Smong, Living Memori yang Menginspirasi Dunia
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Pengunjung menikmati lukisan siluet "smong 1907" yang dipamerkan di Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, Aceh, Senin (30/9/2024). [Foto: antara Foto]
DIALEKSIS.COM | Feature - Langit biru Aceh hari itu penuh kisah dan kenangan, Museum Tsunami Aceh mempersiapkan sebuah pameran yang berdenyut dengan jiwa sejarah, bertajuk “Smong 1907”. Perhelatan ini adalah bagian dari serangkaian acara yang mewarnai semaraknya Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut, dan hadir untuk memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi para pengunjung.
Lantai tiga museum yang biasanya hening berubah menjadi ruang sarat emosi, di mana dinding-dindingnya seolah berbisik tentang masa lalu. Pameran ini adalah pintu ke masa silam, ke tahun 1907, ketika Pulau Simeulue disapu ombak dahsyat yang merenggut ribuan nyawa, namun sekaligus melahirkan kearifan yang kini terukir dalam benak warganya: Smong (hempasan air laut).
“Kegiatan ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada para tamu dan peserta PON, tetapi juga bagian dari peringatan dua dekade gempa bumi dan tsunami yang menggetarkan Aceh,” ujar Almuniza Kamal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh.
Ia berbicara dengan penuh haru, seakan setiap kata membawa bayang-bayang duka dan ketangguhan yang membekas dalam sejarah masyarakat Aceh.
Pameran “Smong 1907” memiliki misi lebih dari sekadar edukasi. Almuniza menjelaskan bahwa pameran ini dirancang untuk mengenalkan kepada dunia tentang kekuatan ketahanan Simeulue dalam menghadapi bencana alam.
“Melalui pameran ini, kami berharap para pengunjung dapat merasakan bagaimana pengalaman masa lalu membentuk kesiapsiagaan dan kebijaksanaan masyarakat Simeulue,” tambahnya.
M. Syahputra Az, Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh, dengan sorot mata tajam yang menyiratkan kebanggaan dan duka, mengisahkan betapa Smong lahir dari trauma mendalam. Bencana tsunami 1907 di Simeulue, yang mencatat korban jiwa 1.818 orang, menjadi titik balik dalam sejarah pulau itu. “Smong bukan sekadar cerita, tetapi pelajaran hidup yang diwariskan melalui syair dan kisah lisan. Inilah kecerdasan sosiokultural yang diberikan oleh Allah SWT untuk melindungi kita,” ungkapnya.
Di ruang pameran itu, syair-syair Smong menggema dalam senandung lembut. Anak-anak dan orang tua yang datang, diam menyimak, seolah dibawa kembali ke masa ketika hanya detak jantung yang terdengar di sela hiruk-pikuk warga yang berlari menuju bukit.
“Enggelmon Sao curito,
Inang maso semonan,
Manoknop sao fano,
Wila dasesewan...”
Kata-kata itu menggema, mengisahkan bagaimana gempa kuat dan surutnya air laut menjadi peringatan alami. Syair tersebut, yang dahulu dilantunkan di surau-surau dan diiringi petikan cengkih serta teh oleh ibu-ibu, telah menjadi living memory bagi masyarakat Simeulue. Sebuah ingatan hidup yang menyelamatkan ribuan nyawa ketika tsunami 2004 menggulung pantai barat Aceh dan Sumatera Utara.
Di tengah bencana global yang menyayat hati, kisah Simeulue memukau dunia. Betapa tidak? Di saat alat peringatan dini tak terjangkau, dan teknologi modern tak mampu menjangkau seluruh pelosok, penduduk Simeulue berdiri tegak. Hanya tujuh jiwa yang hilang dari 78.000 penduduk saat tsunami 2004, sebuah ironi dan keajaiban di tengah angka korban yang melangit di tempat lain.
Kisah ini bukan sekadar dongeng, tetapi kisah kepahlawanan nenek moyang yang diwariskan melalui seni tutur nafi-nafi. “Smong itu lebih dari kata, ia adalah napas budaya kami. Ia disampaikan di setiap kesempatan, sebagai nasihat, dalam obrolan sehari-hari, dan dalam Nandong,” jelas Syahputra. Nandong, seni tradisional yang mengalun lembut seperti ombak kecil, menjadi media untuk menanamkan pelajaran berharga itu ke dalam jiwa generasi muda.
Pameran Smong 1907 di Museum Tsunami Aceh pada September - Oktober 2024. [Foto: Disbudpar Aceh]Di tengah ruang pameran, terdapat juga replika peninggalan sejarah yang menggetarkan hati: makam tua di Desa Salur, Teupah Barat. Itu adalah saksi bisu dari kejadian yang melahirkan Smong. Dengan sentuhan teknologi modern, pengunjung diajak menjelajahi dokumentasi dan arsip, mencicipi pengalaman mengerikan dan keajaiban yang menyertainya.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyebut Smong sebagai salah satu harta karun nasional, bentuk kearifan lokal yang menjadi pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan. “Smong adalah contoh arsip hidup yang mengajarkan bagaimana pengetahuan lokal bisa menjadi penopang keselamatan,” kata Kandar, Deputi Bidang Penyelamatan, Pelestarian, dan Perlindungan Arsip ANRI. Dengan bijak ia menjelaskan bahwa dalam manajemen pelindungan arsip, kearifan lokal seperti Smong menjadi tingkat tertinggi dari manajemen mitigasi.
Almuniza berharap pameran ini menjadi lebih dari sekadar catatan sejarah. “Kami ingin ini menjadi pengalaman yang bernilai dan mengesankan, sesuatu yang tertanam di hati para pengunjung, bahwa Aceh, khususnya Simeulue, memiliki pelajaran tentang kehidupan, tentang kekuatan dan harapan,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Smong bukan hanya warisan, ia adalah jembatan waktu yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Ia mengingatkan kita bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan tak selalu datang dari teknologi mutakhir, tetapi dari syair-syair sederhana yang dilantunkan dengan hati. Dari ingatan yang disampaikan oleh mereka yang telah melihat ombak setinggi langit dan kembali untuk menceritakan kisahnya.
Pameran “Smong 1907” mengajak setiap pengunjung untuk sejenak menunduk, mendengar, dan meresapi pelajaran tentang hidup yang dibisikkan oleh laut. Sebuah pelajaran tentang kepekaan, kesiapsiagaan, dan kepercayaan akan kekuatan manusia yang diwariskan dalam bisikan nenek moyang. Smong adalah kisah tentang nyawa yang selamat karena kearifan, tentang kesetiaan pada cerita, dan tentang pulau kecil yang pernah mengajarkan dunia bagaimana mendengarkan alam. [adv]