Beranda / Pertahanan dan Keamanan / Mantan Ketua Komnas HAM Ungkap Kesulitan Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Mantan Ketua Komnas HAM Ungkap Kesulitan Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Minggu, 25 Juni 2023 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Ahmad Taufan Damanik [Foto: IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2017-2022, Ahmad Taufan Damanik menceritakan rumitnya proses penyusunan Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM). 

Taufan merupakan salah seorang yang ikut terlibat cukup intensif dalam menyusun Kebijakan presiden tentang ini hingga kemudian KEPPRES tersebut dikeluarkan dan pembentukan timnya.

"Pada periode awal Taufan memimpin di Komnas HAM tahun 2017 sampai 2018 ada komunikasi intensif antara pihak Komnas HAM dengan pemerintah baik presiden, Menkopolhukam waktu itu masih Wiranto, kemudian Menkumham Yasonna Laoly dan tentu saja Jaksa Agung waktu itu masih dipimpin oleh Pak Prasetyo," jelasnya kepada Dialeksis.com, Minggu (25/6/2023). 

Dialog tersebut tentu saja selalu alot, terutama dengan pihak Kejaksaan Agung. Sudah sekian periode kecuali di zaman Jaksa Agung, Marzuki Darusman ada 3 kasus pelanggaran HAM yang sempat ke pengadilan, tetapi setelah itu berganti Jaksa Agung berganti juga presidennya, belum satu pun kasus yang sudah diselesaikan penyidikannya oleh Komnas HAM itu diteruskan ke pengadilan. 

"Jaksa Agung yang bertanggung jawab terhadap penyidikan setelah Komnas HAM selesaikan penyelidikannya sesuai dengan UU nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka Jaksa Agung yang bertanggung jawab untuk meneruskannya ke dalam tahap penyidikan, penuntutan dan kemudian membawanya ke pengadilan HAM," jelasnya lagi.

Namun, kata dia, tidak satu kasus pun di luar 3 kasus tersebut yaitu peristiwa Adipura, Tanjung Priok dan Timor Leste yang pelakunya ditahan, semua dibebaskan terutama dari kalangan militer.

"Kecuali ada berapa orang sipil dulu ditahan di kasus peristiwa Timor Leste. Namun dalam pengadilan lebih tinggi tingkat banding maupun kasasi orangnya dibebaskan. Meskipun 3 kasus itu berhasil dibawa ke pengadilan tapi gagal mewujudkan satu keadilan bagi korban dan keluarga korban," ungkap Taufan. 

Dalam dialog selanjutnya, Komnas HAM bersama Jaksa Agung Prasetyo ingin membawa 2 kasus pelanggaran HAM lain yaitu kasus Paniai Papua dan tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan. Kedua kasus itu dinilai lebih mungkin dibawa segera ke pengadilan. 

"Kemudian saya bersama Jaksa Agung Prasetyo dipanggil presiden, disana ada Mensesneg, Menkumham, Komisoner Komnas HAM, dan LPSK. Dalam diskusi itu, saya kembali mengangkat kesepakatan informal dengan Jaksa Agung Prasetyo agar 2 kasus itu dibawa ke pengadilan sebagai wujud dari komitmen presiden menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Tapi sampai berakhir periode pertama Jokowi, belum satupun kasus dibawa ke pengadilan," ungkapnya lagi. 

Berganti ke periode kedua Presiden Jokowi, kata Taufan, berganti pula Menkopolhukam dan Jaksa Agung. Dirinya tetap komitmen dan kembali membahas dan bertemu tim Jaksa Agung namun hasilnya juga alot. Dari pihak Jaksa Agung selalu menyalahkan Komnas HAM seolah-olah hasil penelitiannya tidak kredibel, tidak sesuai dengan standar yang mereka butuhkan dan berkali-kali berkas dipulangkan. 

"Memang wewenang Komnas HAM tidak lebih dari amanat UU, selanjutnya apa yang kurang dari penyidikan kami mestinya dilakukan di tahapan penyidikan okeh Jaksa Agung," sebutnya. 

Dari perdebatan yang tak kunjung tuntas itu, kata Taufan, ada diskusi lagi antara Komnas HAM dengan pihak presiden kemudian ada ide gagasan penyelesaian non yudisial.

Lalu, lanjutnya, ada pertemuan insentif dilakukan dibawah koordinasi Mensesneg, Menkopolhukam, dan staf presiden untuk menyepakati penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.  

"Kemudian dikritik oleh banyak pihak aktivis NGO, menganggap ini permainan politik belaka bukan satu keseriusan. Tetapi saya adalah orang terdepan yang mengatakan memang penyelesaian non yudisial ini bukanlah satu penyelesaian ideal secara hukum HAM dan prinsip keadilan tetapi melihat kesulitan membawa kasus ini ke pengadilan maka ini pilihan yang paling realistis," jelasnya. 

Tetapi ada prinsip tertentu yang ia tekankan dan juga disepakati. Yaitu harus berprinsip untuk selalu mendengarkan suara aspirasi dari korban dan keluarga korban. 

Tak sampai disitu, Taufan semasa masih menjabat Ketua Komnas HAM, dalam pidatonya pada peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2021 di istana negara, ia menyampaikan harapan dari publik dan Komnas HAM agar presiden segera mengeluarkan peraturan presiden terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat non yudisial. 

Hingga akhirnya pada tahun 2022 dikeluarkan KEPPRES PPHAM Nomor 17 Tahun 2022. [nor]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda