DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Langit Banda Aceh membentang biru tanpa cela. Sinar mentari menerobos dari sela pepohonan menyapu halaman sebuah sekolah sederhana di sudut kota. Suara burung yang saling menyapa memberi harmoni bahagia bagi siapapun yang mendengarnya.
Hari itu, Rabu, 18 Juni 2025, halaman Sekolah Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Aceh Besar dipenuhi para guru dan orangtua siswa yang menemani anak-anak istimewanya berlomba pada Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS3N) tingkat Kabupaten/kota Wilayah I (Aceh Besar Banda Aceh Sabang).
Kegiatan ini merupakan sebuah kompetisi di bidang seni dan sastra yang bertujuan bertujuan untuk menggali bakat seni dan sastra siswa, serta menumbuhkan kecintaan terhadap budaya Indonesia.
Di depan ruangan yang menjadi arena, para peserta duduk menunggu panggilan. Sebagian dari mereka hilir mudik didampingi guru pendamping. Meskipun langkah mereka tidak secepat anak-anak normal pada umumnya, namun semangat di wajah mereka jauh lebih terang dari matahari pagi itu.
Di tengah keramaian itu, dua orang perempuan duduk sambil mengawasi perlombaan. Sesekali, salah seorangnya membetulkan jilbabnya yang diterpa angin. Dari pakaian yang dikenakan, dapat ditebak mereka adalah guru pendamping dari anak-anak yang sedang bertanding.
"Iya bang, kami guru di SLB Pembina Banda Aceh," ucap salah satu diantaranya ketika media ini mencoba menyapa mereka.
Namanya sederhana, seperti sosoknya. Rica. Tapi di balik nama itu, tertanam kekuatan besar yang hanya bisa lahir dari hati yang penuh cinta dan kesabaran, seorang guru honorer yang mendampingi dan membuka cakrawala bagi anak berkebutuhan khusus.
Rica adalah seorang guru kontrak yang telah mengabdi sejak tahun 2016. Namun sayang, ia kalah bersaing dalam ujian berbasis CAT (Computer Assisted Test) sehingga gagal menjadi pegawai PPPK.
Ironi memang. Padahal sudah 9 tahun lamanya Rica mendedikasikan tahun-tahun terbaik dalam hidupnya untuk mendampingi anak-anak Autis dapat tumbuh dan berkembang di dunia yang kadang tak begitu ramah bagi mereka.
"Ya mau bagaimana bang. Mudah-mudahan ada kebijakan pemerintah yang berpihak kepada saya," ucap Rica tersenyum manis.
Rica bukan sekadar guru, ia adalah pelita bagi murid-murid istimewanya. Anak-anak yang tak memilih untuk dilahirkan berbeda, namun terus berjuang mengenali huruf dan angka, memahami warna, atau sekadar mengekspresikan perasaan mereka yang rumit.
Rica tak pernah menyebut mereka anak berkebutuhan khusus. Ia lebih suka menyebut mereka sebagai “anak pelangi”. Baginya, di balik tiap keterbatasan, ada warna-warni kecerdasan, keunikan, dan ketulusan yang luar biasa.
“Saya ingin mereka dapat berkembang dan mandiri seperti anak-anak normal lainnya,” ujar Rica dengan mata yang menyiratkan keteguhan hati.
Menjadi guru bagi anak-anak Autis bukan perkara hitungan angka atau rumus. Itu adalah tentang bagaimana merangkul dunia yang mereka lihat secara berbeda. Mereka tidak hanya membutuhkan pendekatan yang berbeda, tetapi juga kesabaran yang tidak terukur. Ada hari-hari dimana satu huruf butuh waktu berbulan-bulan untuk mereka kenali.
Namun, disinilah kebahagiaan mereka. Sebuah perasaan yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata, dan mampu meneteskan bulir airmata bahagia manakala ada seorang muridnya yang berhasil menuliskan namanya sendiri untuk pertama kali. Capaian besar itu merupakan hasil dari ribuan kali mencoba, dan ribuan kali pula ia berkata, “Kamu pasti bisa.”
"Disitulah kebahagiaan kami bang. Setelah berbulan-bulan sebelumnya diajarkan untuk membuka mulut dan mengucapkan huruf 'A', lalu dalam suatu waktu ia bisa, senangnya ya Allah. Senang sekali bang. Gak jarang kami terharu," ujar Husna yang diamini Rica. Husna adalah rekan seprofesi Rica di SLB Pembina Banda Aceh.
Husna percaya, bahwa setiap anak berhak mendapatkan cinta yang tulus dan pendidikan yang bermartabat, tak peduli bagaimana kondisi mereka dilahirkan. Sebagai guru, Ia belajar untuk memahami bahasa tubuh mereka, membaca emosi dari tatapan mereka, dan menciptakan ruang aman agar mereka bisa tumbuh tanpa tekanan.
Apakah Rica dan Husna tidak lelah, atau merasa bosan dengan tantangan yang mereka hadapi?
Menjawab pertanyaan ini, mereka terdiam. Pikiran keduanya seolah larut dan tenggelam pada masa-masa dimana mereka harus menjalani kesabaran tanpa batas ketika menghadapi murid-muridnya.
“Bukan karena saya tidak lelah. Namun lelah yang saya alami tertutupi oleh besarnya rasa cinta saya terhadap mereka. Saya tahu mereka juga mencintai saya, meski tidak semua bisa mengatakannya dengan kata-kata," kata Husna dengan mata berkaca-kaca sambil tersenyum tulus.
Rica dan Husna bukan hanya guru. Mereka adalah cahaya bagi anak-anak yang sedang belajar berdiri di dunia yang kadang terlalu gelap, sekaligus rumah bagi hati-hati kecil yang butuh tempat aman untuk bertumbuh.
Tak semua orang bisa memahami beratnya tugas Rica dan Husna. Dunia sering memandang sebelah mata pada guru-guru SLB, seolah pekerjaan mereka tidak sepenting pengajar di sekolah-sekolah favorit. Padahal, justru di sinilah letak kemurnian dari profesi seorang pendidik, mengajar bukan untuk gelar, prestise, atau angka statistik, melainkan untuk mencintai dan menumbuhkan jiwa-jiwa kecil yang nyaris dilupakan.
Hari mulai siang. Anak-anak istimewa itu masih setia menunggu gilirannya untuk menampilkan bakat yang dimilikinya. Disisi mereka, hadir pula guru-guru hebat yang tak pernah mengenal kata lelah, yang terus mensupport, mendukung, dan terus berupaya agar 'anak-anak pelangi' memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat berdiri tegak sejajar dengan anak-anak normal lainnya.