Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Aceh dan Harapan di N219

Aceh dan Harapan di N219

Sabtu, 14 Desember 2019 21:06 WIB

Font: Ukuran: - +

Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah bersama dengan  Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia Elfien Goentoro melihat pesawat terbang N219 di Kompleks PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. [Foto/Dok. Serambi Indonesia]



DIALEKSIS.COM - Ketika negara membutuhkan, apakah Anda akan berkorban segala-galanya? Berkorban harta, tenaga dan pikiran bahkan nyawa? Rakyat Aceh sudah melakukannya. 

Saat-saat kritis, ketika negeri Pertiwi membutuhkan pengorbanan, rakyat Aceh bahu-membahu melakukannya dengan ikhlas. Semua pengorbanan dan perjuangan rakyat Aceh sudah tercatat dengan tinta emas di negeri ini.  

Buka kembali lembaran sejarah, apa saja yang sudah disumbangkan rakyat Aceh untuk Indonesia. Mulai dari sumbangan emas untuk Monas, donatur pada masa perjuangan, membeli kapal laut dengan kode PPB 58 LB. Radio Rimba Raya, sampai mengumpulkan dana secara patungan untuk membeli pesawat.

Indonesia takkan ada pesawat perdana, bila rakyat Aceh tidak menyumbangkan hartanya dengan ikhlas. Pesawat yang diberi nama Dakota RI-001 Seulawah adalah bukti kesetiaan rakyat Aceh dalam berjuang.

Apakah rakyat Aceh semuanya kaya sehingga berkontribusi luar biasa untuk Pertiwi? Tidak! Mereka yang miskin juga turut menyumbang untuk membeli pesawat. 

Demi mendengar untuk perjuangan, emas yang hanya beberapa gram dan harta yang paling bernilai bagi masyarakat yang tergolong miskin ketika itu, justru berpindah tuan jadi milik negara. Mereka lakukan dengan ikhlas.

Aceh kini dihangatkan dengan pemberitaan pembelian pesawat. Wacana tentang pembelian pesawat itu gaungnya sudah menggema ketika Gubernur Aceh dijabat oleh Irwandi Yusuf. Pada tahun 2018 pembelian pesawat yang diusulkan Irwandi Yusuf, hangat dan menjadi polemik.

Harapan Irwandi pada tahun 2018 agar Aceh memiliki pesawat, ternyata kandas. Usulan Irwandi dipatahkan DPRA. Pihak dewan di lembaga terhormat ini justru "tertarik" dengan pembelian kapal penyeberangan.

Kini persoalan pembelian pesawat kembali ramai dibahas. Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah "bagaikan" melanjutkan perjuangan Irwandi Yusuf dalam mendapatkan pesawat untuk bumi Serambi Mekkah. 

Nova serius dalam persoalan pesawat. Namun aksi penolakan pembelian pesawat itu juga bergulir dari berbagai sisi. 

DPR Aceh ada yang menyetujui usulan pembelian pesawat itu, namun banyak juga yang menolaknya. Demikian dengan kalangan LSM, seperti MaTA, YARA, kalangan mahasiswa, dan berbagai pihak lainya melakukan penolakan.

Pada intinya mereka yang menolak pembelian pesawat itu memiliki argument: tingkat kesejahtraan rakyat Aceh masih belum baik, masih rendah. Pembelian pesawat belum layak. Pemerintah seharusnya lebih fokus kepada peningkatan kesejahtraan dan membantu kaum dhuafa.

Mereka yang menolak meminta DPRA untuk tidak menyetujui usulan yang diajukan Plt Gubernur, Nova Iriansyah, karena selain menghabiskan uang rakyat, juga masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mensejahtrakan masyarakat.

Argumen berbagai kalangan yang melakukan penolakan pembelian pesawat ada yang bernada pedas. Ada yang santun, semuanya menunjukan negeri ini ada dinamika. Bagaimana dengan pihak yang mendukung pembelian pesawat?

Penjelasan Nova dan Dukungan

Di tengah hiruk-pikuknya aksi penolakan pembelian 4 unit pesawat jenis N 219 dengan nilai mencapai Rp 336 miliar bersumber dari APBA secara multi years, Plt Gubernur Aceh, Nova menjelaskan alasan Pemerintah Aceh membutuhkan pesawat tersebut.

Aceh wilayahnya sangat luas, membutuhkan sarana pendukung yang layak, efesien dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Luas wilayah Aceh mencapai 59 ribu Km2 untuk wilayah darat dan 295 ribu Km2 untuk wilayah laut. Panjang garis pantainya juga mencapai 2.600 km lebih, dengan total sekitar 180 gugusan pulau.

