Rapa'i Geurimpheng: Tabuhan Syair Islami yang Menggema di Serambi Mekah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Festival Rapai Geurimpheng di Banda Aceh Meriah. [Foto: dok Disbudpar Aceh]
DIALEKSIS.COM | Feature - Pada suatu malam yang dihiasi hujan gerimis di Taman Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, suasana mendadak syahdu. Suara tabuhan rapa'i yang berat dan bergema memecah keheningan malam, seakan menembus kabut tipis yang menggantung di atas kota. Cahaya lampu sorot memantulkan kilauan dari permukaan alat musik yang besar dan kokoh, seolah menghidupkan kembali jiwa-jiwa leluhur yang pernah menabuhnya.
Di atas panggung sederhana, belasan pria dengan balutan pakaian tradisional Aceh berdiri gagah. Mereka adalah awak rapa'i, pengawal sebuah tradisi yang nyaris punah. Wajah mereka menyiratkan ketekunan, mata mereka menyimpan semangat tak tergoyahkan.
Tabuhan rapa'i yang dimainkan dengan penuh energi mengiringi gerakan-gerakan yang mengalir seperti sungai; penuh harmoni, bertenaga, dan bermakna. Mereka menyebut ini Tari Rapa'i Geurimpheng, kesenian khas pesisir bagian timur Aceh yang mengandung nilai-nilai filosofis agama Islam dan dakwah, hingga nilai sufistik.
Legenda mengatakan, rapa'i pertama kali dibawa ke Aceh oleh seorang ulama besar dari Baghdad bernama Syekh Rifa'i. Dari namanya lahirlah istilah rapa'i, sebagai penghormatan kepada sosok yang berjasa memperkenalkan alat musik ini. Namun, lebih dari sekadar alat musik, rapa'i menjadi media dakwah yang menghidupkan Islam di setiap tabuhan dan lantunan syairnya.
"Geurimpheng" dalam bahasa Aceh bermakna "banyak macam." Nama ini merangkum kekayaan komposisi tari, pukulan rapa'i, gerakan tubuh, hingga syair-syair yang dibawakan. Ketika dimainkan, rapa'i diletakkan di kaki karena ukurannya yang besar dan bobotnya yang berat, seolah mengajarkan bahwa seni ini tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga pengabdian jiwa.
Harmoni Gerakan dan Syair
Geurimpheng ditarikan oleh 8-12 pemain yang disebut dengan awak rapa’I, tiga orang syeh (pemimpin pukulan rapa’i) yang terdiri dari apit wie, apiet teungoh dan apiet unenun, satu orang syahi (penyanyi) dan aneuk syahi (pendamping penyanyi).
Malam itu, panggung menjadi saksi perjalanan delapan babak tarian. Babak pertama diawali dengan "Saleuem Aneuk Syahi" dan "Saleuem Rakan," salam pembuka yang dilantunkan oleh penyanyi utama, atau syahi, ditemani oleh pendampingnya, aneuk syahi. Babak ini bagaikan pembuka pintu, mengundang hadirin untuk masuk ke dunia spiritual yang disampaikan melalui seni
Tabuhan rapa'i yang semakin intens mengiringi babak-babak berikutnya. Ada Seulaweut, lantunan shalawat yang membuat hati para penonton bergetar, diikuti oleh babak "Tingkah," sebuah eksplorasi gerakan dinamis dan heroik tanpa syair. Ketika kisah-kisah suci seperti riwayat Hasan dan Husein, hikayat dilantunkan atau menceritakan sesuai amanat acara, suasana berubah menjadi haru. Penonton tak hanya menyaksikan seni, tetapi juga merenungi kisah-kisah penuh hikmah yang teranyam dalam alunan syair.
babak keenam adalah syahi panyang, babak ketujuh adalah saman yang terdiri dari Gerakan lot lee lot lahellahe, cempala kuneng, tajak u blang dan dayong dan babak kedelapan yaitu lani dengan gerakan tob pade dan jak keuno rakan serta salam penutup.
Di babak terakhir, "Lani," tarian mencapai puncaknya. Gerakan "Tob Pade" dan "Jak Keuno Rakan" mengakhiri pertunjukan dengan salam penutup yang mengajak semua kembali pada harmoni kehidupan. Di setiap pukulan rapa'i dan gerakan tubuh para penari, ada semangat untuk menyampaikan nilai-nilai keislaman yang mendalam.
Rapa'i Geurimpheng bukan sekadar seni pertunjukan; ia adalah narasi kehidupan yang diilhami oleh sufisme. Dalam tradisi ini, seni adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tabuhan rapa'i yang ritmis melambangkan perjalanan spiritual, sedangkan syair-syairnya menjadi jembatan yang menghubungkan dunia fana dengan alam hakiki.
Usaha Melawan Kepunahan
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, Rapa'i Geurimpheng pernah berada di ambang kepunahan. Generasi muda yang terpesona oleh gemerlap budaya modern mulai melupakan akar budaya mereka. Padahal, seni ini bukan sekadar warisan leluhur; ia adalah identitas Aceh yang sesungguhnya.
Pada 2017, usaha revitalisasi dilakukan. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memunculkan kembali antusiasme dan apresiasi masyarakat serta perhatian dari pemerintah daerah pada tari ini. Dan kini, Rapa’i Geurimpheng juga telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun yang sama, tahun 2017.
Latihan tari Rapa'i Geurimpheng. [Foto: dok. Kemendikbud]Festival Rapa'i Geurimpheng: Merayakan Keindahan Tradisi
Festival yang berlangsung dari 16 hingga 18 September 2024 di Banda Aceh menjadi bukti nyata bagaimana tradisi ini menemukan tempat di hati masyarakat. Puluhan sanggar, seperti Sanggar Seulaweut, Tangke Band, dan Sanggar Bayen Teureubang, menunjukkan kebolehannya. Suara tabuhan rapa'i berpadu dengan lantunan syair penuh makna, menciptakan suasana yang magis.
Di sela-sela pertunjukan, para pengunjung juga menikmati sajian kuliner khas Aceh yang disediakan oleh UMKM setempat. Festival ini tidak hanya menjadi perayaan seni, tetapi juga wujud nyata kolaborasi antara tradisi dan ekonomi kreatif. festival ini pun menjadi cara Disbudpar Aceh merawat tradisi dan budaya. Para tamu Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang berlangsung di Aceh-Sumut turut hadir, menyaksikan kekayaan budaya Aceh yang tiada duanya.
Ketika festival usai dan panggung kembali sunyi, gema tabuhan rapa'i seolah masih terdengar, merasuk ke dalam jiwa. Rapa'i Geurimpheng bukan sekadar pertunjukan seni; ia adalah perjalanan jiwa, warisan nilai, dan identitas yang melekat erat pada masyarakat Aceh. Dalam setiap pukulannya, ada pesan yang tak pernah usang: tentang cinta kepada Sang Khalik, tentang pengabdian kepada kemanusiaan, dan tentang semangat menjaga tradisi.
Malam itu, di bawah langit Aceh yang basah oleh hujan, Rapa'i Geurimpheng mengajarkan bahwa seni adalah bahasa universal yang mampu menyatukan hati. Ia bukan hanya milik Aceh; ia adalah bagian dari kekayaan bangsa, yang selayaknya dirayakan, dijaga, dan diwariskan kepada generasi mendatang. Seperti hujan yang meresap ke bumi, tradisi ini akan terus menyuburkan jiwa-jiwa yang mencintainya, melampaui zaman dan batas kehidupan. [adv]