Sabtu, 20 Desember 2025
Beranda / Feature / Transformasi PEMA Jadi Lokomotif Ekonomi Aceh

Transformasi PEMA Jadi Lokomotif Ekonomi Aceh

Sabtu, 02 Agustus 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

PT PEMA sedang bergerak keluar dari bayang-bayang masa lalu menuju wajah baru sebagai korporasi daerah yang profesional dan kompetitif. [Foto: Ilustrasi AI oleh dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Feature - Di tengah tantangan investasi, pengelolaan sumber daya alam, dan tuntutan kemandirian ekonomi daerah, PT Pembangunan Aceh (PEMA) memilih langkah yang tak biasa: menata diri dari dalam.

Bagi Direktur Utama PEMA, Mawardi Nur, pembangunan ekonomi Aceh tidak bisa lagi bertumpu pada pendekatan proyek sesaat, apalagi sekadar mengikuti arus kebijakan tanpa fondasi bisnis yang kuat.

“Yang Aceh butuhkan hari ini bukan proyek besar yang berhenti di seremoni. Yang kita bangun adalah ekosistem investasi,” katanya, dengan keyakinan yang terasa menular.

Bagi PEMA, investasi bukan sekadar angka di atas kertas. Ia adalah rantai yang harus mengalir mulus dari hulu ke hilir: perencanaan berbasis data, skema pendanaan sehat, pengelolaan profesional, hingga hasil yang nyata. Dan untuk itu, langkah pertama adalah memperkuat PEMA sendiri.

Reformasi manajemen, penataan struktur organisasi, dan pembenahan sistem pengambilan keputusan menjadi prioritas. “Investasi tidak akan datang ke tempat yang tidak siap. Maka yang pertama kami benahi adalah tata kelola internal. Kedua, kami pastikan PEMA bisa menjadi mitra andal bagi investor,” ujarnya.

Langkah ini sekaligus menjadi pesan kepada publik bahwa PEMA sedang bergerak keluar dari bayang-bayang masa lalu menuju wajah baru sebagai korporasi daerah yang profesional dan kompetitif.

Sebagai holding BUMD, PEMA memiliki 14 anak usaha, tetapi tidak semuanya berfungsi efektif. Anak usaha yang hanya “ada di atas kertas” kini menjadi masa lalu. “Kami tidak ingin ada anak usaha yang hanya ada di atas kertas. Anak usaha harus lahir dari kebutuhan bisnis, bukan untuk memperbanyak struktur,” ujarnya tegas.

Penataan ulang ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, agar setiap unit usaha benar-benar memiliki prospek, pasar, dan kontribusi nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Selama bertahun-tahun, PEMA dipandang sekadar penampung dividen, terutama dari sektor energi. Mawardi menilai paradigma itu harus diakhiri. “Kalau hanya mengandalkan dividen, apa bedanya PEMA dengan perantara? Kami ingin menjadi lokomotif, bukan gerbong,” tegas Mawardi.

Karena itu, arah bisnis PEMA dirumuskan ulang. Perusahaan tidak lagi pasif menunggu hasil, melainkan aktif menjadi penggerak investasi strategis yang membuka peluang baru bagi Aceh.

Salah satu langkah nyata PEMA adalah mengaktifkan kembali aset-aset daerah yang selama ini terbengkalai. UPTD Cold Storage menjadi contoh konkret. Fasilitas ini sebelumnya tidak berfungsi optimal, padahal Aceh memiliki potensi kelautan yang besar.

Kini, PEMA mengambil alih pengelolaannya dan menargetkan fasilitas tersebut beroperasi pada Oktober 2025. Kehadiran cold storage diharapkan menjadi tulang punggung industri pengolahan hasil laut, memperpanjang rantai nilai, dan menciptakan lapangan kerja langsung bagi masyarakat pesisir.

