Menatap Masjid Peninggalan Saudagar Aceh di Penang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Masjid Melayu (jamek) Acheh Pulau Pinang atau lebih dikenal dengan masjid Aceh. [Foto: net]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ada sebuah tulisan yang terbilang lama,namun sampai sekarang tulisan itu masih sangat menarik untuk dipahami. Karena menyangkut sejarah dan perjuangan nenek moyang masyarakat Aceh, mendirikan masjid kuno, namun megah.
Apalagi tulisan ini dikemas dengan apik oleh sastrawan dan peminat budaya Aceh, T.A. Sakti, ahli hikayat Aceh. Tulisan yang nama lengkapnya Drs. Teuku Abdullah Sulaiman, S.H. alias T.A, dimuat di harian Serambi Indoesia pada 19 Agustus 2009.
Budayawan Aceh ini mengawali tulisanya, Pulau Penang, Malaysia, memiliki banyak bangunan bersejarah. Benteng tua hingga tempat ibadah kuno berumur ratusan tahun masih berdiri kokoh. Siapa sangka nenek moyang masyarakat Aceh juga pernah singgah bahkan membangun masjid di pulau tersebut.
Menurut lelaki kelahiran Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie (Aceh), tahun 1954 ini, masjid megah itu bernama Masjid Melayu (jamek) Acheh Pulau Pinang atau lebih dikenal dengan masjid Aceh.
Satu satunya jejak para saudagar asal Indonesia yang berada di kota sejuk tersebut. Lokasi masjid berada di kawasan perdagangan padat di kota Penang. Menaranya yang mirip dengan pagoda sebuah kuil Cina membuat para pelancong tidak sulit untuk menemukannya.
“Tidak jauh berbeda dengan masjid di Indonesia. Berbagai tanda larangan juga ditempel di seluruh area masjid. Mulai dari larangan menggunakan ponsel, larangan tidur, dan imbauan untuk menjaga keaslian arsitektur masjid,” tulis lelaki yang banyak fakultas digelutinya ketika kuliah.
Kawasan ini awalnya dipenuhi oleh para pedagang asal Aceh, tapi sekarang sudah mulai bercampur dengan etnis Melayu, “kata Raffi, salah seorang warga di lokasi tersebut, demikian T.A. sakti mengutip sumbernya.
Masjid dengan nuansa kuning tersebut dibangun pada tahun 1808 Masehi. Sejarah masjid bermula pada tahun 1792. Saat Tengku Syed Hussain al-Aidid, seorang kerabat kerajaan Aceh datang dari Indonesia dan membuka sebuah kawasan perkampungan Islam di Pulau Pinang.
Teungku Syed Hussain al-Aidid adalah seorang pedagang Aceh yang kaya ketika pulau Pinang baru dibuka oleh Kapten Sir Francis Ligh pada akhir abad ke 18. Kekayaan yang dimiliki Tengku Syed Hussain al-Aidid kemudian membangun sebuah masjid di Lebuh Acheh. Ia juga membangun rumah. Took dan Madrasah Al-Quran.
“Hasil usahanya ini secara tidak langsung telah mewujudkan sebuah pusat pengajian agama Islam dan pusat perdagangan antarbangsa yang terkenal di pulau Pinang. Para pedagang-pedagang baru dari Melayu, Tanah Arab dan India pun berdatangan,” tulisnya.
Setelah wafatnya Tengku Syed Hussain al-Aidid pada pertengahan abad ke 19, wilayah di sekitar masjid Aceh terus berkembang. Para penduduk tidak hanya menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan, namun juga menjaga keaslian bangunan agar mampu menarik wisatawan.
Alhasil, turis pun berbondong-bondong datang untuk melihat masjid dan makam Teungku Syed Hussain al-Aidid yang berada di sebelahnya.
Sekedar catatan, sejarawan ini menghabiskan masa kecilnya di Pidie, mulai dari SD Lameue, SMI Kota Bakti, SMP Negeri Beureunuen, dan SMA Negeri Sigli.
Soal kuliah juga banyak jurusan yang dilaluinya. Ia pernah kuliah sampai tingkat sarjana muda I di Fakultas Pertanian Unsyiah (1976) sebelum pindah ke Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (FHPM) Unsyiah, Banda Aceh (1977).
Setelah menyelesaikan kuliah tingkat sarjana muda hukum, ia melanjutkan ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, atas bantuan beasiswa lembaga kerja sama Indonsia-Belanda/LIPI-Jakarta.
Dia sudah menyelesaikan KKN di Desa Guli, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Namun T.A Sakti tertimpa musibah, ditabrak mobil, mengalami kesulitan berjalan.
Tahun 1999, ia meneruskan kuliah di Program Ekstensi, Fakultas Hukum, Unsyiah. Selama lima semester ia nonaktif karena sakit dan adanya tsunami. Akhirnya, kuliahnya itu selesai pada 12 Desember 2007.
Tulisannya tentang budaya, khususnya hikayat Aceh sangat diperhitungkan nilai sastranya. Dia juga sering membuat tulisan yang diterbitkan di berbagai media. (Baga)