Kamis, 26 Juni 2025
Beranda / Gaya Hidup / Marak Penculikan Anak Bermodus Game Online, Psikolog: Waspadai Celah Psikologis Anak

Marak Penculikan Anak Bermodus Game Online, Psikolog: Waspadai Celah Psikologis Anak

Kamis, 26 Juni 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Direktur Psikodista Konsultan, Dra. Nur Janah Alsharafi, MM. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Maraknya kasus penculikan anak dengan modus game online memicu kekhawatiran publik. Pelaku kejahatan kini memanfaatkan ruang digital, terutama platform permainan daring, untuk menjalin kedekatan emosional dengan anak-anak sebelum melancarkan aksinya.

Salah satu kasus terbaru terjadi di Serang, Banten. Seorang pelaku berinisial MH menculik dua anak setelah lebih dulu membangun hubungan melalui game online. Selama dua pekan, pelaku aktif berkomunikasi dengan korban hingga akhirnya berhasil melancarkan penculikan. Kasus serupa juga terjadi di Amerika Serikat, di mana seorang pria asal California menculik gadis berusia 10 tahun yang ia kenal lewat platform game Roblox dan aplikasi Discord.

Menanggapi fenomena ini, Psikolog sekaligus Direktur Psikodista Konsultan, Dra. Nur Janah Alsharafi, MM, menyebut kejahatan siber ini semakin canggih karena menyasar aspek psikologis anak.

“Pelaku biasanya menggunakan pendekatan persuasif dan manipulatif. Mereka menyamar sebagai teman virtual, membangun kepercayaan, dan menjalin hubungan emosional yang kuat dengan anak,” ujar Nur Janah saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (26/6/2025).

Ia menjelaskan bahwa anak-anak yang kesepian, kurang perhatian orang tua, atau sedang berada dalam fase perkembangan emosi yang belum stabil, menjadi target empuk para predator dunia maya.

Game online, menurut Nur Janah, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, dapat mengasah keterampilan berpikir anak, namun di sisi lain menyimpan risiko besar. Salah satunya adalah potensi anak berinteraksi dengan pengguna yang menyamar sebagai teman, padahal memiliki niat jahat seperti predator seksual.

“Fenomena child grooming atau pendekatan halus tanpa kekerasan sering digunakan pelaku. Mereka membangun percakapan manis, membuat anak nyaman, dan menanamkan keterikatan emosional untuk kemudian dimanipulasi,” jelasnya.

Menurutnya kondisi anak yang kecanduan game online juga rentan mengalami cyberbullying atau kekerasan digital. Dalam kondisi tertentu, korban bisa mengalami depresi mendalam, bahkan muncul keinginan untuk mengakhiri hidup. Selain itu, banyak game yang memiliki fitur role play, di mana anak dapat merasa memiliki "keluarga virtual", sehingga mudah terpengaruh nilai-nilai baru yang bisa saja bertentangan dengan norma yang diajarkan keluarga.

“Keterikatan emosional anak bukan hanya dengan karakter dalam game, tetapi juga dengan teman bermainnya. Celah inilah yang dimanfaatkan pelaku untuk masuk sebagai ‘teman baik’,” tambahnya.

Nur Janah menjelaskan bahwa para pelaku biasanya menggunakan pola pendekatan yang bertahap. Dimulai dengan pujian, memberi hadiah virtual, meminta kontak pribadi, hingga mengajak bertemu di dunia nyata.

“Proses ini berlangsung halus dan tidak disadari. Ketika anak sudah merasa nyaman, pelaku perlahan membangun skenario pertemuan langsung,” jelasnya.

Minimnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas digital anak turut memperparah situasi. Banyak orang tua belum memahami bahwa game online bukan lagi sekadar hiburan, melainkan ruang sosial yang kompleks dan penuh risiko.

“Literasi digital menjadi sangat penting. Anak harus dibekali pemahaman bahwa tidak semua orang di balik layar adalah teman. Komunikasi terbuka dengan orang tua adalah benteng utama agar anak tidak mencari pelarian di dunia maya,” tegas Nur Janah.

Ia juga mengingatkan pentingnya mengenali tanda-tanda bahaya. Jika anak tiba-tiba murung, sering menyendiri saat bermain game, atau enggan membicarakan siapa teman mainnya, orang tua harus segera mengambil tindakan.

Nur Janah menilai bahwa psikoedukasi harus menjadi program wajib di sekolah dan lingkungan keluarga. Guru dan orang tua perlu dibekali kemampuan untuk mendeteksi perubahan perilaku anak yang mencurigakan.

“Pendidikan non - digital seperti permainan nyata yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik harus dihidupkan kembali, baik di rumah maupun di sekolah,” katanya.

Selain itu, ia menekankan pentingnya peran negara dan penyedia platform digital dalam membangun ekosistem online yang aman bagi anak-anak.

“Fitur pelaporan (reporting system), pembatasan usia, dan kontrol orang tua harus diimplementasikan secara serius. Game online bukan hanya tempat bermain, tapi juga ruang komunikasi yang luas. Negara dan penyedia platform harus turut bertanggung jawab,” tambahnya.

Kasus - kasus penculikan anak bermodus game online, menurut Nur Janah, adalah alarm keras yang tidak boleh diabaikan. Dunia digital memiliki sisi gelap yang bisa mengancam keselamatan anak-anak.

“Kewaspadaan, edukasi, dan komunikasi terbuka adalah kunci utama mencegah kejahatan yang mengintai dari balik layar,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dpra