Selain itu, Hotel Aceh di kawasan Cikini juga direvitalisasi. Bagi PEMA, hotel ini bukan sekadar aset properti, melainkan etalase Aceh di ibu kota, sekaligus penggerak sektor pariwisata dan jasa.

Di sektor sumber daya alam, keberanian terlihat jelas. Pengelolaan Blok Rantau, wilayah migas yang selama ini belum optimal, kini berada di tangan PEMA. “Potensi pendapatannya bisa mencapai Rp190 miliar per tahun. Ini angka riil, bukan asumsi,” tegasnya.

Tidak berhenti di situ, PEMA juga menyiapkan kajian untuk pengelolaan Blok Medco yang kontraknya akan berakhir pada 2031. Targetnya jelas: Aceh tidak lagi hanya menjadi penonton, tetapi pemain utama dalam pengelolaan kekayaan alamnya sendiri.

Menyadari perubahan arah investasi global, PEMA mulai melirik sektor energi masa depan. Proyek Carbon Capture Storage (CCS) menjadi salah satu terobosan strategis. Melalui kerja sama dengan mitra internasional, PEMA ingin menempatkan Aceh dalam peta investasi hijau dunia.

Teknologi CCS dinilai tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berpotensi besar menyerap tenaga kerja, mendorong alih teknologi, dan memperkuat posisi Aceh dalam ekonomi rendah karbon.

“Kami tidak mengejar proyek prestise. Kami mengejar proyek yang bisa dieksekusi, menghasilkan PAD, dan membuka lapangan kerja,” ujar Mawardi.

Dalam waktu dekat, PEMA menyiapkan tujuh proyek unggulan yang siap berjalan. Di antaranya pengelolaan Rice Milling Unit (RMU), Integrated Cold Storage (ICS) Lampulo, serta rencana ekspor cangkang dan kopi Aceh ke sejumlah negara.

“PEMA sedang mempersiapkan langkah besar, termasuk ekspor cangkang serta pengiriman kopi Aceh ke beberapa negara,” jelas Mawardi.

Rencana pelayaran langsung Krueng Geukuh-Penang juga disambut positif. Bagi PEMA, jalur ini bukan hanya transportasi, melainkan pintu masuk perdagangan regional dan skema barter dagang yang menguntungkan Aceh.

PEMA menyadari, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari peran generasi muda. Karena itu, perusahaan membuka ruang kolaborasi dengan kampus, akademisi, peneliti, dan mahasiswa. “Kantor PEMA terbuka untuk dialog. Kami ingin ide bisnis dan riset dari anak-anak Aceh bisa tumbuh menjadi proyek nyata,” kata Mawardi.

Untuk menjamin kualitas keputusan, PEMA juga membentuk divisi kajian internal, memastikan setiap proyek melewati uji kelayakan berbasis data dan studi mendalam. Di tengah berbagai sorotan publik terhadap kinerja BUMD, Mawardi memilih menjawabnya dengan keterbukaan. Menurutnya, transparansi adalah syarat mutlak untuk membangun kepercayaan investor.

Dengan mesin baru yang mulai berputar, PEMA berusaha membuktikan bahwa BUMD bukan sekadar simbol, melainkan instrumen nyata pembangunan Aceh, lokomotif yang menarik gerbong ekonomi daerah menuju masa depan yang lebih sejahtera.

“Transparansi bukan hanya untuk publik, tapi juga untuk calon mitra. Mereka harus tahu bahwa PEMA hari ini adalah institusi yang sehat dan siap bersaing,” pungkasnya.

Kini, PEMA bergerak bukan sekadar simbol BUMD. Ia adalah lokomotif, menarik gerbong-gerbong ekonomi Aceh menuju masa depan yang lebih sejahtera. Dari bayang-bayang masa lalu, PEMA menulis cerita baru: Aceh tidak lagi menjadi penonton, tapi pemain utama dalam perjalanan ekonominya sendiri. [adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
pema