Dari gugusan pulau yang ada di Aceh, sebut Nova, 44 pulau di antaranya berpenghuni. Dengan wilayah yang sangat luas itu, hubungan antarwilayah kerap terkendala.

Nova mencontohkan, jarak antara Kota Banda Aceh dengan Kabupaten Singkil mencapai 760 kilometer. Kalau menggunakan angkutan darat, butuh waktu 15 jam untuk menempuh perjalanan sejauh itu.

Bagaimana dengan hubungan ke Pulau Simeulue? Nova menjelaskan, hubungan antara Kota Banda Aceh menuju Pulau Simeulue, butuh 7 jam perjalanan darat terlebih dahulu menuju Aceh Selatan. Dilanjutkan penyeberangan laut dengan kapal ferry selama 8 jam.

Demikian dengan perjalanan dari Kota Banda Aceh ke wilayah tengah Aceh dan Tenggara juga tidak kalah beratnya. Selain itu Nova menjelaskan, Aceh saat ini juga sedang mengembangkan sektor pariwisata, serta merintis pengembangan investasi.

Untuk mengembangkan sektor pariwisata dan merintis investasi membutuhkan kelancaran transportasi. Nova mengakui, membangun penerbangan perintis antarwilayah di Aceh tidaklah mudah.

Menurut Nova, sejumlah pihak swasta sudah pernah mencoba. Namun kemudian menghentikan operasinya, karena alasan ekonomis. Dampak dari penghentian itu, saat ini penerbangan perintis di Aceh yang masih berjalan hanya ada di 5 bandara. Itu juga dengan frekuensi terbatas, antara 1-2 flight setiap minggunya. 

Sementara penerbangan lain lebih banyak menjadikan Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara sebagai penghubungnya. Tujuh bandara di kabupaten/kota di Aceh tidak ada aktifitas. 

Fakta inilah membuat Nova Iriansyah mengharuskan Pemerintah Aceh melakukan intervensi guna mengatasi persoalan tersebut. Menghubungkan daerah-daerah yang ada di Aceh menjadi kebutuhan, tidak mungkin dibiarkan.

"Apalagi dalam program pembangunan yang kami canangkan, konektivitas antar wilayah menjadi salah satu prioritas," kata Nova, seperti dikutip berbagai media.

Apalagi pesawat jenis N219 memenuhi kebutuhan transportasi udara nasional di wilayah perintis yang dapat digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Seperti angkutan penumpang, angkutan barang maupun ambulan udara.

Argumen yang disampaikan Nova Iriansyah, walau ditolak, namun juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. 

DPRA misalnya, ada yang sependapat dan memberikan dukungan untuk Plt Gubernur Aceh dalam membeli pesawat.

Demikian dengan pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, secara rinci menjelaskan mengapa Aceh perlu pesawat. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi perairan Aceh. 

Selama ini perairan tersebut sudah berkali-kali menjadi ajang illegal fishing dan juga beberapa aktivitas penyelundupan, termasuk penyelundupan obat-obat terlarang.

Aryos secara rinci menjelaskan bagaimana rawannya perairan Aceh dan harus dilindungi. Bagaimana lautan Aceh dijadikan target bisnis narkoba, dan menjadikan Aceh sebagai sasaran? 

Baca berita: Aceh Target Bisnis Narkoba

Menurut Aryos, Aceh memiliki perairan seluas 295.370 km persegi, hampir lima kali lipat lebih luas ketimbang wilayah daratannya. 

Dari sejumlah itu 56.563 km persegi diantaranya masuk kategori perairan teritorial. Sedangkan sisanya adalah perairan Zona Ekonomi Ekslusif. Aceh memiliki 2.663,3 km garis pantai dan kurang lebih 180 pulau.

Potensi perikanan mencapai 1.713.015 ton pertahun. Sampai tahun 2015 tingkat pemanfaatannya diperkirakan baru mencapai 165.778,80 ton pertahun. Potensi ekonomi bila dikelola dengan baik, mampu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.

Menurut Aryos, illegal fishing masih marak terjadi di perairan Aceh. Pencurian ikan kerap terjadi. Penyelamatan potensi ekonomi perairan, membuat pengawasan perairan adalah prioritas. 

Aceh tidak sendiri, Pemerintah Pusat juga memiliki perhatian dan menyadari pentingnya perairan sebagai basis kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.

Pengawasan perairan Aceh adalah prioritas dan memerlukan kesungguhan tindakan. Pengawasan perairan Aceh harus disegerakan. 

