Apa Benar Belajar Bahasa Inggris Bagi Orang Aceh itu Sulit?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Banyak orang yang merasa belajar bahasa Inggris (dan bahasa asing lainnya) tidaklah mudah, bahkan sangat sulit. Sebagian orang merasa tidak punya kemampuan dan waktu untuk itu. Ada pula orang yang memiliki peluang dan waktu dengan mengikuti kursus bahasa Inggris.
Dari siswa-siswa yang pernah ditemui, banyak dari mereka dengan sadar meluangkan waktu untuk mengikuti kursus bahasa Inggris dan berharap dapat belajar dengan lebih efektif. Keputusan mereka tepat karena pembelajaran yang dipandu guru atau instruktur sangatlah dibutuhkan. Hanya saja, ternyata seorang instruktur tidak bisa selalu “memuaskan” semua siswa dalam satu kelas dengan suatu metode pembelajaran.
Apakah masalahnya terletak pada metode pembelajaran? Semua metode pembelajaran bahasa dibuat oleh para ahli dan bertujuan agar pembelajaran menjadi efektif. Namun tentunya metode pembelajaran bisa dianggap seperti cocok-cocokan, bisa jadi ada siswa yang merasa nyaman dengan metode di satu pertemuan tetapi tidak nyaman dengan metode yang berbeda di pertemuan yang lain.
Lalu apakah masalahnya ada pada motivasi belajar? Kita sudah mengetahui bahwa motivasi belajar yang besar akan membantu pembelajaran. Hal ini benar. Faktanya ada juga siswa yang memiliki dorongan yang kuat, tetapi masih merasa kesulitan. Ternyata mereka terkesan “terpaksa” mengikuti pembelajaran dalam arti terpaksa untuk mengikuti metode yang digunakan di kelas dan hanya menggunakan metode tersebut dalam belajar. Untuk itu, perlu cara lain yang bisa mendukung percepatan pembelajaran bahasa. Terlebih di Aceh, penggunaan bahasa Inggris yang minim, hanya sebagian saja yang bisa, bahkan bahasa Indonesianya saja masih terbata-bata.
Dalam hal ini, CEO Save Educational Aceh (SEA), Aishah mengatakan bahwa pelajar bukan orang dewasa, mereka sangat mempunyai kebutuhan yang berbeda, minat, dan kemampuan dari pelajar dewasa. Maka dari itu, anak-anak secara sifatnya adalah pelajar alamiahnya karena rasa ingin tahunya tentang dunia sekelilingnya.
Lanjutnya juga, mereka suka belajar sambil melakukan dan bersenang senang dengan kegiatan belajar tersebut. Jadi, jangan masukan kebutuhan orang dewasa pada anak untuk belajar dengan cara yang dipikirkan orang dewasa atau orang tua anak-anak.
"Mereka tidak paham apa yang ada di kepala orang dewasa inginkan dan perspektif dunia mereka tidak sama kebutuhannya dengan orang dewasa," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Rabu (19/7/2023).
Tidak hanya itu, guru atau pengajar sangat penting perannya dan harus paham psikologi, perkembangan anak, dan lingkungan belajar, yakni guru yang mencintai mengajar akan mengajarkan anak-anak untuk mencintai belajar. Guru juga harus punya gagasan yang berangkat dari persilangan antar berbagai keilmuan.
"Disini kami mengedepankan sensitivitas terhadap konteks dan melihat fenomena keseharian sebagai problem, jadi mengangkat permasalahan menjadi matter for critical thinking," ujarnya.
Ia juga memerhatikan, selama ini upaya untuk merubah pembelajaran menjadi project based learning masih kurang dipahami dan sulit dilakukan di usia dini. Jadi belajar apapun harus dimulai saat usia yang dini dan belajar harus di dalam ekosistem yang menyenangkan.
Jelasnya lagi, jadikan belajar menjadi perubahan tingkah laku juga, karena belajar bukan hanya transfer pengetahuan, tapi belajar menghargai pelajaran, mencintai peajaran, dan mempraktikkannya.
"Pelajaran apapun, baik bahasa Inggris atau Matematika atau pelajaran sulit sekalipun, apabila sesuai dengan kebutuhannya insyaAllah akan masuk meresap di minds, body, and soul anak-anak," pungkasnya. [AU]