Beranda / Feature / Jejak Tradisi dalam Rasa: Bubur Pedas dan Kue Rasidah Aceh Tamiang

Jejak Tradisi dalam Rasa: Bubur Pedas dan Kue Rasidah Aceh Tamiang

Sabtu, 31 Agustus 2024 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia
Ilustrasi kuliner nusantara. [Foto: net]

DIALEKSIS.COM | Feature - Aceh Tamiang Art and Food Festival lebih dari sekadar perayaan seni dan kuliner. Ia adalah panggung bagi tradisi untuk berbicara, mengisahkan tentang asal muasal dan cita-cita. Festival ini merupakan manifestasi dan komitmen mendukung dan memajukan sektor pariwisata, kebudayaan, dan perekonomian lokal di Aceh.

Festival yang digagas menjadi salah satu rangkaian memeriahkan PON XXI Aceh-Sumut itu menguar bagai seruling yang memanggil para pecinta budaya dan kuliner untuk datang, menyatu dalam pesta rasa dan rupa, serta membawa pesan sportivitas dan persaudaraan saat kirab api PON melintas di tanah Bumi Muda Sedia.

Dalam riuhnya festival, kuliner khas Aceh Tamiang, bubur pedas dan kue rasidah turut menjadi bintang. Dua warisan kuliner yang menyajikan sensasi rasa yang unik, sekaligus menghubungkan pencinta makanan dengan akar sejarah dan kehidupan masyarakat.

Bubur Pedas: Keberagaman dalam Semangkuk Rasa

Bubur pedas, salah satu ikon kuliner Aceh Tamiang yang menyimpan banyak cerita. Tidak seperti bubur pada umumnya, hidangan ini menawarkan sensasi rasa yang kompleks: perpaduan pedas, gurih, asam, dan manis yang menyatu dalam harmoni yang menggugah selera.

Dibuat dari beras yang dimasak dengan santan, bubur ini diperkaya oleh rempah-rempah seperti cabai merah, kunyit, jahe, lengkuas, dan serai, serta daun kesum dan andaliman yang memberikan aroma khas. Pelengkap seperti ikan asin, telur rebus, dan kerupuk menambah tekstur dan dimensi rasa yang memanjakan lidah.

Bubur Pedas bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang filosofi yang terkandung dalam setiap suapan. Rasa pedasnya melambangkan semangat juang dan keberanian masyarakat Aceh Tamiang menghadapi berbagai tantangan hidup, sementara campuran rempah-rempah mencerminkan keragaman budaya yang hidup berdampingan dengan harmonis.

Legenda lokal bahkan menyebutkan bahwa hidangan ini diciptakan oleh seorang tabib sakti sebagai makanan penyembuh, menambahkan unsur magis ke dalam setiap mangkuknya. Meski telah ada sejak berabad-abad silam, bubur pedas tetap eksis hingga kini, menjadi makanan sehari-hari sekaligus sajian dalam acara adat dan keagamaan.

Bubur pedas khas Aceh Tamiang. [Foto: net]

Kue Rasidah: Simbol Perdamaian

Dalam tradisi Aceh Tamiang, Kue Rasidah bukan sekadar camilan. Dibuat dari bahan sederhana yang terdiri dari tepung terigu, gula, air, minyak goreng, dan bawang merah goreng, kue ini menyimpan cerita yang mendalam.

Namanya, yang berasal dari kata Arab Rasyidah, berarti "yang mendapat petunjuk", mencerminkan kedudukannya sebagai simbol kedamaian dan penghormatan.

Menurut Andong Asmah, seorang tokoh di Desa Bandar Mahligai, dahulu Kue Rasidah hanya disajikan dalam jamuan khusus untuk raja Melayu. Keistimewaan kue ini terletak pada rasanya yang manis dan gurih, serta taburan bawang goreng yang memberikan aroma khas yang sulit dilupakan.

Kini, kue Rasidah sering hadir dalam berbagai acara adat dan keagamaan, mulai dari pernikahan, khitanan hingga perayaan Ramadan. Setiap gigitan bukan hanya membawa kenangan, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama.

Proses pembuatannya sederhana, tapi penuh ketelatenan. Setelah adonan matang dan tekstur terbentuk sempurna, taburan bawang goreng menambah aroma khas yang menggugah selera. Meski telah diwariskan turun-temurun, inovasi tetap mewarnai kue Rasidah. Taburan keju atau coklat meses sering ditambahkan sebagai variasi modern, tapi tetap mempertahankan cita rasa asli yang melekat dengan tradisi Aceh Tamiang.

Kue rasidah khas Aceh Tamiang. [Foto: Instagram @dhanisatyadharma]

Kuliner Sebagai Pemersatu Budaya dan Identitas

Bagi masyarakat Aceh Tamiang, kedua hidangan ini adalah penjaga tradisi dan kenangan. Mengingatkan akan suasana desa, hiruk pikuk dapur keluarga, dan kasih sayang nenek atau ibu yang meracik makanan dengan penuh cinta. Mereka adalah penghubung antara masa lalu dan masa kini, membawa rasa yang tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga menyentuh hati.

Ketika dunia modern terus bergerak maju, tradisi seperti ini menjadi semakin berharga. Hidangan khas seperti bubur pedas dan kue Rasidah menjadi pengingat bahwa di balik setiap rasa, terdapat kerja keras, cinta, dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka bukan hanya makanan, tetapi juga simbol kehidupan yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur.

Mencicipi bubur pedas dan kue Rasidah seperti membuka buku cerita yang ditulis dengan rempah-rempah dan rasa. Setiap komponen, dari pedasnya bubur hingga manis dan gurihnya kue, menceritakan babak-babak kehidupan masyarakat Aceh Tamiang. Di tengah arus globalisasi, tradisi kuliner ini adalah harta karun yang perlu dijaga, bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk diwariskan kepada generasi mendatang.

Dan, Aceh Tamiang Art and Food Festival menjadi ajang penting untuk memperkenalkan bubur pedas dan kue Rasidah kepada dunia. Para pengunjung, baik lokal maupun internasional, dapat merasakan langsung cita rasa autentik yang dipadukan dengan kisah sejarah dan budaya yang menyertainya. Ini adalah kesempatan emas untuk mempererat hubungan antarbudaya melalui rasa, sekaligus menghidupkan kembali tradisi yang mungkin perlahan memudar. [adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI