DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejarawan sekaligus jurnalis senior Aceh, Murizal Hamzah, menyoroti melemahnya budaya literasi di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa di lingkungan kampus. Menurutnya, di tengah derasnya arus informasi digital, kemampuan membaca kritis dan menulis reflektif justru semakin menurun.
“Mahasiswa hari ini sangat dekat dengan gawai, tapi jauh dari buku. Literasi bukan hanya tentang membaca teks, tapi juga memahami konteks. Tanpa kemampuan itu, sulit melahirkan generasi intelektual yang berdaya pikir tajam,” ujar Murizal dalam sebuah diskusi bersama redaksi Dialeksis, Sabtu (18/10/2025).
Ia menilai, krisis literasi bukan hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga terasa di kampus-kampus Aceh. Padahal, sejarah panjang Aceh sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam seharusnya menjadi modal besar untuk membangun kembali tradisi intelektual di kalangan muda.
Murizal menjelaskan, kampus seharusnya menjadi ruang tumbuhnya tradisi membaca, menulis, dan berdiskusi. Namun kini, banyak mahasiswa lebih sibuk mengejar nilai akademik ketimbang memperluas wawasan melalui literatur, penelitian, dan tulisan ilmiah.
“Di masa lalu, kampus adalah tempat lahirnya ide-ide besar. Mahasiswa aktif menulis di media kampus, berdiskusi di warung kopi, dan menyuarakan perubahan. Kini, sebagian besar energi habis di media sosial. Padahal, pikiran yang tak ditulis akan hilang, dan gagasan yang tak dibaca akan mati,” tegasnya.
Murizal menambahkan, rendahnya budaya literasi bukan hanya disebabkan oleh faktor minat baca yang lemah, tetapi juga minimnya ekosistem yang mendukung. Banyak perpustakaan kampus belum dikelola secara menarik dan tidak diintegrasikan dengan dunia digital yang akrab bagi generasi Z.
Lebih lanjut, Murizal menegaskan bahwa literasi tidak berhenti pada kemampuan membaca, melainkan meliputi kemampuan memahami, mengkritisi, dan memproduksi pengetahuan. Dalam konteks kekinian, literasi juga mencakup pemahaman terhadap informasi digital, media sosial, hingga narasi sejarah yang berkembang di ruang publik.
“Anak muda Aceh harus belajar membaca masa lalu untuk menulis masa depan. Tanpa kemampuan membaca sejarah, kita akan kehilangan arah dalam berpikir dan bertindak,” katanya.
Menurutnya, literasi juga berfungsi sebagai alat perlawanan terhadap arus informasi palsu yang marak di media sosial. Mahasiswa harus menjadi kelompok yang paling siap melawan hoaks dan disinformasi dengan cara memperkuat kemampuan analisis dan verifikasi sumber.
Sebagai sejarawan, Murizal mengingatkan bahwa Aceh memiliki tradisi literasi yang kuat sejak masa kerajaan. Dari naskah-naskah kuno di Dayah, hikayat-hikayat perjuangan, hingga karya sastra ulama klasik, semuanya menjadi bukti bahwa Aceh pernah menjadi pusat pemikiran dan peradaban di Nusantara.
Namun, ia menilai tradisi tersebut kini terputus karena lemahnya sistem pendidikan yang menanamkan kecintaan terhadap membaca dan menulis sejak dini.
“Kita perlu membangun kembali jembatan antara tradisi literasi masa lalu dengan tantangan masa kini. Mahasiswa harus menjadi jembatan itu,” ungkap Murizal mantan wartawan Acehkita.
Murizal juga menekankan pentingnya sinergi antara media, kampus, dan pemerintah daerah dalam menghidupkan kembali budaya literasi di Aceh. Menurutnya, media lokal seperti Dialeksis.com dapat menjadi ruang ekspresi bagi mahasiswa untuk menulis opini, resensi, dan hasil penelitian kecil yang menggugah kesadaran publik.
“Literasi tidak akan tumbuh hanya lewat seremonial lomba baca puisi atau bedah buku. Ia tumbuh ketika kampus memberi ruang bagi mahasiswa untuk menulis, berdialog, dan berdebat secara sehat. Di situlah karakter intelektual terbentuk,” pungkasnya.
Di akhir perbincangan, Murizal berharap agar kampus-kampus di Aceh kembali menjadi ruang pembibitan intelektual muda yang gemar membaca dan menulis. Ia mengajak mahasiswa untuk menjadikan literasi sebagai gaya hidup, bukan sekadar kewajiban akademik.
“Budaya literasi adalah napas peradaban. Bila mahasiswa berhenti membaca, maka peradaban pun berhenti berpikir,. Salah satu cara menjngkatkan minat baca di kalangan mahasiswa dengan mengadakan duta baca seperti yang diadakan oleh Universitas Teuku Umar pada awal Oktober. Kita harus mengapresiasi kegiatan literasi tersebut,” tutupnya penuh makna. [arn]