Inovasi Digital Kunci Revitalisasi Bahasa Daerah Bagi Generasi Aceh di Era Modern
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Duta Bahasa Provinsi Aceh 2024, Rafifatul Salma. Dokumen untuk dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Revitalisasi bahasa daerah telah menjadi isu yang semakin mendesak di tengah perkembangan zaman yang serba cepat dan globalisasi.
Salah satu langkah awal yang perlu diambil untuk melestarikan bahasa daerah, khususnya di Aceh, adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Duta Bahasa Provinsi Aceh 2024, Rafifatul Salma, langkah pertama dalam upaya ini adalah dimulai dari diri sendiri.
Ia mengungkapkan bahwa keberhasilan dalam revitalisasi bahasa daerah, khususnya Aceh, harus diawali dengan kesadaran individu untuk menjaga dan melestarikan bahasa tersebut.
Sebagaimana pepatah Aceh yang mengatakan, 'mate aneuk meupat jirat, mate adat pat tamita'—bahwa jika anak itu mati, maka adat akan hilang. Bahasa daerah adalah bagian dari adat yang harus kita pertahankan,” ujar Rafifatul kepada media dialeksis.com, Sabtu, 5 Oktober 2024.
Rafifatul percaya bahwa generasi muda memiliki peran sentral dalam menjaga kelangsungan bahasa daerah.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya membangun kesadaran tentang pentingnya bahasa daerah sejak dini. “Kita harus memahami bahwa bahasa adalah identitas. Ketika kita berbicara dalam bahasa daerah, kita tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga menjaga dan mewariskan budaya serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” tambahnya.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam revitalisasi bahasa daerah sangat besar, salah satunya adalah kecenderungan generasi muda untuk lebih bangga menggunakan bahasa gaul atau bahasa Indonesia, yang dianggap lebih modern dan populer.
Rafifatul menyebutkan bahwa hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, baik di sekolah, media, hingga kehidupan sehari-hari.
"Pengaruh lingkungan sangat besar. Jika di sekitar kita, terutama dalam keluarga, lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, maka secara otomatis anak-anak akan lebih jarang menggunakan bahasa daerah," ujarnya.
Namun, Rafifatul tidak menyerah hanya pada tantangan tersebut.
Ia melihat bahwa untuk melestarikan bahasa daerah, generasi muda perlu diajak untuk lebih tertarik dan bangga menggunakan bahasa mereka dalam konteks yang lebih relevan dengan zaman.
Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan tren digital yang sedang berkembang.
Menurutnya, pembuatan konten-konten kreatif yang populer, seperti video pendek di media sosial, bisa menjadi salah satu cara efektif untuk menghidupkan bahasa daerah.
“Contohnya, kita bisa membuat konten yang sedang tren, seperti video TikTok atau YouTube, tetapi dibungkus dengan penggunaan bahasa daerah. Konten-konten seperti ini akan lebih mudah diterima oleh generasi muda, karena mereka lebih sering mengakses media sosial. Ini adalah salah satu cara yang inovatif untuk menghidupkan bahasa daerah di kalangan anak muda,” jelas Rafifatul.
Selain itu, Rafifatul juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam mempertahankan penggunaan bahasa daerah.
Dalam banyak kasus, bahasa daerah mulai terlupakan di dalam rumah tangga, terutama jika keluarga lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari.
“Keluarga adalah lingkungan pertama di mana anak-anak belajar bahasa. Jika sejak dini mereka lebih sering mendengar dan menggunakan bahasa daerah dalam keluarga, mereka akan lebih mudah menguasai dan mencintainya,” jelasnya.
Rafifatul juga mengingatkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga merupakan jembatan untuk menghubungkan generasi muda dengan akar budaya mereka.
Sebagai Duta Bahasa Provinsi Aceh 2024, Rafifatul Salma memiliki harapan besar agar bahasa daerah di Aceh, khususnya bahasa Aceh, tidak hanya tetap eksis, tetapi juga berkembang di era digital ini.
Dengan peran aktif generasi muda, serta dukungan dari keluarga dan masyarakat luas, ia yakin revitalisasi bahasa daerah dapat terlaksana dengan baik.
“Bahasa daerah adalah bagian dari identitas kita. Jika kita tidak melestarikan bahasa tersebut, kita tidak hanya kehilangan bahasa, tetapi juga kehilangan warisan budaya yang terkandung di dalamnya,” tutupnya.