DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh kini berada di persimpangan jalan: antara ancaman kehancuran ekologis atau peluang menuju pemulihan. Maraknya tambang ilegal di berbagai kabupaten bukan hanya merusak hutan dan sungai, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Laporan Panitia Khusus (Pansus) Minerba dan Migas DPR Aceh menyebut, terdapat lebih dari 450 titik tambang ilegal yang aktif beroperasi. Di lokasi-lokasi itu, sedikitnya 1.000 unit ekskavator digunakan secara bebas. Setiap unit diduga menyetor sekitar Rp30 juta per bulan kepada oknum aparat sebagai “uang keamanan.” Jika dikalkulasi, aliran dana ilegal ini mencapai Rp360 miliar per tahun”angka yang mencerminkan betapa sistemik dan terorganisirnya kerusakan tersebut.
Sebagai respons, Polda Aceh meluncurkan strategi Green Policing. Pendekatan ini dirancang sebagai program terpadu: menggabungkan penegakan hukum, edukasi publik, kolaborasi lintas sektor, pemberdayaan ekonomi alternatif, hingga pemanfaatan teknologi pemantauan berbasis data.
Di atas kertas, konsep ini terlihat menjanjikan. Namun pertanyaan mendasar pun muncul: apakah Green Policing akan berani menyasar bukan hanya keluar, tetapi juga ke dalam tubuh institusi kepolisian itu sendiri?
Jika temuan Pansus DPRA benar adanya, maka reformasi tidak bisa berhenti pada penindakan terhadap pelaku tambang ilegal. Kepolisian Aceh harus melakukan introspeksi kelembagaan. Etika lingkungan tidak boleh sekadar menjadi slogan, melainkan prinsip dasar yang hidup dalam nadi institusi. Polisi bukan hanya penegak hukum, tetapi juga pelindung nilai kehidupan. Kerusakan alam, sejatinya, jauh lebih berbahaya daripada kriminalitas, konflik, bahkan perang. Sebab ketika alam hancur, masa depan manusia ikut musnah.
Pemikiran Rocky Gerung tentang etika lingkungan relevan untuk konteks Aceh. Ia menyebut, setiap pohon adalah “sungai vertikal” yang memompa kehidupan dari akar hingga daun. Menebangnya berarti memutus aliran hidup. Etika lingkungan, menurut Rocky, adalah tolok ukur kecerdasan publik. Ia bukan sekadar prosedur birokratis, melainkan fondasi moral yang harus tertanam dalam setiap kebijakan dan tindakan kelembagaan.
Namun, Aceh sebagai Serambi Mekkah menuntut landasan yang lebih dalam: nilai-nilai Islam. Ustadz Abdul Somad dalam ceramahnya pernah menegaskan, “Barangsiapa menebang sebatang pohon tanpa hak, kelak kepalanya akan disungkurkan ke dalam api neraka.” Pesan ini bukan sekadar ancaman spiritual, tetapi peringatan bahwa merusak alam adalah bentuk kezaliman besar, pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.
Dalam ajaran Islam, manusia adalah khalifah di bumi. Menjaga lingkungan bukan hanya tugas sosial, tetapi juga ibadah dan tanggung jawab ilahi.
Oleh karena itu, Green Policing harus dibarengi dengan pembangunan kesadaran ekologis di tubuh kepolisian. Kesadaran ini tidak cukup dievaluasi lewat laporan dan angka, tetapi harus ditransformasikan menjadi nilai baru: menggeser cara pandang, memperkuat komitmen moral, dan menumbuhkan empati terhadap alam sebagai sesama makhluk ciptaan.
Polisi harus belajar melihat bumi sebagaimana mereka memandang seorang ibu: sumber kehidupan yang wajib dilindungi, bukan dieksploitasi. Merusak bumi sama halnya dengan mencederai kehormatan seorang ibu. Dalam konteks spiritual Aceh, hal itu berarti merendahkan martabat Serambi Mekkah itu sendiri.
Green Policing bukan sekadar program penindakan. Ia harus menjadi gerakan moral, spiritual, sekaligus kelembagaan yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Jika polisi Aceh mampu menjadikan etika lingkungan sebagai prinsip hidup, bukan sekadar kebijakan, maka strategi ini akan menjadi tonggak peradaban baru.
Gerakan ini bukan hanya untuk menyelamatkan alam, tetapi juga untuk memastikan keberlangsungan hidup manusia. Jika langkah ini berhasil diwujudkan, maka ia akan menjadi legacy berharga Kapolda Aceh, Irjen Pol. Drs. Marzuki Ali Basyah, MM, seorang putra daerah yang mampu menorehkan sejarah emas bagi Aceh.
Penulis: Risman Rachman (Mantan Deputi Walhi Aceh)