Ketika Benda Bersejarah Raja Linge Ada yang Meragukan Keaslianya
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
DIALEKSIS.COM| Takengon- Ada yang meragukan keaslianya sebagai benda bersejarah Kerajaan Linge, bahkan dengam mudah didapatkan di toko online, bukalapak. Mulailah hingar bingar soal pameran peninggalan Reje Linge menjadi pembahasan.
Lho ada apa di kerajaan yang sudah melahirkan raja terkemuka Aceh Darussalam ini? Beragam benda bersejarah “peninggalan” Reje Linge berjejer di Gedung Olah Seni Takengon. Di sana ada beragam jenis senjata tajam, kendi, piring antik, dan sejumlah barang antik lainya berupa “peninggalan” sejarah kerajaan Linge.
Ada ratusan benda antik yang diklaim peyelenggara pamaren sebagai benda bersejarah dari cikal bakal kerajaan Aceh Darussalam ini. Kegiatan pamaren ini diselenggarakan Dewan Adat Gayo (DAG) dengan menggunakan anggaran pribadi Tagore dan ada sumbangan dari pihak Pemda senilai Rp 50 juta,berlangsung sejak 20 hingga 27 Februari ini.
Catatan sebelumnya Dialeksis.com menulis dananya bersumber dari APBK, namun kemudian ketua panitia (Syukur Kobath) meluruskanya, bahwa dananya berkisar Rp 450 juta lebih, berasal dari pribadi Tagore dan ada sumbangan dari Pemda berbentuk fasilitas yang bila ditotal bantuan dari Pemda itu mencapai Rp 50 juta.
Selain diselenggarakan pamaren, juga diselenggarakan seminar nasional tentang adat dan budaya Gayo. Ada juga atraksi adat dan seni Gayo, serta perlombaan pentas seni Gayo.
Namun kegiatan yang mendapat perhatian publik ini tentang kemegahan kerajaan Linge, Gayo, mendapat sorotan tajam. Ada pihak yang mengkiritisinya. Kritikan pedas itu menjadi viral di dunia maya dan ramai dibahas.
Dua persoalan penting yang mencuat kepermukaan. Pertama soal mahkota Raja Linge yang dipajang peyelenggara. Ada pihak yang meragukan keaslianya, benda yang dipajang itu disebutkan sebagai benda yang mudah dibeli di toko online, dapat diakses dari aplikasi shoopee, buka lapak dan toko pedia.
Barang antik pusaka mahkota Raja Pajajaran Eyang Prabu Siliwangi, bahan kuningan koleksi pajangan bahagia, benda yang sama persis dipajang panitia pamaren peninggalan kerajan Linge ini dijual seharga tidak sampai Rp 1 juta.
Kritikan pedas lainya soal seminar, dimana ada yang menuding Dewan Adat Gayo tidak layak mempergunakan nama Gayo dalam seminar itu, karena tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat Gayo. Namun hanya melibatkan masyarakat Gayo Takengon saja.
Benarkah demikian? Dialeksis.com meminta keterangan penanggungjawab pelaksana pameran, Tagore AB, sekaligus sebagai ketua Dewan Adat Gayo (DAG). Mantan anggota DPRI ini yang juga mantan sejumlah pejabat lainya, bersama Syukur Kobath, ketua panitia pelaksana pameren menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.
“Mereka yang mengkritik tidak tahu persoalan yang sebenarnya, karena ilmunya tidak sampai ke sana. Mahkota Reje Linge belum kami keluarkan udah dikritik. Yang pajang itu benar mahkota raja, namun bukan mahkota Reje Linge,” sebut Tagore.
“Soal keterlibatan seluruh wilayah elemen masyarakat Gayo, mereka hadir dalam seminar ini. Bahkan dari Gayo Lues hadir 14 peserta. Kita mengundang MAA Gayo Lues, pihak yang berkompeten dalam persoalan ini,” sebut Syukur Kobat ketua panitia.
Lantas mengapa persoalan ini mencuat dan pihak penyelenggaran dituding tidak professional dalam melaksanakan kegiatan.
Kasusnya bermula dari tulisan analisis tim Redaksi media Online Lintas GAYO.Co. Dalam tulisan yang berjudul Mahkota “Reje Linge” Ternyata Banyak Dijual di Shoopee, BukaLapak dan Tokopedia.
Dalam berita ini dikupas soal ratusan benda yang terpajang di GOS yang dijadikan bukti tentang betapa besar dan berpengaruhnya kerajaan Linge di masa lalu.
Dari ratusan benda antik yang diklaim oleh komunitas DAG sebagai benda peninggalan Reje Linge, demikian isi ulasan Lintas GAYO.co ada mahkota raja yang diklaim sebagai mahkota Reje Linge .
Namun tak sedikit pengunjung pameran yang meragukan keaslian mahkota ini. Alasan utama keraguan ini adalah, bentukan dan terutama berat dari apa yang diklaim sebagai mahkota Reje Linge ini yang mencapai berat 5 kilogram.
“Secara sederhana saja, lucu membayangkan ada seorang raja yang duduk di singgasana dengan mahkota seberat 5 kilogram di kepalanya. Kalau ini benar adanya, rasanya para arkeolog perlu meneliti, berapa banyak Reje Linge yang mengakhiri hidup dengan patah leher sebagai penyebab kematiannya,” demikian tulisan berita ini.
Ahirnya tim riset LintasGAYO.co menelusuri keberadaan mahkota ini. Hasilnya, tak membutuhkan waktu lama. Cukup dengan menggunakan google, LintasGAYO.co mendapati ternyata Mahkota yang diklaim sebagai Mahkota Reje Linge tersebut banyak dijual bebas di aplikasi belanja online tanah air seperti bukalapak dan tokopedia dan shoopee.
Mahkota yang diklaim sebagai Mahkota Reje Linge di pameran itu, hanya dijual dengan harga kurang dari 1 juta di aplikasi belanja online shoopee, bukalapak dan tokopedia.
Media ini juga memajang sejumlah foto mahkota raja yang mudah dibeli melalui media online. Foto Mahkota Raja yang sama persis di Pameran Benda Pusaka Reje Linge.
Tulisan ini ahirnya menjadi pembahasan. Dialeksis.com mencoba meminta keterangan Tagore, ketua DAG yang sekaligus penanggungjawab pameran benda bersejarah Kerajaan Linge.
“Sebenarnya saya tidak mau membantah tulisan ini, namun karena Anda sudah meminta saya untuk konfirmasi, ya saya jelaskan. Yang membuat tulisan ini tidak tahu persaoalan, ilmunya belum sampai,” sebut Tagore menjawab Dialeksis.com, Selasa malam (22/2/2022) di kediamanya, Reje Ilang Takengon.
Tagore yang didampingi Syukur Kobath ketua panitia dan sejumlah panitia lainya, menyayangkan media ini tidak menjalankan kode etik jurnalitik dengan baik dan benar. “Seharusnya mereka konfirmasi, tanya ke kami bagaimana yang sebenarnya,” sebut Tagore.
“Saya tahu siapa yang tulis dan siapa mereka. Ini kan jadi malu sendiri, Mahkota Reje Linge baru malam ini dihadirkan, belum dipamerkan. Namun sudah ditulis itu mahkota Reje Linge,” sebut Tagore, ketika memberikan penjelasan mengenakan atribut lencana cap sikuereng (cap sembilan) Sultan Aceh.
Tagore mengenakan cap sikuereng Sultan Aceh, dia mengakui bahwa dirinya adalah keturunan Sultan Aceh yang berhak mengenakan lencana itu. “Baru sekarang saya pakai,” sebutnya.
Menurut Tagore, menghadirkan mahkota Reje Linge pada pameran bukanlah dilakukan serampangan tanpa etika. Ada perlakukan khusus, ada ritual, ditawari terlebih dahulu dengan sejumlah persyaratan.
“Hari ini baru dipajang Mahkota Reje Linge, sehubungan dengan hadirnya Pangdam. Jadi belum sempat dipajang pada pameran ini sudah dikritik. Sebenarnya saya tidak mau juga menjawabnya, namun Anda udah ditanya ya saya jelaskan,” sebut Tagore.
Soal disebutkan berapa banyak raja yang lehernya patah, penyebab kematianya karena menggenakan mahkota seberat 5 kilogram, Tagore justru melemparkan senyum. “ Ini tidak logis, Anda saja menjujung beras satu karung, apakah leher Anda patah, tidak kan. Lagi pula mana selamanya mahkota ini dipakai,” sebut Tagore.
Demikian dengan benda benda yang dipajang pada pameran ini, menurut Tagore, dia tidak mau menyebutkan tanpa bukti fakta ilmiah. Menurut ketua DAG ini, jauh jauh hari pihaknya sudah mendatangkan lima orang arkelog dari Balar Medan untuk meneliti kebenaran benda benda yang dipamerkan.
“Hasil tim arkelog yang turun melihat langsung benda-benda yang dipamerkan ini, makanya kita berani menulis keterangan dalam benda tersebut. Kami tidak mau menyebutkanya secara serampangan, tanpa fakta ilmiah,” sebut Tagore.
Soal Kritikan Seminar
Ada juga kritikan pedas yang disampaikan tokoh masyarakat Gayo Lues, Bunyamin, yang juga diberitakan oleh LintasGAYO.co, soal seminar nasional terkait sejarah Gayo yang diselenggarakan Dewan Adat Gayo (DAG).
Bunyamin kecewa dan marah, seminar itu tanpa melibatkan masyarakat Gayo di pelbagai wilayah Gayo lainnya. Dalam penjelasanya seperti diberitakan, Bunyamin menyebutkan, Gayo itu bukan Takengon saja.
“Kalau mau bicara tentang sejarah dan adat budaya Gayo, ajak juga Gayo yang lain. Gayo Lues, Gayo Lokop Serbejadi, Gayo Kalul dan lain-lain,” sebut Bunyamin, seperti diberitakan Lintas GAYO.co, Selasa 21 Februari 2022.
Bunyamin mengisahkan sejarah ketika Gayo Lues memulai seminar yang mengumpulkan seluruh perwakilan kelompok masyarakat yang berasal dari seluruh wilayah yang dihuni masyarakat Gayo. Mulai dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Lokop Serbejadi, Aceh Tenggara dan Kalul, lalu melakukan seminar di Belang Kejeren beberapa tahun yang lalu.
“Ini kenapa kalian orang Takengon dalam membicarakan Gayo dalam seminar nasional tidak melibatkan kami, Gayo yang lain. Coba berpikir jernih, jangan licik,” sebut Bunyamin.
Dia juga mempermasalahkan keberadaan Dewan Adat Gayo. Menurutnya, lembaga ini terlalu lancang untuk lagi-lagi membawa nama Gayo tanpa melibatkan Gayo di luar Takengen.
“Bagi saya, itu bukan Dewan Adat Gayo tapi Dewan Adat Takengon. Ini kan tidak pernah digodok dengan melibatkan semua daerah Gayo. Kenapa kalian lancang sekali menggunakan nama Gayo untuk lembaga itu, seolah lembaga itu mewakili kita semua,” sebut Bunyamin.
Mendapat kritikan pedas ini, Tagore ketua Dewan Adat Gayo (DAG) bersama Syukur Kobath kepada Dialeksis.com menjelaskan, seharusnya media dalam berita konfirmasi ke pihaknya.
“Duh, siapa bilang tidak dilibatkan. Dalam seminar ini ada 14 utusan dari Gayo Lues. Kami meminta Majelis Adat Aceh (MAA) Gayo Lues untuk terlibat dalam kegiatan ini, karena lembaga ini adalah lembaga resmi,” sebut Syukur Kobat.
Bahkan, tambah Tagore, malam ini juga mereka yang dari Gayo Lues masih berada di Takengon. Demikian dengan peserta dari Kuta Cane, Aceh Tenggara, mereka juga ikut dalam seminar ini, salah kalau disebutkan tidak melibatkan seluruh wilayah Gayo.
Menurut ketua DAG ini, tidak ada masalah dengan kritikan yang disampaikan oleh sejumlah pihak, dia menggangap itu kerikil dari kegiatan ini.
Pameran barang benda benda antik yang diklaim DAG ini sebagai pameran peninggalan Reje Linge, yang hingga kini masih berlangsung di Gedung Olah Seni Takengon telah menjadi pembahasan.
Ada pihak yang meragukan keasliannya, namun banyak juga yang memberikan support atas pameran yang menggunakan anggaran dana pribadi ketua DAG dan sedikit dari APBK ini.
Pembahasanya masih riuh, pro dan kontra tidak terhindari. Demikian dengan persoalan lembaga DAG, juga ramai menuai kritikan. Bagaimana cerita selanjutnya dari DAG dan pameran benda benda kuno yang diklaim peyelenggara sebagai pameran benda bersejarah kerajaan Linge ini? **** Bahtiar Gayo
catatan; tulisan ini sudah ada perbaikan soal sumber dana.