DIALEKSIS.COM | Feature - Air, yang selama ini menjadi sumber kehidupan, berubah menjadi arus yang menguji keteguhan. Hujan yang turun tanpa jeda membuat sungai meluap, merendam rumah, jalan, dan kenangan warga Aceh.
Di tengah kecemasan dan lumpur yang menggenang, harapan tak sepenuhnya tenggelam. Ia datang bersama langkah-langkah cepat tim tanggap darurat PT Pembangunan Aceh (PT PEMA) yang turun langsung ke lapangan, membawa bantuan dan, lebih penting lagi, rasa peduli.
Direktur Utama PT PEMA, Mawardi Nur, menyampaikan bahwa hadir di tengah masyarakat bukan sekadar kewajiban perusahaan, tapi panggilan moral.
“PEMA tidak boleh berdiri jauh dari persoalan masyarakat. Ini bukan sekadar bentuk kepedulian, tetapi bagian dari komitmen kami bahwa perusahaan daerah harus memberikan manfaat nyata,” ujarnya.
Bantuan yang dibawa PEMA bukan sekadar paket logistik. Ada susu dan popok untuk bayi, perlengkapan kebersihan, air bersih, dan dukungan teknis bagi aparat di lapangan. Semua itu dikemas dengan niat agar warga yang terdampak merasakan bahwa mereka tidak sendiri.
Mawardi menegaskan, “Kami ingin memastikan masyarakat yang terdampak merasakan bahwa negara hadir, pemerintah hadir, dan PEMA juga ada di sana. Apa pun yang bisa kami bantu, akan kami lakukan. Kekuatan Aceh itu ada pada solidaritasnya.”
Koordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menjadi kunci agar bantuan tak sekadar tiba, tetapi tepat guna. Di tengah kondisi lapangan yang sulit, sinergi antar lembaga menjadi harapan yang saling menguatkan.
Pada 28 November 2025, bantuan secara resmi diserahkan di kantor BPBA, sebuah simbol nyata bahwa kolaborasi dan empati bisa bergerak lebih cepat daripada bencana itu sendiri.
BPBA mengapresiasi langkah sigap PT PEMA yang dinilai membantu memperkuat kesiapsiagaan logistik di lapangan serta mempercepat pemenuhan kebutuhan warga pada masa tanggap darurat.
Di tengah derasnya hujan dan genangan yang menutupi jalanan, kehadiran PEMA adalah pengingat bahwa pembangunan bukan sekadar angka dan proyek, tapi manusia dan solidaritas.
“Setiap bencana mengingatkan kita bahwa pembangunan tidak hanya soal proyek dan angka-angka ekonomi. Ini tentang manusia, tentang bagaimana kita saling menguatkan. Karena itu, kami terus memantau perkembangan di lapangan untuk memberikan bantuan yang paling dibutuhkan,” kata Mawardi.
Bagi masyarakat yang kehilangan rumah, pekerjaan, dan sebagian harapan mereka dalam banjir ini, langkah PEMA membawa lebih dari sekadar bantuan fisik. Ia membawa rasa aman, pesan moral, dan keyakinan bahwa mereka tidak menghadapi bencana ini sendirian.
Bagi PEMA, gerak cepat ini adalah wujud komitmen moral sebagai perusahaan milik daerah. Mawardi menegaskan bahwa perusahaan harus tumbuh bersama masyarakat, bukan berdiri jauh di menara kebijakan.
“PEMA tidak boleh hanya bicara soal bisnis. Ketika masyarakat terkena musibah, kami wajib turun langsung dan menjadi bagian dari solusi,” katanya.
Mawardi menutup pesannya dengan doa dan harapan: “PEMA akan terus berada di garda depan membantu masyarakat Aceh yang terdampak, bukan hanya saat forum ekonomi digelar, tetapi terutama ketika rakyat membutuhkan uluran tangan. Semoga Aceh segera pulih, dan solidaritas ini terus menjadi kekuatan kita bersama.”
Di antara derasnya air dan derasnya hujan, hadirnya PEMA membuktikan satu hal sederhana tapi penting: bencana bisa menenggelamkan rumah, tapi tidak bisa menenggelamkan hati yang peduli. [adv]
