Minggu, 25 Mei 2025
Beranda / Feature / Kesalahan Metodologis Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi

Kesalahan Metodologis Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi

Sabtu, 24 Mei 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Kolase. Ijazah dan Jokowi. [Foto: net/setpres]

DIALEKSIS.COM | Feature - Jangan menuduh seseorang bila tanpa bukti yang valid. Hati-hati dalam menuduh. Jangan mencari pembenaran, tapi mari mencari kebenaran.

Kira-kira ini pesan yang ingin disampaikan Denny Januar Ali, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia menanggapi hingar bingar dugaan ijazah palsu Jokowi yang hingga saat ini masih menguras energi anak bangsa.

Denny JA menuangkan pemikirannya dalam sebuah tulisan yang bernas dan mendalam. Judul yang ditorehnya juga menarik, Ijazah Jokowi Asli dan Lima Kesalahan Metodologis Tuduhan Palsu.

Tulisanya dimuat dibeberapa media. Tokoh survei ini mengurai panjang lebar dengan analisis ilmiah. Dia bagaikan “mengajar” pihak lain untuk cermat dan teliti, jujur mengakui keterbatasan data, bersedia diuji, dan tidak menyimpulkan besar dari bukti kecil.

Denny menulis, Bareskrim, melalui serangkaian riset forensik, telah menyimpulkan, Ijazah Presiden Joko Widodo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah asli.

Pernyataan Bareskrim ini memperkuat sikap resmi UGM, institusi yang menerbitkan ijazah tersebut, yang sejak awal telah menegaskan keasliannya.

“Lalu, dimana letak kesalahan pihak penuduh yang berkali-kali berusaha meyakinkan publik bahwa ijazah Jokowi mungkin palsu?” tanya Denny.

Menurutnya, pertanyaan ini penting untuk dieksplorasi. Bukan semata untuk membela seorang tokoh, melainkan untuk membantu kita tumbuh dewasa dalam berdemokrasi. Ini adalah soal kecermatan berpikir dan keberanian membedakan antara prasangka dan kebenaran.

Proses Pembuktian Bareskrim; menurutnya di ruang laboratorium forensik Puslabfor Polri, selembar ijazah diperiksa laksana artefak sejarah. Tak ada debat politik, tak ada opini liar. Yang bekerja hanya cahaya mikroskop dan data.

Tim penyidik menelaah; bahan kertas dan pengamannya (seperti watermark), teknik cetak (handpress/letterpress), tinta tulisan tangan, stempel dan tanda tangan dari dekan serta rektor UGM saat itu.

Dokumen tersebut dibandingkan dengan ijazah milik alumni seangkatan Presiden Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Hasilnya identik. Dari jenis kertas hingga format tanda tangan, semuanya berasal dari sistem akademik yang sah.

Penelusuran bahkan dilakukan ke 13 titik lokasi, termasuk Rektorat dan fakultas di UGM, hingga ke arsip koran Kedaulatan Rakyat edisi Juli 1980, yang mencatat nama Joko Widodo sebagai mahasiswa baru.

Semua bukti -- fisik, digital, dan historis-- mengarah pada satu kesimpulan, ijazah itu asli. Ia bagian dari sejarah akademik yang otentik dan sah.

Denny JA juga mengurai lima kesalahan metodologis pihak penuduh. Di mana letak kekeliruan mendasar si penuduh?

Kesalahannya terletak pada pengabaian prinsip-prinsip dasar riset ilmiah. Lima kesalahan metodologis berikut ini menunjukkan cacat serius dalam tata akademik.

Pertama, data sekunder tak tervalidasi tidak bisa dijadikan dasar analisis. Penuduh hanya menyandarkan tuduhannya pada gambar digital ijazah Jokowi yang beredar di media sosial.

Ia menyoroti font, warna tinta, dan tekstur cetakan. Namun satu hal krusial diabaikan, data tersebut tidak tervalidasi. Sebagai data sekunder yang belum diverifikasi, gambar digital itu tidak dapat dijadikan dasar analisis apa pun.

Seorang peneliti profesional tahu, menggunakan data sekunder tanpa konfirmasi adalah pelanggaran berat dalam metode ilmiah.

“Bukankah gambar itu bisa terdistorsi? Bagaimana proses digitalisasinya? Bagaimana kita tahu pasti data sekunder itu adalah sama dengan data primer? Membangun kesimpulan dari sumber semacam ini ibarat membangun rumah di atas kabut,” sebut Denny JA.

Kedua, mengabaikan prinsip triangulasi. Dalam riset yang sahih, satu sumber tak pernah cukup. Harus ada pembanding, harus ada konfirmasi silang, harus ada proses pengujian.

Namun penuduh tidak membandingkan dengan ijazah alumni seangkatan, tidak meminta klarifikasi resmi ke UGM sebelum menuduh, atau tidak mengajukan uji forensik independen.

Ia hanya mengandalkan satu gambar digital. Ini bukan riset. Ini retorika yang menyamar sebagai analisis.

Ketiga, Ilusi visual yang menyesatkan. Salah satu argumen yang diajukan adalah bahwa font Times New Roman belum digunakan pada tahun 1985.

Padahal secara historis, font itu telah dikembangkan sejak 1931 dan digunakan secara luas dalam mesin ketik dan percetakan profesional sejak tahun 1932.

“Membangun argumen besar dari fakta keliru semacam ini disebut false premise. Bila fondasinya salah, maka seluruh bangunan argumennya runtuh,” sebut Denny.

Keempat, Mengabaikan etika riset. Ilmu bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal etik. Peneliti yang jujur mengakui keterbatasan data, bersedia diuji, dan tidak menyimpulkan besar dari bukti kecil.

Namun dalam kasus ini, si penuduh menggunakan sumber tak sahih, menolak klarifikasi dari lembaga resmi (UGM, yang menyatakan keaslian ijazah), tetap menyebarkan simpulan yang telah dibantah lembaga resmi UGM. Ini bukan laku akademik. Ini adalah cacat epistemic -- opini yang dipoles seolah-olah ia ilmu.

Kelima, Confirmation bias, mencari apa yang ingin dipercaya. Alih-alih menyelidiki secara netral, penuduh tampaknya hanya ingin mencari konfirmasi bagi praduga awalnya. Ia memilih data yang cocok dengan tuduhan dan mengabaikan semua bukti yang membantah.

“Inilah yang disebut confirmation bias, kita tidak lagi mencari kebenaran,tapi hanya mencari pembenaran,” sebut Denny JA.

Menurut lulusan S3, Ph.D bidang Comparative Politics and Business, Ohio University, Amerika Serikat (2001) ini, dalam demokrasi, kebenaran butuh disiplin.Di zaman banjir informasi, publik membutuhkan lebih dari sekadar opini.

“Kita butuh kerendahan hati akademik. Butuh keberanian untuk berkata, saya belum tahu, maka saya harus menyelidiki,” jelasnya.

Bareskrim telah memberi teladan, kebenaran tidak lahir dari keraguan yang diteriakkan, tetapi dari keraguan yang diselidiki secara teliti.

Sementara itu, penuduh lebih memilih citra, bayangan yang menyenangkan bagi mereka yang ingin percaya. Tapi demokrasi tidak butuh citra, ia butuh cermin, jernih, jujur, meski tak selalu nyaman untuk ditatap.

Kasus ini memberi pelajaran penting bahwa kebenaran dalam demokrasi harus diperjuangkan, bukan dengan asumsi liar, melainkan dengan metode, integritas, dan disiplin.

“Yang benar tetap benar, bahkan jika hanya didukung satu laboratorium. Yang palsu tetap palsu, meski disebarkan oleh seribu akun,” sebutnya.

Semoga dari polemik ini, kita tumbuh sebagai bangsa yang lebih hati-hati dalam menuduh, lebih telaten dalam menyelidiki, dan lebih bijak memilah kebenaran dari kebisingan.

Lebih jauh, kasus ini seharusnya menjadi katalis bagi tumbuhnya budaya riset dan integritas yang lebih kokoh di seluruh lapisan masyarakat.

“Kita perlu memastikan bahwa setiap debat publik, apalagi yang menyangkut reputasi individu maupun institusi, selalu didasarkan pada data, metode, dan etika yang teruji,” jelasnya.

Dengan demikian, bukan hanya kebenaran yang menang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses ilmiah dan penegakan keadilan yang semakin mengakar. Namun kita pun tetap dapat mengembangkan sisi positif dari penuduh ijazah palsu Jokowi.

"Mungkin saatnya verifikasi ijazah pejabat publik menjadi prosedur standar yang transparan," jelasnya.

Setiap dokumen resmi pejabat negara otomatis diverifikasi independen sebelum kampanye. Dibarengi digitalisasi arsip pendidikan oleh negara secara terbuka. Dibentuknya lembaga audit netral yang mengawasi proses ini.

Tanpa reformasi struktural, debat tentang keaslian dokumen akan terus berulang sebagai alat politik. Bukankah ini saatnya kita tak hanya menyalahkan "kebisingan" para penuduh. Tetapi juga membangun "antibodi demokrasi" melalui sistem yang kebal manipulasi?

"Inilah fondasi penting bagi kemajuan bangsa di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks," tutup Denny.

Namun hingga saat ini hingar bingar soal dugaan ijazah palsu Jokowi belum terhenti. Pihak yang menyatakan ijazah Jokowi palsu, (Roy Suryo Cs) tetap menyakini pihaknya mampu membuktikan ijazah Jokowi palsu.

Pakar telematika Roy Suryo masih meragukan keaslian dari ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), meski Bareskrim Polri telah menyatakan ijazah Jokowi otentik dan identik seperti milik 3 rekan-rekannya di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Alasannya, polisi tetap tidak menunjukkan ijazah asli Jokowi. Hasil penyelidikan polisi terhadap ijazah Jokowi, menurutnya, justru semakin menjatuhkan citra Mabes Polri.

"Mostly pendapat publik malah jadi meragukan hasil tersebut dan menjatuhkan citra Mabes Polri, apalagi ijazah aslinya juga tidak ditunjukkan," ujar Roy Suryo kepada Kompas.com, Jumat (23/5/2025).

Roy Suryo berpendapat, hasil uji laboratorium Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri terhadap ijazah Jokowi belum final.

Dia pun menyoroti pernyataan Bareskrim yang hanya menyebut ijazah Jokowi itu 'identik dan otentik' saja.

"Silakan bisa disimak berbagai statement saya di ruang publik sebelumnya bahwa hasil Puslabfor Mabes Polri ini belum final. Hanya merupakan satu bagian proses pembuktian dan tidak merupakan hasil otentik, hanya identik, di mana sampel identifikasinya juga tidak transparan," sebutnya.

Sebelumnya, Pakar Telematika ini dan rekan-rekanya yang dimuat berbagai media, memberikan penilaian terkait kebenaran ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang beredar di internet. Ia pun menilai bahwa ijazah tersebut palsu.

Kelompok ini menjelaskan, dari cetakan kertas, hingga bentuk font tulisan pada skripsi tersebut. Ia pun yakin bahwa ijazah yang dimiliki Jokowi juga palsu

Dijelaskan, bahwa ijazah asli seharusnya tidak memiliki garis. Bagian pas foto pada ijazah dan meyakini bahwa foto tersebut juga direkayasa.

"Saya ragukan ada watermark logo UGM kok itu clear sekali warna emasnya. Tinta emas kalau sudah berapa tahun itu sudah pudar, ini masih segar, ini cetakan baru," sebut Roy Suryo.

 "Kemudian pas foto, saya masukkan scanner itu tampak foto dan cap nggak konsisten. Bagian atas yang ada background cap di atas, dan bagian badan capya itu di atas badannya," sebutnya, yang pernyataan itu hampir senada juga disampaikan oleh rekanya yang menyakini ijazah Jokowi palsu.

Drama apalagi yang akan menghiasi negeri ini dari hingar bingarnya dugaan ijazah palsu. Apakah akan ada lagi yang masuk jeruji besi? Dugaan ijazah palsu ini telah menguras energi anak negeri. Sampai kapan persoalan ini menjadi trend topic di Pertiwi? [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
hardiknas