Beranda / Feature / Peunayong: Napas Perdagangan dan Warisan Budaya Tionghoa di Banda Aceh

Peunayong: Napas Perdagangan dan Warisan Budaya Tionghoa di Banda Aceh

Jum`at, 13 Desember 2024 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Lokasi perdagangan di Pasar Peunayong pada tahun 2021. [Foto: Prokopim BNA]


DIALEKSIS.COM | Feature - Lalu-lalang kendaraan dan suara klakson yang bersahut-sahutan adalah pemandangan sehari-hari di Peunayong, kawasan pusat perdagangan yang terletak di Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. 

Kamis siang (12/12/2024), sinar matahari menyala terik, menambah riuh suasana di jalan Kartini, Gampong Peunayong. Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di sana tak pernah berhenti, menjadikan tempat ini salah satu nadi kehidupan kota.

Orang-orang bergerak tanpa henti, memenuhi trotoar, gang-gang sempit, hingga gedung-gedung pasar yang tak pernah sepi. Peunayong adalah salah satu pusat perdagangan terbesar di Banda Aceh, dengan denyut kehidupan yang berlangsung sejak pagi hingga dini hari.

Jejak Sejarah Peunayong

Peunayong berasal dari kata Peumayong, yang berarti tempat berteduh. Pada masa lalu, kawasan ini dipenuhi pohon-pohon besar yang memberikan perlindungan bagi para pelintas. Seiring waktu, sebutan Peumayong berubah menjadi Peunayong karena kebiasaan masyarakat yang lebih mudah mengucapkannya demikian.

Kini, Gampong Peunayong yang dulu membentang hingga Gampong Lampulo telah dimekarkan menjadi lima gampong administratif: Gampong Mulia, Gampong Lampulo, Gampong Lamdingin, Gampong Laksana, dan Gampong Keuramat. Meski begitu, nama Peunayong tetap melekat sebagai pusat dari semua aktivitas tersebut.

Sejarah panjang Peunayong juga mencatat peranannya sebagai daerah internasional. Pada masa Sultan Iskandar Muda, kawasan ini dijadikan wilayah spesial untuk menyambut tamu kerajaan, termasuk pedagang dan pelaut dari Eropa dan Tiongkok. Kedekatan Aceh dan Tiongkok semakin erat sejak kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1415. Hingga kini, jejak hubungan itu masih bisa dilihat melalui Lonceng Cakradonya yang tersimpan di Museum Aceh.

Kampung Cina di Banda Aceh

Peunayong menjadi pusat perdagangan yang vital sejak abad ke-17, terutama dengan kehadiran komunitas Tionghoa. Belanda kemudian merancang kawasan ini sebagai Chinezen Kamp atau Pecinan, yang dihuni oleh warga Tionghoa dari berbagai sub-etnis seperti Khe, Tio Chiu, Kong Hu, dan Hokkian.

"Peunayong tidak hanya sekadar tempat berdagang, tapi juga simbol keberagaman dan sejarah panjang peran Tionghoa di Aceh," ujar Kho Khie Siong kepada Dialeksis.com. Kamis (12/12/2024), yang akrab disapa Aky, Ketua Yayasan Hakka Aceh saat ini. 

Ketua Yayasan Hakka Aceh, Aky. [Foto: net]

Ia menjelaskan bahwa masyarakat Tionghoa di Peunayong telah menjadi bagian integral dari perkembangan Banda Aceh, terutama dalam bidang ekonomi.

Pada masa kejayaan perdagangan, kapal-kapal Tiongkok membawa beras ke Aceh dan menurunkannya di pelabuhan yang kini dikenal sebagai Peunayong. Para pedagang tinggal di perkampungan Cina, yang menjadi cikal bakal kawasan perdagangan modern di Banda Aceh.

Bangkit dari Tsunami

Tsunami pada 26 Desember 2004 meninggalkan luka mendalam bagi Peunayong. Kawasan ini lumpuh total, dipenuhi puing-puing bangunan, dan kehilangan banyak penghuninya. Namun, perlahan tetapi pasti, Peunayong bangkit kembali.

"Tsunami adalah bab kelam yang mengubah wajah Peunayong. Tetapi semangat masyarakat, terutama pedagang, membangun kembali kawasan ini adalah bukti daya tahan mereka," kata Aky. 

Kini, Peunayong kembali hidup dengan taman-taman hijau di sepanjang median jalan dan geliat perdagangan yang terus meningkat.

Sebagai salah satu pusat perdagangan utama di Banda Aceh, Peunayong tidak hanya menyimpan cerita sejarah, tetapi juga menjadi simbol keberlanjutan dan kebersamaan lintas budaya. Di sinilah Peunayong bernafas, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Banda Aceh. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI