Beranda / Pertahanan dan Keamanan / Ketahanan Pangan di Era Militer: Berkah atau Bencana?

Ketahanan Pangan di Era Militer: Berkah atau Bencana?

Selasa, 11 Februari 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Militer dilibatkan dalam swasembada pangan. Foto: Kolase Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka kian menunjukkan kecenderungan penggunaan pendekatan militeristik, terutama di sektor pangan. Hal ini mengingatkan pada era Orde Baru, ketika tugas-tugas yang seharusnya dikelola oleh pemerintahan sipil justru banyak melibatkan aparat militer dalam setiap aspek, mulai dari produksi, distribusi, hingga pengawasan.

Baru-baru ini, Menteri BUMN Erick Thohir mengumumkan pergantian direksi di Perum Bulog dengan mengangkat Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama, menggantikan Wahyu Suparyono. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-30/MBU/02/2025 tertanggal 7 Februari 2025. 

Sebelumnya, Novi Helmy pernah menjabat sebagai Asisten Teritorial Panglima TNI dan memimpin sebagai Pangdam Iskandar Muda yang bertanggung jawab atas wilayah Aceh.

Semangat militeristik juga terlihat dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam program tersebut, Mabes TNI turut mengerahkan 351 Komando Distrik Militer (Kodim), 14 Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal), serta 41 Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) untuk mendukung prioritas kebijakan pemerintah. 

Sementara itu, Kementerian Pertahanan telah mengusulkan pembentukan 100 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang terdiri dari kompi perikanan, peternakan, dan pertanian. Gagasan ini, yang diusulkan sejak akhir 2024 dalam rapat bersama Komisi I DPR-RI, diarahkan untuk mendukung program pembangunan dan sektor pertanian.

Nyatanya, keterlibatan militer di sektor pangan bukanlah fenomena baru. Pada September 2020, Presiden Jokowi pernah menetapkan kebijakan dengan menunjuk Menteri Pertahanan saat itu, Prabowo Subianto, sebagai penggerak utama pengembangan lumbung pangan nasional atau food estate. Pangan dianggap sebagai aset strategis dalam menjaga pertahanan nasional. Upaya penguatan cadangan pangan melalui food estate dibagi ke dalam dua skema:

  1. Skema non-militer: Lahan berasal dari petani atau kelompok tani bekerja sama dengan investor.
  2. Skema militer: Lahan diperoleh melalui pelepasan kawasan hutan dan dikelola oleh Badan Cadangan Logistik Strategis (BCLS) bersama Kementerian Pertahanan.

Meski demikian, publik mulai mengkhawatirkan bahwa semakin meluasnya peran militer dalam sektor pangan dapat meningkatkan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat sipil. Terlalu banyak keterlibatan militer dinilai berpotensi menggeser fungsi transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya dijalankan oleh lembaga sipil. 

Risiko lainnya, menurut pengamat, adalah pengelolaan pangan yang cenderung menitikberatkan pada kontrol dan pengawasan, sehingga masyarakat berisiko kehilangan partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait distribusi dan akses pangan. Hal ini bisa memicu ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan pemusatan kekuasaan pada pihak militer.

Menurut Eliza Mardian, peneliti di Center of Reform on Economics (CORE), “Memang ada sisi kontranya dari keterlibatan militer ini yang menimbulkan perdebatan di masyarakat. Apakah kita akan kembali menyaksikan praktik dwi fungsi TNI seperti pada masa lalu?” 

Ia menambahkan bahwa pemerintah harus menetapkan batasan yang jelas antara kewenangan sipil dan militer agar masyarakat, terutama kalangan yang masih mengenang masa pemerintahan militer, tidak kembali merasakan bayang-bayang masa tersebut. "Pemerintah sebaiknya berhati-hati untuk menjaga kepercayaan publik," ujarnya.

Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengkritik pendekatan militeristik di sektor pangan, menilai hal ini mencerminkan kegagalan pemerintah untuk belajar dari sejarah. 

Menurutnya, ketika militer memimpin, ruang untuk diskusi dan transparansi menyusut, sehingga menghambat mekanisme kritik yang sehat. 

“Jika kita belajar dari masa lalu, pendekatan seperti ini justru bisa menjadi pintu masuk untuk menghancurkan sendi-sendi demokrasi, seperti yang telah diakui dalam TAP MPR,” ungkap Isnur. 

Ia menegaskan bahwa penggabungan fungsi sosial dan politik dalam dwi fungsi TNI telah merusak mekanisme check and balance, dan mengkhianati mandat konstitusi serta Undang-Undang TNI yang seharusnya fokus pada tugas pertahanan terhadap ancaman eksternal. 

Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, pun menambahkan bahwa urusan ketahanan pangan bukanlah kewenangan TNI, melainkan menjadi tanggung jawab kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian serta pemerintah pusat dan daerah. Ia memperingatkan bahwa penarikan TNI ke dalam ranah non-pertahanan justru berpotensi merugikan negara dan mengikis partisipasi masyarakat.

Arif juga menilai bahwa jika TNI terus terlibat dalam sektor-sektor di luar fungsi utamanya, institusi militer berisiko kehilangan arah dan menjauh dari cita-cita reformasi menuju prajurit profesional, sehingga mudah terjebak sebagai alat politik kekuasaan. “Demokrasi akan runtuh dan Indonesia berisiko kembali menjadi negara otoriter,” tegasnya.

Di sisi lain, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melihat adanya potensi dampak positif dari keterlibatan TNI dalam sektor pangan. 

Menurutnya, “TNI memiliki kapasitas logistik, disiplin, dan struktur yang kuat sehingga dapat berperan kunci dalam mempercepat pencapaian ketahanan pangan nasional, terutama saat terjadi kondisi darurat.” 

Contoh nyata peran ini terlihat pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan rencana pembentukan 100 batalyon teritorial yang dapat membantu memastikan distribusi pangan secara efisien di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh sektor sipil. Selain itu, peran TNI diharapkan mampu memperkuat kesiapsiagaan nasional di tengah situasi geopolitik dan geoekonomi yang penuh ketidakpastian.

Meski demikian, Khairul menekankan bahwa keterlibatan TNI harus dikelola dengan cermat agar tidak terjadi dominasi yang berlebihan. Tantangan utamanya adalah menjaga agar peran TNI dalam urusan sipil tetap berada dalam batas wajar, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih dengan fungsi lembaga sipil dalam aspek produksi dan distribusi pangan.

Eliza dari CORE pun mengakui bahwa pendekatan komando yang terstruktur dari pusat ke daerah dapat mempercepat pelaksanaan kebijakan. 

“Pendekatan militer dengan sistem komando yang terstruktur dari atas ke bawah dapat mempercepat pelaksanaan kebijakan. Tentu saja, ada kelebihan dan kekurangan dalam pendekatan semacam ini,” ujarnya. 

Ia mencontohkan penempatan perwira TNI di Perum Bulog sebagai upaya untuk mempercepat serapan gabah dari petani. Mengingat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dari petani yang rata-rata masih rendah—misalnya sekitar Rp5.000 per kilogram, di bawah HPP yang ditetapkan sebesar Rp6.500 percepatan penyerapan gabah menjadi sangat penting menjelang panen raya.


Sebagai informasi, Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Kepbadan) Nomor 2 Tahun 2025 tertanggal 12 Januari 2025 telah menetapkan perubahan HPP dan rafaksi harga gabah serta beras bagi Bulog. Dalam ketentuan tersebut:

  1. Gabah Kering Panen (GKP) dari petani: Rp6.500 per kg (kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%)
  2. GKP di penggilingan: Rp6.700 per kg (dengan spesifikasi yang sama)
  3. Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan: Rp8.000 per kg (kadar air maksimal 14% dan kadar hampa maksimal 3%)
  4. GKG di Gudang Bulog: Rp8.200 per kg
  5. Beras di Gudang Bulog: Rp12.000 per kg (derajat sosoh minimal 100%, kadar air maksimal 14%, butir patah maksimal 25%, dan butir menir maksimal 2%)

“Intinya, pemerintah ingin menjaga agar harga gabah di tingkat petani tidak jatuh terlalu rendah. Oleh karena itu, percepatan penyerapan gabah menjadi kunci untuk mengantisipasi penurunan harga yang berkelanjutan,” jelasnya.

Meski terdapat berbagai kontra, Eliza berharap agar pemerintah dapat mengambil langkah terbaik untuk sektor pertanian Indonesia dan mengawal bersama upaya tersebut, sehingga pada akhirnya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan para petani.

Dalam rapat koordinasi antara Kementerian Pertanian dan Perum Bulog di Kantor Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Minggu (9/2/2025), Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyatakan bahwa pergantian Direktur Utama di Perum Bulog semata-mata didasarkan pada kebutuhan organisasi. 

“Ini murni kebutuhan organisasi saja. Tidak ada hal spesial yang melatarbelakangi,” ungkapnya. 

Sudaryono menambahkan bahwa Dirut Bulog sebelumnya, Wahyu Suparyono, telah ditempatkan di posisi lain yang lebih sesuai dengan latar belakangnya, meskipun rincian penempatannya belum dijelaskan secara detail.

Di sisi lain, Markas Besar TNI menghormati keputusan Menteri BUMN, Erick Thohir, dalam mengangkat Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog. 

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Hariyanto, menyatakan, “TNI selalu menghormati setiap keputusan pemerintah, terutama terkait penunjukan pejabat di lingkungan BUMN.” 

Mengenai status Novi Helmy yang masih aktif sebagai anggota TNI, Hariyanto menegaskan bahwa prosedur administrasi akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tanpa mengungkapkan detail mengenai status keanggotaannya setelah menjabat di Perum Bulog.

Dengan berbagai dinamika dan perdebatan yang muncul, keterlibatan militer dalam sektor pangan tetap menjadi topik hangat. Pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan antara efisiensi operasional dan prinsip-prinsip demokrasi, agar peran TNI tidak menggeser fungsi lembaga-lembaga sipil yang selama ini menjadi pilar tata kelola pemerintahan. [Tirto]

Dilansir dari artikel tirto, berjudul: Ketahanan Pangan di Tangan Militer: Untung atau Buntung?

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI