kip lhok
Beranda / Feature / Kopi Produktif Ditebangi Demi Mendapatkan BLT

Kopi Produktif Ditebangi Demi Mendapatkan BLT

Jum`at, 22 Mei 2020 21:59 WIB

Font: Ukuran: - +


Craaaas, crasssss, crassssss, ranting dan cabang kopi yang masih produktif satu persatu terputus. Berjatuhan ke bumi. Cabang – cabang  produktif berpisah dari batangnya. Diantara ranting masih terlihat buah kopi.

Ada yang sudah besar, menunggu proses untuk dipanen, ada juga buahnya baru sebiji ketumbar. Di sela daun juga bermunculan bakalan bunga kopi, bagai patil ikan lele, menunggu waktu untuk berbuga dan mekar dan bakalan menjadi buah.

Satu persatu ranting produktif dari tanaman kapein ini terpisah, setelah kilauan parang menyambarnya. Beberapa warga Pondok Ulung, Bener Meriah membabat tanaman kopi yang masih produktif.

Sebagian ibu- ibu mengayun cangkul. Area kopi yang sudah ditebang itu, tanahnya dibersihkan dan dibuat galung untuk ditanami umbi-umbian (singkong dan ubi rambat).

Mengapa kopi produktif ditebang? “ Sesuai dengan keputusan Bupati Bener Meriah, masyarakat harus melakukan penanaman jenis tanaman untuk tahan pangan, mengantipasi wabah Covid-19,” sebut Ida Inen Cici, salah seorang warga Pondok Ulung.

“Area kebun kopi ini adalah tanah milik desa. Selama ini kami juga tidak mengetahui hasilnya bagaimana. Agar kami mendapatkan BLT akibat corona senilai Rp 500 ribu per KK, maka kami tanami dengan umbi-umbian,” sebut Ida, menjawab Dialeksis.com, Jumat (22/05/2020) via selular.

Area kebun kopi produktif yang sudah ditebangi warga mencapai 4 rante (satu rante 25 kali 25 meter). Luas lahan kebun kopi milik desa ini mencapai 14 rante. Namun aksi sebagian warga Pondok Ulung ini masih menyisakan masalah.

Perangkat kampung di sana mundur dari jabatanya. Sementara Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dijanjikan akan dicairkan (dalam bentuk bibit dan pupuk) tidak ada da kejelasan. Bahkan sampai dua hari menjelang lebaran, Jumat (22/05/2020) dana BLT yang diharapkan warga tak kunjung cair.

Warga di sana pada awal mulanya melakukan protes, mereka tidak mau menerima BLT dalam bentuk bibit dan pupuk, mereka inginkan dalam bentuk uang chash. Dimana satu KK akan mendapatkan uang senilai Rp 500 perbulanya.

Aparatur kampung di sana bertahan dengan surat edaran bupati, bahwa BLT itu tidak dalam bentuk uang tunai, namun dalam bentuk bibit dan pupuk. Uang itu bisa dicairkan, bila masyarakat sudah menanami tanaman ketahanan pangan (sebagai ganti bibit dan pupuk).

Untuk mewujudkan lahan yang cocok buat tanaman ketahanan pangan, warga kesulitan mendapatkan lahan. Area perkampungan mereka telah menjadi kawasan perkebunan kopi, tidak mungkin ditanami tanaman ketahanan pangan.

Sementara mereka butuh bantuan, akibat wabah corona. Dimana harga jual pertanian rendah, termasuk tanaman primadona kopi. Ahirnya warga di sana tanpa bermusyawarah dengan aparatur kampung, melakukan penebangan pohon kopi milik desa dan area itu dijadikan lahan untuk menanami singkong dan ubi jalar.

 â€śSebenarnya kami malu juga dengan keadaan ini. Namun masyarakat harus melakukanya, karena saat ini semuanya serba susah. Negeri dilanda wabah, semua masyarakat merasakan dampaknya,” sebut Idawati Inen Cici.

Sempat terjadi gesekan antara warga dan aparatur kampung di sana. Pada Jumat 15/02/2020, Camat Bandar, Drs. Muktar, sempat melakukan mediasi dengan aparatur di sana beserta warga, agar ada titik temu.

Namun dialog dalam pertemuan itu tidak membuahkan hasil. Warga tetap menjadikan lahan desa ini untuk mendapatkan BLT. Caranya dengan menenami singkor dan ubi jalar secara bersama-sama. Lahan desa ini menurut warga, selama ini pihak tidak mengetahui bagaimana hasil kebun kopi yang dikelola aparatur.

Warga dengan versinya, ahirnya kepala kampung (reje) Hasan Abri mengundurkan diri dari jabatannya yang diikuti beberapa perangkat lainya. Semakin tidak jelas bagaimana kelanjutan penyaluran BLT ini.


“Bantuan berupa uang sebenarnya akan diberikan bila masyarakat sudah menanami lahan sekitar 1 rante untuk 1 KK dengan tanaman ketahahan pangan. Biaya itu sebagai ganti bibit dan pupuk,” sebut Hasan Abri, kepala kampung yang sudah mengundurkan diri.

“Namun masyarakat maunya uang tunai, hal itu tidak bisa saya lakukan karena peraturan bupati menyebutkan dalam bentuk bibit. Bagaimana kelanjutan BLT, silakan ditanya ke sekretaris. Saya sudah mundur dari reje, karena pertemuan dengan pihak kecamatan tidak ada titik temu,” sebut Hasan Abri menjawab media.

Hingga tulisan ini diturunkan, persoalan BLT akibat covid-19, untuk desa Pondok Ulung ini belum ada kejalasan. Siapa yang akan mempertanggungjawabkan anggaran desa ini bila dicairkan, sementara reje sudah mengundurkan diri.

Soal ketahanan pangan di Bener Meriah, tidak semua masyarakat mampu melakukanya. Persoalanya masalah lahan. Rata-rata perkebunan masyarakat ditanami kopi, agak sulit mendapatkan lahan yang tepat untuk ditanami umbi-umbian di setiap kampungnya.

Selain itu, bila lokadi penanamanya agak sedikit jarak dari perkampungan, disela-sela perkebunan kopi, hama babi masih menjadi kendala. Otomatis hasil yang didapatkan dari tanaman ketahanan pangan ini tidak maksimal.

Bila masyarakat harus menanami satu rante untuk 1 KK, sangat susah mencari areanya. Makanya masyarakat lebih menginginkan agar BLT itu diberikan dalam bentuk tunai, berupa uang chash.

Belum ada kepastian sampai kapan persoalan BLT Pondok Ulung ini mampu diselesaikan. Aparatur yang menanggungjawabi anggaran BLT ini sudah mengundurkan diri.

Mengharap dana BLT yang tak kunjung pasti. 4 rante tanaman kopi produktif milik desa sudah dibersihkan warga. BLT belum cair, tanaman kopi sudah dikorbankan. Sampai kapan persoalan BLT di Pondok Ulung, Bandar, Bener Meriah ini “tergantung” tanpa kepastian? ( Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda