari satu tahun anggaran dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 54A ayat (3) dan ayat (4) Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan penganggaran kegiatan tahun jamak berdasarkan atas persetujuan DPRD yang dituangkan dalam nota kesepahaman bersama antara Kepala Daerah dan DPRD yang ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan nota kesepahaman KUA dan PPAS pada tahun pertama rencana pelaksanaan kegiatan tahun jamak dimulai.
Pernyataan SAG bahwa proyek multiyears sesuai prosedur diamini oleh Direktur Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Arsan Latif. Sebagaimana dikutip AJNN (19/7/2020), Arsan mengatakan bahwa jika program kegiatan sudah dituangkan dalam APBA itu artinya sudah disepakati bersama antara DPRD dan eksekutif terlebih telah dilakukan dievaluasi serta teregister di Kemendagri.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Justru jika kepala daerah tidak menjalankan APBD yang sudah ditetapkan dan diregistrasi oleh kemendargi, maka kepala daerahnya tersebut yang salah.
Menuai Respon Publik
Polemik proyek multiyears menuai respon beragam dari publik. Sebagian besar masyarakat terutama di wilayah yang mendapat jatah pembangunan proyek tersebut.
Dari pihak pemerintah kabupaten/kota, Bupati Aceh Besar Mawardi Ali kepada media mengatakan bahwa proyek tersebut penting dan strategis sebab menjadi kebutuhan vital dalam proses koneksi antar wilayah di Aceh.
Wakil Ketua DPRK Aceh Singkil, Amaliun juga turut menyayangkan rencana DPRA membatalkan proyek multiyears tersebut. Sebagaimana dilansir AJNN (21/7/2020), dirinya menyatakan bahwa pembatalan proyek tersebut dapat menghentikan pembangunan jalan tembus Singkil-Trumon Aceh Selatan yang begitu dinanti keberadaannya oleh masyarakat Aceh Singkil dan Aceh Selatan.
Tokoh masyarakat Aceh Tengah, Tagore Abu Bakar meminta semua pihak bijaksana terkait proyek multiyears tersebut. Tagore mengkhawatirkan pembatalan proyek tersebut dapat menjadi pintu bagi terbentuknya provinsi baru yang terpisah dari provinsi induk yaitu Aceh. Pasalnya masyarakat khususnya wilayah tengah sudah sekian lama mengharapkan pembangunan di wilayahnya karena selama ini belum optimal.
Dari partai politik sendiri juga mencuat pernyataan dukungan terhadap proyek multiyears. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan(PPP) H. Ihsanuddin Marzuki SE, MM, kepada dialeksis.com, Senin (20/7/2020), dirinya berharap proyek multiyears ini tetap dilanjutkan.
Sebab menurut dia, proyek ini sangat bermanfaat untuk masyarakat di daerah pedalaman dalam membuka akses transportasi yang ujungnya berpengaruh pada sektor peningkatan ekonomi masyarakat.
Terlebih jalan yang menembus kabupaten ini juga sudah menjadi harapan yang sangat lama dinanti oleh masyarakat Aceh sejak Gubernur Ibrahim Hasan dulu, sebut Ihsanuddin Marzuki.
Sekretaris Partai Nasional Demokrat (Nasdem) wilayah Aceh, Banta Syahrizal, juga sepakat bahwa Aceh perlu konektivitas antar wilayah. "Semua pengalaman dan pembelajaran sejarah pembangunan mencatat, berkembangnya suatu kawasan saat konektifitas antar kawasan terbangun," ungkap banta kepada dialeksis.com di Banda Aceh, Rabu (22/7/2020).
Dampak Polemik Proyek Multiyears
Hingga tulisan ini diturunkan, Pemerintah Aceh sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait pembatalan proyek multiyears secara sepihak oleh DPRA. Informasi yang berkembang, pemerintah Aceh sendiri tidak terpengaruh dan tetap menjalankan agenda pembangunan ruas jalan yang diusulkan dalam proyek multiyears tahun anggaran 2020-2022.
Terlebih tidak jelas apa yang dibatalkan oleh DPRA. Secara tupoksi dan kewenangan yang tertuang baik dalam UUPA maupun aturan terkait lainnya, DPRA tidak memiliki kewenangan membatalkan paket proyek yang telah disahkan dalam Qanun APBA.
Apabila yang dibatalkan adalah nota kesepahaman, menjadi aneh karena nota kesepahaman bukanlah produk regulasi yang dibuat oleh eksekutif atau legislatif. Nota kesepahaman adalah bagian lain dari bentuk perikatan yang termasuk ke dalam ranah hukum keperdataan.
Artinya bilapun ditemukan cacat prosedur atau cacat hukum dalam nota kesepahaman, salah satu pihak tidak dapat membatalkan begitu saja namun harus ditempuh melalui prosedur pengadilan.
Babak baru selanjutnya dari polemik proyek multiyears ini, diperkirakan ketegangan antara eksekutif dan parlemen Aceh meningkat. Timbul perpecahan di internal parlemen Aceh sendiri. Antara kubu yang mendukung proyek multiyears dilanjutkan dan yang menolak proyek multiyears.
Imbasnya, pengesahan APBA perubahan tahun anggaran 2020 di depan mata sedikit banyak akan terdampak. Dikhawatirkan ketegangan akan semakin berlanjut hingga menghambat pengesahan APBA tahun anggaran 2021.
Ujung-ujungnya drama pengesahan APBA dalam bentuk Pergub sebagaimana pengalaman kala Irwandi Yusuf menjabat akan terulang kembali di era Nova. Tentunya hal ini akan mempengaruhi ekonomi Aceh di tahun mendatang.
Terlebih di tahun depan Aceh juga direncanakan akan memasuki agenda besar pelaksanaan Pilkada 2022, dimana tahapannya akan dimulai pada 2021. Sejumlah agenda besar ini terancam akan terhambat, apabila saluran komunikasi antara pihak eksekutif dan legislatif tidak diperbaiki sedari awal.
Masing-masing pihak mengatas namakan rakyat. Di pihak Pemerintah Aceh, proyek multiyears dirasakan sangat dibutuhkan masyarakat karena kepentingan mendesak untuk membuka akses keterisoliran sejumlah wilayah.
Di pihak DPRA, proses perancanaan proyek yang dinilai tidak sesuai prosedur dapat berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari. Tak tertutup kemungkinan juga dirasakan ada peluang peluang celah penyalahgunaan anggaran apabila proses perencanaan proyek sudah bermasalah sejak awal.
Imbas dari pertikaian ini, tidak lain memang rakyat Aceh. Tentu saja kita tidak mengharapkan dampak dari pertikaian elite ini, yang dirugikan kemudian hari adalah rakyat sendiri. Jangan sampai siapapun yang untung dari pertikaian ini, yang buntung ujung-ujungnya adalah rakyat.
Tentunya rakyat mengharapkan adanya kearifan dan kesediaan dari para elite untuk melepas ego masing-masing demi kemaslahatan rakyat. Bagaimana ending dari polemik multiyears ini? Akankah masyarakat kembali buntung? Biar waktu yang menjawab! (RED)