Seunicah, Penganan Khas Aceh yang Terlupakan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Indri
Seunicah oen kayee atau lebih dikenal dengan "rujak daun" hadir setiap bulan puasa di Nagan Raya. [Foto: dok. waspada]
DIALEKSIS.COM | Feature - Di tengah gemerlapnya peradaban modern, di mana berbagai jenis makanan cepat saji memenuhi meja makan kita, ada satu tradisi kuliner yang tak boleh hilang ditelan waktu. Seunicah, makanan khas Aceh, penganan Nagan Raya dengan segala kesederhanaannya, menyimpan kisah yang lebih dalam dari sekadar rasa.
Seunicah merupakan sebuah warisan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan, agar generasi mendatang tak hanya mengetahui namanya, tetapi juga merasakannya dalam setiap gigitan. Sebuah kuliner yang tak hanya menggugah selera, tetapi juga berfungsi sebagai penawar bagi tubuh yang lelah, serta simbol dari kearifan lokal, warisan leluhur endatu.
Dilansir dari berbagai sumber, Seunicah, atau dalam beberapa daerah dikenal sebagai niecah atau niencah, merupakan penganan yang terbuat dari campuran aneka buah-buahan, rempah-rempah, sayuran, dan dedaunan. Biasanya, seunicah hanya muncul dalam bulan Ramadhan, menjadi teman setia bagi umat Islam yang tengah berbuka puasa.
Keberadaannya di bulan suci ini bukan sekadar sebagai pelengkap hidangan, melainkan juga sebagai penyemangat, memberikan rasa kenyang yang ringan sebelum menikmati hidangan utama. Namun, ada lebih dari sekadar rasa yang tersembunyi di balik seunicah, ada pesan yang dalam tentang kesehatan, kebersamaan, dan tradisi yang harus dilestarikan.
Ada dua jenis seunicah yang cukup dikenal, yaitu seunicah oen kayee dan seunicah boh meuria. Keduanya, meski berbeda dalam bentuk dan penyajian, sama-sama memiliki kekuatan rasa yang tak bisa dianggap remeh.
Seunicah oen kayee atau lebih dikenal dengan "rujak daun" merupakan jenis seunicah yang disajikan dalam bentuk makanan. Ia terbuat dari beragam dedaunan segar yang biasanya tumbuh di kebun atau halaman rumah, seperti daun tapak liman, daun kunyit, daun kedondong, hingga daun jeruk purut dan daun jambu.
Semua bahan ini diracik dengan sempurna, dibumbui dengan rempah-rempah seperti serai dan cabai rawit, dan kemudian digulung serta dirajang. Prosesnya sederhana, namun hasilnya sangat lezat, terutama bila dicampurkan dengan kelapa gongseng yang menambah rasa gurihnya. Sebungkus seunicah oen kayee, yang biasanya dijual dengan harga sekitar Rp 5.000, bisa menjadi makanan ringan yang sangat mengenyangkan, apalagi jika dimakan bersama nasi.
Kehadirannya di pasar-pasar, terutama di daerah Nagan Raya dan pesisir barat Aceh, memberikan kenangan manis bagi banyak orang. Bagi mereka yang sudah berusia lanjut, seunicah oen kayee bukan hanya sekadar penganan, melainkan juga menjadi pengingat akan tradisi keluarga yang telah diwariskan turun-temurun.
Makanan khas bulan suci Ramadan ini juga diyakini dapat mengeluarkan angin dari dalam tubuh, dan berkhasiat menghilangkan bau mulut saat berpuasa seharian.
Ada kepercayaan kuno di masyarakat Aceh yang mengatakan bahwa seunicah yang dimakan terlebih dahulu saat berbuka puasa akan menjadi saksi di hari kiamat, apakah seseorang benar-benar menjalankan puasa dengan penuh keikhlasan atau tidak. Meskipun terdengar seperti legenda atau cerita guyonan, nilai moral yang terkandung dalam cerita ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga tradisi.
Namun, seiring berjalannya waktu, semakin sedikit orang yang mengenal seunicah oen kayee, apalagi mengkonsumsinya. Kuliner ini mulai tergeser oleh makanan modern yang lebih praktis, sementara generasi muda mulai melupakan cita rasa yang begitu khas ini. Inilah yang menjadi kekhawatiran utama bagi pelestarian kuliner ini. Jangan sampai seunicah, seperti halnya banyak kuliner tradisional lainnya, hanya menjadi kenangan belaka, yang tinggal tercatat dalam buku-buku sejarah kuliner Aceh.
Selain seunicah oen kayee, ada juga seunicah boh meuria, minuman segar yang biasanya disajikan saat berbuka puasa. Berbeda dengan oen kayee, seunicah boh meuria menggunakan bahan dasar buah rumbia, yang dipadukan dengan irisan pisang dan cabai rawit.
Proses pembuatannya sangat sederhana, hanya dengan mengulek bahan-bahan tersebut dalam cobek hingga tercampur rata, namun rasanya begitu unik dan menyegarkan. Sebagai penambah kesegaran, gula pasir dan es batu seringkali ditambahkan. Meskipun sederhana, minuman ini memiliki khasiat yang luar biasa, seperti menghilangkan angin dalam tubuh dan membantu melancarkan pencernaan.
Namun, seiring dengan berlalunya waktu, keberadaan buah rumbia semakin langka. Tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 memusnahkan banyak pohon rumbia yang tumbuh di pinggir sungai dan rawa-rawa, sehingga minuman khas ini pun semakin sulit ditemukan. Meski ada bahan lain seperti pisang dan cabai, cita rasa seunicah boh meuria terasa kurang lengkap tanpa kehadiran buah rumbia.
Minat masyarakat untuk membuat seunicah boh meuria pun berkurang, dan akhirnya, tradisi ini hampir terlupakan. Kini, di pasar-pasar atau di tepi jalan, kita lebih sering melihat pedagang menjajakan es teler, es buah, atau sop buah, sementara seunicah boh meuria nyaris tidak pernah muncul lagi.
Ini adalah sebuah ironi, karena seunicah, baik dalam bentuk makanan maupun minuman, bukan hanya tentang kenikmatan rasa, tetapi juga tentang kebersamaan dan kesehatan. Seperti halnya banyak kuliner tradisional lainnya, seunicah menyimpan khasiat herbal yang berguna bagi tubuh.
Rempah-rempah dalam seunicah oen kayee dipercaya dapat mengeluarkan racun dari tubuh, sementara seunicah boh meuria bisa menyegarkan tubuh setelah berpuasa seharian. Kehadirannya, meski sederhana, memberikan bukti bahwa kuliner tradisional memiliki kekuatan lebih dari sekadar rasa. Kuliner ini adalah hasil dari kedekatan manusia dengan alam, yang diolah dengan penuh kearifan lokal.
Pelestarian seunicah bukan hanya tugas para pedagang atau pengusaha kuliner. Sebagai masyarakat, kita harus mengambil bagian dalam menjaga tradisi ini. Salah satunya adalah dengan mengenalkan seunicah kepada generasi muda, mengajak mereka untuk mencicipi dan merasakan keunikan cita rasanya.
Jika kita tidak melibatkan generasi muda dalam menjaga kuliner ini, maka seunicah hanya akan menjadi kenangan belaka, hilang tanpa jejak. Seperti pepatah Aceh yang mengatakan, “Jika tidak dijaga, warisan akan punah seperti daun yang gugur tanpa sempat tumbuh kembali.”
Melestarikan seunicah bukan hanya berarti melestarikan rasa, tetapi juga melestarikan cerita, budaya, dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Setiap helai daun, setiap rempah yang terkandung di dalamnya, menyimpan kisah tentang bagaimana nenek moyang kita hidup berdampingan dengan alam, mengolah bahan-bahan alam menjadi makanan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyehatkan. Seunicah adalah simbol dari keberlanjutan, dari hubungan erat antara manusia dengan alam.
Sekarang adalah saatnya untuk kembali menghargai dan menjaga seunicah. Kita dapat memulai dengan menghidangkannya di meja makan keluarga, mengenalkannya kepada anak-anak kita, agar mereka tahu bahwa kuliner tradisional ini bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian dari identitas kita sebagai orang Aceh.
Jika kita berhasil menjaga seunicah, kita tidak hanya melestarikan kuliner, tetapi juga memperkokoh ikatan kita dengan tanah Aceh, dengan sejarah kita, dan dengan kearifan lokal yang telah mengalir dalam darah kita. Seunicah bukan sekadar penganan, ia adalah warisan yang harus dijaga. [adv]