Kamis, 13 Maret 2025
Beranda / Pertahanan dan Keamanan / Aktivis HAM Kritik Prajurit TNI Duduki Jabatan Sipil: Langgar UU 34/2004 dan Ancaman Netralitas Militer

Aktivis HAM Kritik Prajurit TNI Duduki Jabatan Sipil: Langgar UU 34/2004 dan Ancaman Netralitas Militer

Rabu, 12 Maret 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil Arista. Foto: for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil Arista, mengkritik keras praktik anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menduduki jabatan sipil di pemerintahan tanpa mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas militer. Pelanggaran ini, menurutnya, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47 ayat (2), yang melarang prajurit aktif menjabat posisi sipil kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur undang-undang.

“Ini pelanggaran sistematis terhadap prinsip supremasi sipil dan netralitas TNI. Jika seorang prajurit ingin masuk ke ranah sipil, hukum sudah jelas: mereka harus melepas seragam lebih dulu, baik melalui pengunduran diri atau pensiun dini,” tegas Khairil kepada Dialeksis (Rabu, 12/03/2025).

Pasal 47 ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa prajurit TNI hanya boleh menduduki jabatan sipil jika ditugaskan secara resmi oleh institusi sesuai ketentuan undang-undang, seperti dalam situasi darurat atau tugas perbantuan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah anggota TNI aktif ditempatkan di posisi strategis pemerintah daerah dan kementerian tanpa melalui prosedur hukum tersebut. Khairil mencontohkan kasus di Kabupaten X dan Kota Y, di mana dua perwira TNI menjabat sebagai staf ahli bupati dan kepala dinas tanpa status pensiun.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi ancaman serius bagi demokrasi. Ketika TNI masuk ke ranah sipil tanpa mekanisme yang transparan, mereka berpotensi mempolitisasi institusi militer dan melemahkan akuntabilitas pemerintahan,” tambahnya.

Koalisi NGO HAM menilai sudah mulai marak kader TNI masuk di jabatan posisi sipil di era Jokowi dan era Presiden Prabowo. Khairil mendesak pemerintah dan DPR untuk meninjau ulang penempatan TNI di lembaga sipil serta menegakkan sanksi tegas bagi pelanggar. “Jika dibiarkan, praktik ini akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru, di mana militer punya kendali ganda di politik dan birokrasi,” ujarnya.

Khairil menegaskan bahwa argumen tersebut tidak relevan. “Permintaan daerah bukan alasan untuk mengabaikan hukum. Negara wajib memastikan TNI fokus pada tugas pertahanan, bukan menjadi alat politik di tingkat lokal,” tegasnya.

Sebagai langkah solutif, Koalisi NGO HAM mendorong pembentukan mekanisme pengawasan independen untuk memantau integrasi TNI dalam pemerintahan serta revisi UU TNI yang lebih tegas mengatur sanksi pelanggaran.

“Negara harus belajar dari sejarah. Netralitas TNI adalah harga mati bagi demokrasi Indonesia,” pungkas Khairil.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers