Sabtu, 07 Juni 2025
Beranda / Feature / Kisah Empat Pulau yang Menyulut Bara

Kisah Empat Pulau yang Menyulut Bara

Rabu, 04 Juni 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baim

DIALEKSIS.COM | Feature - "Kiban cara nyoe, rincong wie neun, asoe dompet ek gadoh" - begitulah gerutu Sulaiman, seorang warga Banda Aceh, sambil menyeruput secangkir kopi di warung sederhana pinggiran kota, Senin pagi, 2 Juni 2025. 

Kalimat yang ia lontarkan mengandung satire getir: “Gimana ini, rencong di kiri kanan, tapi isi dompet bisa hilang juga.” Sebuah perumpamaan tentang kekuatan yang tak berarti ketika hak yang paling mendasar dirampas begitu saja.

Ekspresi kesal terlukis jelas di wajahnya setelah membaca artikel tentang Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2 - 2138 Tahun 2025. Keputusan yang ditetapkan pada 25 April itu menyebutkan bahwa empat pulau--Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek--yang sebelumnya berada dalam wilayah administratif Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil, kini masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Bagi sebagian orang di luar Aceh, ini mungkin sekadar koreksi administratif. Tapi di tanah rencong, keputusan ini menyulut bara. Bukan hanya soal wilayah, tetapi juga soal identitas, sejarah, dan harga diri.

Tak ayal, keputusan pemerintah itu pun menuai kecaman dari masyarakat Aceh. Kebijakan sepihak dari Jakarta ini membuat masyarakat Aceh bereaksi dan berpotensi melahirkan konflik baru. 

Mereka menilai peralihan kepemilikan keempat pulau itu adalah keputusan yang sewenang-wenang dan melukai perasaan rakyat Aceh, sekaligus penghinaan terhadap Marwah dan martabat Aceh.

"Empat pulau yang selama ini kami anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah Aceh diambil begitu saja hanya dengan satu Permendagri. Padahal UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menjadi payung hukum keistimewaan Aceh sudah sangat jelas mengatur batas wilayah dan kedaulatan kami,” tegas Sekretaris Jenderal Persatuan Barat Selatan Aceh (PBSA), A. Malik Musa, seperti yang dinukil dari portal Dialeksis, Rabu (28/5/2025). 

Menurutnya, Kepmendagri ini tak hanya sewenang-wenang, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menjadi fondasi legal atas status keistimewaan provinsi ini.

Pernyataan Malik adalah gema dari kegelisahan yang lebih besar. Di Taman Ratu Safiatuddin, Minggu dini hari, 1 Juni 2025, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Nusantara Aceh menggelar aksi bertajuk panggung rakyat. Mereka mendesak pemerintah pusat untuk mencabut Kepmendagri yang dianggap mengikis kedaulatan wilayah Aceh secara sepihak.

“Kami berkomitmen untuk terus mengawal dan mempertahankan kepentingan Aceh dan rakyatnya,” tegas perwakilan Aliansi BEM Nusantara Aceh, Ihsanul Fikri. Ia bersuara lantang, mewakili keresahan generasi muda yang mewarisi luka sejarah, yang berharap tentang adanya keadilan.

Keputusan kontroversial pemerintah pusat tentang peralihan keempat pulau itu telah melahirkan bayangan konflik yang kembali menghantui. Lihat saja reaksi Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Aceh Singkil, sebuah organisasi yang menaungi eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang mengancam siap mengambil tindakan langsung. Lewat ketuanya, Sarbaini Agam, KPA mengultimatum akan menduduki keempat pulau tersebut jika pemerintah pusat tidak mengkaji ulang keputusan itu.

“Kami segenap pengurus dan anggota KPA siap menduduki empat pulau milik Aceh Singkil yang dimasukkan ke Sumut,” ujar Sarbaini tegas, seperti dikutip dari laman ketik.co, 1 Juni 2025. 

Ia menyebut, seharusnya pemerintah pusat merujuk pada tapal batas wilayah yang ditetapkan 1 Juli 1956 dan tertuang dalam UUPA--batas yang dijanjikan negara dalam semangat rekonsiliasi pasca-konflik.

Di atas kertas, barangkali keputusan administratif bisa diubah, ditetapkan, dan dipindah dengan selembar dokumen. Tapi di hati rakyat Aceh, terutama mereka yang pernah mengalami pahitnya konflik dan perjuangan otonomi, ini bukan soal peta. Ini tentang identitas dan penghargaan terhadap masa lalu yang berdarah.

Panasnya cuaca yang menyelimuti Aceh beberapa hari terakhir seolah selaras dengan amarah yang membara. Kegeraman masyarakat, yang merasa hak mereka dicabut tanpa dialog, bisa menjadi bara yang membesar jika tidak segera ditangani dengan kebijaksanaan.

Di tengah semua itu,, suara Sulaiman--dengan rencong di kiri kanan namun dompet bisa hilang--menjadi simbol ketidakberdayaan rakyat kecil di hadapan kebijakan pusat yang terasa jauh, dingin, dan tak berpihak. Sebuah suara yang mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa keadilan hanyalah luka baru yang menunggu waktu untuk pecah.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI