Beranda / Gaya Hidup / Prof. Dr. Mustanir: Pemimpin Aceh Harus Serius Atasi Masalah Sosial Generasi Muda

Prof. Dr. Mustanir: Pemimpin Aceh Harus Serius Atasi Masalah Sosial Generasi Muda

Sabtu, 18 Januari 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

 Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kewirausahaan Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Mustanir, M.Sc. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kewirausahaan Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Mustanir, M.Sc., menyampaikan seruan tegas kepada para pemimpin di Aceh untuk lebih serius dalam menangani persoalan sosial yang kian meresahkan masyarakat. 

Menurutnya, berbagai persoalan sosial yang terjadi, seperti penyalahgunaan narkoba, perilaku seks bebas, tindakan LGBT, hingga semakin lemahnya pemahaman agama di kalangan generasi muda, sudah menjadi ancaman serius terhadap akidah dan moral masyarakat Aceh.

“Siapa pun pemimpin di berbagai lini di Aceh harus serius menyelesaikan masalah sosial masyarakat yang sudah merusak akidah dan akhlak generasi muda. Ini bukan lagi persoalan kecil, tetapi sudah menjadi tantangan besar yang memerlukan kerja sama semua pihak,” tegas Prof. Mustanir kepada Dialeksis, Sabtu (18/1/2025).

Ia menyoroti perlunya perhatian lebih dari keluarga, terutama orang tua, dalam membentuk karakter dan akhlak anak. 

Menurutnya, banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga melupakan tanggung jawab utama mereka untuk mendidik dan memastikan perilaku anak tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam.

“Generasi muda Aceh memerlukan keterlibatan serius dari orang tua. Jangan sampai lalai. Kalau orang tua hanya fokus pada pekerjaan tapi lupa mendidik anak dengan nilai-nilai agama, maka kita akan kehilangan generasi yang berakhlak mulia. Ini tanggung jawab besar yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Prof. Mustanir juga menyoroti fenomena sosial di Banda Aceh, di mana banyak remaja yang menghabiskan waktu hingga larut malam di kafe, bahkan sering terlihat berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. 

Hal ini, menurutnya, mencerminkan lemahnya pengawasan sosial dan budaya Islami yang selama ini menjadi identitas Aceh sebagai Serambi Mekkah.

“Pemerintah daerah harus lebih tegas mengatur tata kehidupan masyarakat. Fenomena anak-anak muda yang masih nongkrong di kafe hingga larut malam, bahkan berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram, menunjukkan lemahnya kontrol sosial. Ini harus segera ditangani. Peraturan yang jelas dan pembinaan yang berkelanjutan sangat diperlukan,” tambahnya.

Sebagai langkah solutif, Prof. Mustanir mengajak semua pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh agama, maupun masyarakat luas, untuk bergandengan tangan memperkuat pendidikan agama dan nilai moral sejak dini. 

Ia juga mengusulkan program pembinaan khusus untuk remaja dan keluarga agar lebih memahami pentingnya menjaga akhlak dan identitas keislaman.

“Kita harus kembali ke prinsip dasar Islam dalam mendidik generasi muda. Pendidikan agama harus diperkuat, dan program-program pembinaan akhlak perlu diperluas. Kalau kita semua bekerja sama, insya Allah, Aceh akan kembali menjadi contoh daerah yang bermartabat dan beradab,” jelasnya. 

“Terpenting menjadi pengingat penting bagi semua pihak bahwa upaya membangun generasi muda yang berakhlak dan berintegritas memerlukan komitmen bersama. Aceh, sebagai daerah yang dikenal dengan keislamannya, perlu terus menjaga jati diri tersebut melalui langkah nyata dan keseriusan semua elemen masyarakat,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI