DIALEKSIS.COM | Feature - Di balik bukit-bukit terjal yang diselimuti hutan tropis, tersembunyi sebuah pantai yang seakan menolak untuk dijamah modernitas: Pantai Lange. Untuk mencapainya, kami harus melewati jalur berlumpur, jalan berbatu cadas, dan tanjakan curam yang menguji nyali. Namun, seperti kata pepatah lama, "surga tak pernah mudah dijangkau".
Sore itu, pukul 16.20 WIB, tiga anggota tim ekspedisi Popon, Riski, dan Adit duduk di Kafe Ajun, menyeruput kopi sanger sembari menatap langit yang mulai mendung. Satu anggota tim, Pak Riki, belum juga muncul.
"Kalau hujan turun, jalur ke Pantai Lange bisa jadi lebih berbahaya," bisik Riski, matanya sesekali menoleh ke jalan.
Tepat usai sholat Ashar, Pak Riki tiba. Tanpa buang waktu, keempatnya melesat menggunakan motor menuju Gampong Lamlhom, Kecamatan Lhoknga jaraknya hanya 15 - 20 km dari Banda Aceh, tapi medannya seperti jarak 100 km.
Pukul 17.18 WIB, petualangan dimulai. Awalnya, jalan aspal lebar membius kami dengan kenyamanan. Namun, 20 menit kemudian, pemandangan berubah drastis: jalan menyempit, berlubang, dan dipenuhi batu cadas. Motor manual yang kami kendarai terpaksa "menari" di antara lumpur sisa hujan dan akar-akar pohon raksasa yang menjulang seperti ular.
"Ini baru awal!" teriak Adit saat motornya nyaris terjungkal di tanjakan terjal. Di kanan-kiri jalan, jurang dan bukit hijau mengintai. Beberapa kali, kami turun mendorong motor yang terperosok lumpur. "Darah kami seperti dididihkan adrenalin. Tapi justru di situlah serunya," kata Popon, tertawa getir.
Perjalanan 40 menit itu terasa seperti 2 jam. Hingga akhirnya, di ujung jalan, suara deburan ombak Samudera Hindia menyambut.
Begitu kaki menginjak pasir putih Lange, semua lelah terbayar. Pantai sepanjang 300 meter ini dikelilingi bukit hijau yang menjulang, seolah menjadi benteng alami. Air laut biru kehijauan memecah di karang-karang hitam, sementara angin laut bertiup lembut membawa aroma asin.
"Ini seperti potongan surga yang terlupakan," gumam Pak Riki. Pantai Lange memang tak ramai hanya ada dua nelayan yang sedang memeriksa jaring.
Menurut Ir. Fadli Maulana, ST. MT., M.Sc., IPM, hidden gem ini sengaja dibiarkan low-profile untuk menjaga ekosistem. "Akses yang sulit adalah filter alami. Ini mencegah kerusakan akibat masifnya kunjungan," jelasnya saat dihubungi Dialeksis.
Di sini, waktu seakan melambat. Kami hanya duduk, menikmati sunset jingga yang memantul di permukaan laut. Di pinggiran pantai, reruntuhan bunker Jepang peninggalan Perang Dunia II masih berdiri kokoh saksi bisu sejarah kelam yang kini disulap alam menjadi spot fotografi estetik.
Meski memesona, Lange menyimpan paradoks: apakah ia harus tetap tersembunyi atau dibuka untuk wisatawan? Ir. Fadli Maulana menegaskan, keseimbangan adalah kunci.
"Pemerintah berencana membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) untuk melatih warga sebagai pemandu sekaligus penjaga alam," paparnya.
Namun, ia mengingatkan: "Jangan sampai infrastruktur dibangun masif. Biarkan Lange tetap menjadi destinasi back to nature."
Pulang dari Lange, kami menyadari: justru medan berbahaya itulah yang membuat pantai ini tetap suci. Di Aceh, di mana banyak pantai mulai tercemar sampah dan hiruk - pikuk, Lange adalah oase yang bertahan dengan caranya sendiri.
"Kami tak ingin Lange menjadi seperti Lampuuk. Biarkan ia tetap menjadi rahasia bagi mereka yang benar-benar ingin merasakan alam. Di tengah gempuran wisata masal, mungkin kita perlu lebih banyak "Lange": tempat di mana perjalanan berliku mengajarkan arti menghargai setiap jengkal keindahan yang tersisa," pungkas Ir. Fadli. [arn]