"Plt Gubernur membeli pesawat harus mendapat dukungan. Sekalipun memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit, dampaknya dalam jangka panjang akan membawa faedah ekonomi dan sosial yang berkali lipat," jelas Aryos.

Bagaimana dengan pendapat anggota dewan yang mendukung pembelian pesawat? Hendra Budian dari Golkar dan Afrizal dari PAN, misalnya, kepada media menjelaskan, pihaknya mendukung upaya yang dilakukan Plt Gubernur Aceh untuk membeli pesawat N219 yang pembelianya direncanakan 2020 dan 2021.

Hendra sebagai putra berasal dalam pelukan gunung (Bener Meriah), menilai pembelian pesawat itu dalam perspektif positif. Aceh memang butuh mengakses masyarakat yang berada di daerah yang jauh dari ibu kota provinsi.

Hendra mencontohkan, bila ingin ke Simeulue, Kutacane (Aceh Tenggara), dan Gayo Lues, selama ini harus melalui Medan (via Kualanamu). 

"Agenda ini perlu mendapat dukungan semua pihak, kerana bermanfaat dalam mendorong percepatan pembangunan dan pelayanan masyarakat," katanya.

Afrizal anggota DPRA dari PAN selain menyampaikan dukungan pembelian pesawat, sama seperti yang disampaikan Hendra Budian, dia juga menceritakan pengalamanya, mengapa pesawat itu dibutuhkan.

"Saya dari Simuelue menuju Labuhan Haji dengan menggunakan kapal Roro. Namun satu jam perjalanan, kapal harus kembali, karena ada korban kecelakaan lalulintas yang dirujuk ke Banda Aceh," sebut Afrizal.

Otomatis perjalanan balik ke Simuelue dan kembali lagi menuju Labuhan Haji, menghabiskan waktu lebih dari dua jam. Setengah jam sebelum kapal bersandar di Dermaga Labuhan Haji, korban meninggal di mobil ambulan. Kisah memilukan dialami Afrizal.

"Janji kampanye politik Irwandi-Nova, tersedianya ambulan udara dan terkoneksinya daerah-daerah melalui jalur udara. Gubernur non aktif mengatakan hanya dengan jalur udara kita bisa memperpendek jarak tempuh dan menghemat banyak waktu. Saya kira sudah sepatutnya didukung untuk merealisasikan kebutuhan tersebut," ungkap Asrizal.

Lain lagi penilaian Presiden Aceh Business Club (ABC), Sabri Aly. Dalam keteranganya kepada media, Sabri mendukung upaya Pemerintah Aceh mengadakan pesawat terbang perintis, untuk membuka isolasi daerah, dan memberikan koneksi cepat antara satu daerah dengan daerah lain.

"Karena pesawat yang dibeli adalah pesawat perintis, bukan untuk kepentingan gubernur atau elit daerah semata. Tetapi untuk kepentingan masyarakat secara luas termasuk pelaku bisnis. Semoga ini baik untuk iklim bisnis dan membuka isolasi," sebut Sabri.

Menurut Sabri, pembelian pesawat harus diikuti dengan pemberian kemudahan bagi bisnis dan investasi untuk bekerja di Aceh. Pemerintahan Kabinet Indonesia Maju, telah melakukan beberapa terobosan.

"Aceh harus bersaing dengan daerah lain, dan kita jauh tertinggal. Pembelian pesawat perintis, semestinya dilanjutkan dengan pernyataan pemerintah, bahwa Aceh akan mempermudah investasi dan bisnis, dengan zero pungli," sebut Sabri.

Plt Gubernur, sebut Sabri, harus komitmen dan membuat pernyataan yang menjamin investor yang bekerja di Aceh dijamin tidak ada pungli. 

Jika pun ada kutipan untuk daerah, harus kutipan resmi berdasarkan qanun atau peraturan Gubernur.

"Kami banyak menerima laporan, investor gagal masuk ke Aceh karena banyak oknum yang minta saham," ujar Sabri.

"Sebenarnya banyak yang mau invest di Aceh. Tetapi mereka saat ini sedang wait and see, apakah Aceh sudah membuka diri untuk investasi? Apakah ada jaminan dari Pemerintah Aceh bahwa mereka gak diganggu? Apakah regulasi di daerah sudah pro pada bisnis," kata Sabri.

Pro dan kontra dalam pembelian pesawat ini, hangat dibicarakan. Mereka beragumen dengan sudut pandang masing-masing. 

Bagaimana dengan kisah pembelian pesawat ini. Apakah Aceh akan membeli pesawat, mengulang sejarah pada tahun 1948. N 219 akan hadir di Aceh?

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda