Nasib Ceh Didong Diantara Kepulan Asap Dapur
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Murid sekolah gemar berdidong, apalagi ketika ada pertunjukan seni. (foto/dok Rizky Martin/Nova)
DIALEKSIS.COM| Feature- Negeri dalam balutan awan ini dikenal berhawa sejuk. Adakalanya mencapai 14 derajat celcius. Apalagi malam hari, gigi akan beradu, selimut adalah pilihan untuk pembalut tubuh.
Negeri ini bukan hanya dikenal dengan kopi terbaik dunia, namun negeri tempat para seniman. Para seniman di sana harus mampu melawan dinginya alam. Mereka harus tetap tampil di malam hari hingga menjelang subuh. Semalam suntuk.
Urat-urat leher akan terlihat, ketika mereka mengalunkan tembang. Semakin larut malam, memasuki dini hari, para seniman yang disebut ceh ini harus semakin maksimal mengalunkan lagu lagu pilihan. Bila tidak penonton akan kecewa dan meninggalkan arena.
Sebuah pertunjukan seni khas pegunungan Aceh. Suara tabuhan bantal yang seragam diiringi tepukan tangan khas Gayo dalam berdidong. Semakin larut malam semakin bersemangat para ceh didong mempersembahkan yang terbaik.
Menjelang subuh pertunjukan didong bubar. Paginya para ceh ini akan lemas. Pulang ke rumah, pilihanya tidur memulihkan fisik yang sudah semalam suntuk berdendang seni.
Itu juga bagi mereka yang kebutuhan dapurnya tersedia, bila ada kebutuhan mendesak, dalam kondisi fisik yang lemas, mata minta dipejamkan, namun mereka harus tetap bekerja.
“Inilah jalan hidup kami. Mempersembahkan yang terbaik untuk negeri ini, namun disisi lain kami harus “mengorbankan” keluarga. Perang batin ini,” sebut Saladin, salah seorang ceh didong yang dikenal dalam klub Burak Terbang.
Saladin kepada Dialeksis.com yang kebetulan bertemu dalam sebuah pesta perkawinan di Wihni Bakong, Silih Nara, Aceh Tengah, bagaikan mengulang sejarah yang sudah dilakoninya puluhan tahun.
Pengalaman Saladin, ceh Burak Terbang ini hampir seluruh ceh didong Gayo merasakanya. Mereka “terjepit” antara panggilan jiwa sebagai seniman dan tuntutan hidup untuk keluarga.
Dalam Dialog itu Dialeksis.com menyentil jasa para seniman yang sudah banyak melahirkan karya untuk negeri ini. Ketika akan membangun jembatan, ceh didong diandalkan ke depan. Ketika membangun masjid, menasah, rumah sekolah, beragam pembangunan lainya ada peluh keringat para seniman.
Pada masa Orde Baru (Orba), ketika akan dilaksanakan pembangun, membuat jembatan misalnya, para ceh didong menjadi ujung tombak dalam mendapatkan dana. Klub didong ternama di Gayo diundang, ketangkasan mereka diadu dalam mengalunkan tembang didong khas Gayo.
Pertunjukan semalam suntuk. Mulai malam hingga menjelang azan subuh. Selama semalam para ceh didong ini mengalunkan lagu lagu khas klub didong mereka, silih berganti. Panitia mendapatkan rupiah dari tiket pertunjukan.
Nilai rupiah inilah yang dipergunakan untuk pembangunan, baik masjid, meunasah, rumah sekolah, jalan dan jembatan serta sejumlah pembangunan lainya.
Bagaimana dengan klub didong dan para ceh yang ada dalam klub ini? Mereka hanya mendapat sedikit rupiah cukup untuk pudding pagi. Namun tidak cukup untuk dibawa kekeluarga demi memenuhi kebutuhan hidup, itu yang menjadi pertarungan batin para ceh.
Tubuh mereka lemas, mengantuk, karena semalam suntuk sudah mengeluarkan stamina dalam pertunjukan didong, diantara dinginya alam. Namun mereka harus tetap bekerja, demi mengepulnya asap dapur. Hidup mereka sederhana.
Ada satu semangat, menjadi kebanggaan bagi para ceh didong, mereka tidak pernah melawan nuraninya yang mengalir darah seniman. Setiap ada permintaan pertunjukan didong jalu, menyumbang ke negara dan daerah, saat itu pula mereka tampil.
“Kalau kami tampil berdidong kami harus maksimal. Harus menghilangkan persoalan keluarga. Saat sedang mendendangkan lagu kami harus menjiwainya, agar klub kami tidak kalah dengan lawan tanding,” sebut Saladin Burak.
Penonton akan bersorak, bertepuk riuh ketika klub klub didong melantunkan lagu pavorit, lagu terbaik. Tepukan penonton dan sorakan masa yang menyaksikan pertunjukan membuat para ceh “terkesima”.
Mereka melupakan fisiknya yang lelah, melupakan persoalan yang sedang dihadapinya. Mereka fokus pada pertunjukan dan meniatkanya untuk amal.
Namun seiring dengan dinamika, dimana hiburan saat ini mudah didapat dan bermunculan di dunia maya. Hiburan dapat diakses dari HP, pertunjukan didong jalu intensitasnya sudah mulai berkurang.
“Ketika tuntutan kebutuhan hidup, otomatis kami juga harus memikirkan keluarga. Sedih rasanya bila kebutuhan keluarga tidak terpenuhi, makanya kami juga harus focus kepada kerja,” sebut Muhklis, salah satu ceh Didong Arbika, Kala Segi Bintang, saat Dialeksis bertemu denganya.
Namun walau perang batin dalam memenuhi kebutuhan hidup, para seniman yang tergabung dalam klub didong ini tidak pernah menyerah dengan keadaan. Apalagi saat mereka diundang untuk tampil mendendangkan seni. Namun bila berharap dari berdidong “kepulan asap” dapur akan terhenti.
Para seniman di Gayo sudah banyak jasanya untuk negeri ini, tidak terhitung. Namun mereka tidak pernah meminta balas jasa atas karya karya mereka. Karena darah seni sudah menyatu dengan darah dan jiwa mereka.
Saladin Burak mengakui pada masa kempimpinan Nasaruddin, mereka para seniman diperhatikan. Para seniman mendapatkan bantuan perumahan di Blang Bebangka. Mereka juga mendapatkan sedikit biaya “operasional”.
Para seniman saat itu, sebut Saladin dibawah koordinator Al-Hudri, kini Kadis Pendidikan Aceh (Pj Bupati Gayo Lues). Perhatian dan kasih sayangnya kepada seniman akan dikenang. Ada perhatian untuk seniman yang sudah puluhan tahun ini bergelut dengan kanvas didong.
Sebagai seniman apa yang dirasakan Saladin, juga sudah pasti dirasakan oleh para ceh didong lainya. Ada pertarungan batin mereka, antara tuntutan kebutuhan keluarga dan panggilan seni yang melekat di dada.
Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah, serta Gayo Lues.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya.
Akankah para ceh didong di negeri kopi kualitas terbaik dunia ini juga akan tergerus tuntutan zaman. Disaat manusia “berpacu” memenuhi kebutuhan hidup, dilain sisi mereka harus tampil sebagai ceh yang mempertahankan budaya lelehur nenek moyang.
Nasib seniman, para ceh tidak seindah hasil hasil karyanya. Buah seninya sudah melanglang buana dan dinikmati oleh manusia seantaro jagad, sementara keadaan para ceh tetap tidak berubah, mereka tetap harus bergelut dengan kebutuhan hidup.
Di Gayo bertabur klub didong, sejak dari nenek moyang, sudah ada. Muncul juga beberapa generasi penerus didong dan klub barunya, tidak ketinggalan anak-anak yang berlatih didong, apalagi ketika didong diperlombagakan.
Didong tetap menjadi bahagian dari Gayo, tidak terpisahkan. Nasib para senimanya juga tidak berubah, mereka harus berjuang untuk “bertahan” hidup. Para ceh merasakan, berharap dari berdidong kepulan asap dapur akan terhenti** (Bahtiar Gayo)